Selamat Tinggal Rumah Cantik Menteng… (Benarkah Ibas yang Membeli dan Menghancurkannya?)

Rumah Cantik Menteng saat ini (sumber Vivanews.com)

Dugaan saya terbukti. Sejak lama saya menganggap, Rumah Cantik Menteng (dulu kami menyebutkannya rumah putih pojok)  kelak akan musnah oleh tangan-tangan kotor, hati kotor, dan niatan kotor.  Setahun, dua tahun, bertahun-tahun…, akhirnya benar terjadi !  Rumah pojok di jalan Teuku Cik Ditiro 62 Menteng Jakarta Pusat itu kini diributkan orang. Semua heboh memperbincangkannya. Ibarat manusia yang telah bermukim di kuburan berlama-lama dan tinggal tulang belulang menjadi tengkoraknya saja, begitu pula nasib si Rumah Cantik Menteng. Kini tinggal kerangka merana.

Entah siapa yang membasmi keindahan bangunan itu, entah tangan kotor siapa yang telah melekat menghantamnya, siapa pula hati kotor dan niatan kotor yang telah berhasil menghajar si cantik itu. Menyedihkan, memang! Aturan yang berlaku pada rumah kuno yang dibangun tahun 1920 itu sebagai salah satu rumah cagar budaya, seakan tidak digubris. Tak ada sanksi, tak ada larangan, hingga kehebatan memusnahkan rumah itu dari bangunan asli dilakukan dengan santai, semena-mena, dan tanpa rasa cinta.

Rumah itu sejak dulu tak pernah berganti warna. Cat putih yang bening, sangat kontras dirubungi puluhan tanaman berwarna-warni di depan, samping, dan belakang rumah itu.  Inilah rumah yang mengikuti aturan daerah resapan air, sebab dibangun hanya sekitar 300 m2 saja di atas tanah 850 m2.  Udara bersih pada zaman tanpa polusi di jalan raya di depan rumah itu dengan leluasa mengalir ke dalam rumah yang jendelanya senantiasa terbuka. Indah sekali memang rumah itu.

Si pemilik pada masa itu,  ibu Sari Shudiono, tak pernah lupa sejak dulu menyediakan guci besar di depan rumah, berisi air. Siapapun boleh mengambil air dari tempat itu. Tukang-tukang jualan yang lewat, anak-anak sekolah berseragam yang melintasi trotoar di depan rumah itu, tak pernah tak berdecak mengamati rumah itu setiap hari. Dan mengambil air.

Masa kecil saya berada pada seputar rumah itu. Sebagai anak Menteng pada saat itu, saya bersama teman-teman sering terkagum-kagum dan ngiler sekali ingin memetik bunga sepatu ataupun mawar yang berada di pinggiran tembok bata merah  bertubuh rendah.   Rumput gemuk terhampar necis. Cempaka, melati, bunga kamboja kuning terjuntai dengan leluasa.  Menggiurkan, tapi kami entah mengapa, selalu mengurungkan niat untuk memetik tanaman yang berada di sana. Rasanya ada ’sesuatu’ tersembur dari rumah itu.  Atmosfir kasih sayang, cinta, tanggung jawab sosial, kejujuran hati, dan bersih lingkungan.  Kami merasa nyaman menatapnya berlama-lama.

Pernah seorang tukang jualan es goyang zaman itu bercerita kepada saya, bahwa si empunya rumah acapkali menawarkan penganan, kue-kue bahkan sirop dingin kepada para pedagang yang lewat di sana. Lagi-lagi,  semburan kasih sayang meluncur dari rumah putih pojok itu….

