Kasih Ayah Juga Sepanjang Masa Lho….!

Ayah saya bersama cucu tercinta

Kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa.. hanya memberi tak harap kembali… bagai sang surya menyinari dunia….//  Itulah lagu yang sejak kanak-kanak kita nyanyikan. Hingga kini, lagu itu masih diperdengarkan bila ada acara di mana-mana, terutama pada perayaan Hari Ibu.

Surga berada di bawah telapak kaki ibu. Setuju dengan perumpamaan itu ! Tapi bagaimana dengan ayah?  Porsinya samakah?  Untuk saya pribadi, sama!

Ayah lari ke kamar tidur saya saat gemuruh petir menyambar-nyambar di luar. Hujan lebat menyeramkan membuat saya semasa kecil takut sekali. Saat kami hidup susah karena bisnis ayah hancur ditipu adik sahabatnya sendiri,  saya sempat mengalami naik turun truk angkut batu. Saya duduk di depan bersama ayah dan sopir. Panas-panas ia memegang pundak saya agar tidak nyelonong ke kaca mobil bila sopir menginjak rem dadakan.  Setingkat lebih maju, kami ke mana-mana naik bemo sewaan.  Ayah duduk di depan bersama sopir, saya selonjoran kaki di belakang kadang sampai tertidur. Kalau sudah begitu, ayah pindah ke belakang. Saya dipeluk dan cucuran keringat dari jidat diusapnya dengan saputangannya yang lebar.

Ayah kerapkali memeriksa hasil PR saya. Pelajaran berhitung, bahasa, mengarang, selalu dicermatinya. Ia hampir tiap malam diajak makan bahkan dansa oleh para sahabatnya ( di antaranya Sofyan Alisjahbana yang sekarang pemilik grup Femina, Bob Hasan yang masih lajang, Asikin Hanafiah yang kini profesor dokter ahli jantung, Sidharta alias Sie Pek Giok dokter ahli syaraf terkenal  ). Sebelum berangkat, mereka selalu sabar menunggu ayah mengajari saya dengan kertas lebarnya, di meja makan. Barulah mereka berangkat ‘ngelayap’. Yang sudah beristri, tak pernah absen untuk turut serta.

Mengambil rapor juga ayah yang lakukan. Ia berdiskusi dengan guru-guru.  Begitu pula ia selalu cermat melihat keadaan sekolah saya, SD Kepodang Taman Sunda Kelapa Menteng Jakarta Pusat. Genteng yang sudah hampir melorot ke bawah, pagar kawat  yang muncul tajam dan membahayakan murid-murid, air got yang mampet di tepi halaman sekolah, semua menjadi perhatiannya. Ia segera melaporkannya ke kepala sekolah. Keselamatan anaknya dan murid-murid lain selalu diingat oleh ayah.

Saya tak pernah tidak diajak ke toko buku. Boleh membeli apa saja kecuali komik. Ayah tidak suka melihat anak-anaknya membaca buku yang sudah disodori gambar. Ia kerap berkata bahwa saya harus berimajinasi sendiri. Harus bisa membayangkan bagaimana suasana Rumah Sakit Cisarua yang digambarkan Sutan Takdir Alisjahbana dalam noel Layar Terkembang,  yang tokoh-tokohnya adalah Tuti pendiam dan Maria periang. Juga Siti Nurbaya yang berhadapan dengan Datuk Maringgih si tua bangka yang tidak tahu diri itu. Bahkan cerita Tumbelina yang nyasar di atas daun teratai di sungai lebar dan ingin dikawinkan oleh pak kodok tua, harus pula digambarkan sendiri oleh rekaan saya.  Segala komik Tuan Tanah Kedawung karya Ganes Th, Buku Harian Monita karangan Sim, atau cerita hasil kreasi Jan Mintaraga, saya ketahui dari penyewaan komik di pinggir rel kereta api Pegangsaan di pinggir jalan Diponegoro.  Si Nunung lelaki kurus tinggi keriting sering saya bujuk untuk meminjamkan komik-komiknya kepada saya secara gratis, dengan imbalan saya ikut menjadi asistennya tiap pulang dari les piano di Yayasan Pendidikan Musik.

Ayah yang galak pulang kantor biasanya melewati rel kereta api jalan Diponegoro  dengan VW kodoknya berwarna biru. Saya langsung tiarap di kios Nunung, agar tak terlihat olehnya.  Bisa hancur lebur kalau ayah tahu saya justru mengetahui banyak komik yang dilarang olehnya, karena saya menjadi ’sekretaris pribadi’ Nunung.  Hahahaa…!

Karena terlalu sayang kepada anak-anaknya yang perempuan semua, ayah memang memiliki rasa sayang yang berkelebihan. Kadang menyebalkan memang. Sayalah yang tersering disambar sapu lidi hasil sabetan ayah. Padahal persoalan hanya sepele, pulang sekolah tidak ganti baju, tidak tidur siang, tidak sesegera mungkin membuat PR.  Dan, ia paling pusing saat tidak pernah berhasil melarang saya ‘nyeker kaki’  ke mana-mana, sampai ke kali Pasar Rumput naik getek mondar-mandir, berburu kecebong di kali jalan Surabaya, atau tiap siang mainan engklek di pinggir jalan dengan bau asin keringat. Belum lagi ketika saya diam-diam membuat benang gelasan atau main layangan di pinggir jalan dan hampir tersambar bis Saudaranta yang melintasi jalan Surabaya pada saat itu.

Ketika  jidat saya bocor karena jatuh di halaman sekolah yang bertumpuk aspal yang baru digali,  tanpa sepengetahuannya saya dilarikan ke RSUP (sekarang bernama RSCM).  Pulang-pulang sudah dengan bau anyir darah, kepala diperban putih. Ayah sedih luar biasa. Ia memeluk saya tiada habisnya. Seminggu tidak sekolah, begitu masuk esoknya di halaman rumah tetangga sebelah saya sudah jatuh lagi karena lari sana-sini. Hilanglah kesabaran ayah. Sabetan sapulidi menghujam paha Linda kecil yang saat itu masih kelas 2 SD. Duh! Sudah kepala bocor masih diubet perban, masih disabet pula!

Ayah bersama Ibu dan ketiga putrinya

Ayah sangat sangat dan sangat menyelidiki semua nama teman saya, apalagi anak laki-laki. Namanya siapa, anak siapa, tinggal di mana, sekolahnya pintar tidak, rapornya bagaimana dan seterusnya.  Sampai di bangku SMA kelas 3 pun, saya tidak pernah boleh menginap di rumah teman dengan alasan belajar bersama.  Ayah akan menjemput meskipun sudah jam satu malam. Yang penting, anak tidak ada yang menginap. Masuk ke diskotik sebagaimana anak-anak remaja lain? Ow, jangan harap!  Pesta mulai pukul 9 malam, ayah akan menjemput pukul 10 malam. Hiks…!

Sejak kecil saya sudah sering ‘nguping’  pembicaraan ayah, obrolan politik dan uneg-unegnya bila  nenamu ke rumah Oom Sudjatmoko, Kemal Idris,  Wibowo, Anto, Bung Hatta, Hoegeng dan lain-lain tokoh terkenal saat itu.  Belakangan baru saya menyadari,  nilai hidup mereka adalah sama.  Bersahaja, kejujuran nomor wahid, dan cinta Indonesia setengah mati.

Ketika saya beberapa tahun bersekolah di Jerman, ibu selalu bercerita bahwa pulang kantor ayah sering melamun di teras belakang pinggir kolam ikan. Ia pernah sakit tekanan darah tak menentu karena kangen anaknya. Piano yang menganggur tanpa