Kini rumah indah itu diperbincangkan banyak orang. Rakyat Jakarta, sampai sang Gubernurnya.  Pejabat Pemda kalang kabut setelah rumah menjadi kerangka.  Bahkan tersebar berita rumah itu sudah dibeli oleh si pengantin baru, Ibas putra Presiden kita.  Entah sejauh mana kebenarannya –  toh pihak yang bersangkutan  melalui wakilnya sudah menyangkal secara tegas. Untuk saya masalah utama bukanlah terletak pada anak penggede siapa yang menguasai rumah itu,  tetapi bagaimana sikap, cara, nilai kecintaan siapapun kepada pelestarian terhadap Rumah Cantik Menteng yang sudah langka dan sangat bersejarah itu.  Sebegitu sampai hatinya mendepak bangunan kuno secantik itu, dan melanggar aturan yang sudah  jelas ketentuannya yang tertuang pada Surat Keputusan Gubernur Jakarta D IV – 6098/ d/ 33/ 1975 tentang kawasan cagar budaya itu?

Saya teringat rumah kakak dari ayah saya, yang terletak persis di depan rumah Megawati di jalan Teuku Umar Menteng Jakarta Pusat.  Ia setia sekali mempertahankan bentuk depan bangunan kuno itu. Tak diubah total tampak luarnya, dan rumah sebesar hampir seribu meter persegi itu masih kokoh dan terawat rapi sampai sekarang. Keluarga besar kami senang sekali bisa berkumpul di rumah besar antik  dan indah itu.

Semua memang berpulang pada niat. Pada jernihnya jiwa. Pada nilai kebangsaan yang dimiliki.  Bukan melulu siapa yang menjadi ratu dan raja, super konglomerat sekalipun – yang memiliki uang berlimpah ruah kemudian bisa seenaknya dan semena-mena menghancurkan apapun yang mereka suka……

We’ve started experimenting with discussion forums on google+.

6 comments

  1. Maaf dengan pemikiran naif saya ini: mengapa pemerintah tidak membebaskan saja pemilik rumah cantik terdahulu dari pembayaran PBB yg selangit itu, sebagai gedung yg dicanangkan sebagai cagar budaya sangat lah masuk akal hal tersebut dilaksanakan. Sang pemilik dapat terus menjaga kelestarian rumah tersebut tanpa dibebani pembayaran PBB yg sangat mencekik yang kita tidak pernah tau apakah pembayaran PBB tersebut akan benar2 digunakanan untuk masyarakat atau malah masuk ke kantong gayus gayus yang lain :((

  2. Assalamualaikum mba, salam kenal.. Dah lama gak lewat jln itu berharap liat rumah cantik itu, termyata dah tinggal kerangkanya saja, pdhl pas masih sering lewat jln itu, selalu jln dipinggir, n berharap dapet lampu merah n berhenti didpn rumah itu..

  3. Linda, Kalau ga salah banyak film-film terkenal tahun 70-80an shooting di rumah itu….asri sekali…

  4. Hai Lin, sedih baca tulisanmu….sedih melihat pergulatan antar manusia dan tak ada penyelesaiannya selain menghancurkan peninggalan lama. Sering saya berpikir apakah mereka tak pernah mendapat pendidikan sejarah dan menghargai sesuatu yang pernah ada tanpa harus merusak tetapi memperbaiki, membuat indah dan menghidupkannya kembali? Setiap kali mudik ke tanah air, pertanyaan itu muncul tiap saat dan selalu heran kenapa mereka memilih menghancurkan dan tidak menghidupakan kembali?…di jalan rumah kami juga begitu, bayangkan sejak kecil saya sudah terbiasa melihat rumah kolonial, saat itu tahun 60an masih ada kira-kira 20 rumah yang kemudian dihancurkan satu per satu untuk dibangun rumah-2 “modern” menurut tingkatan arsitektur kita! Dan saya masih ingat sekali bermain dengan teman-2 yang pernah menetap di rumah besar Belanda…saya masih ingat interior setiap rumah. Kadang muncul kembali di dalam mimpi saya di sini. Sepertinya saya belum bisa dan tak akan pernah bisa melepaskan ingatan akan rumah-2 lama itu, Lin. Peluk cium selalu, W-

Comments are closed.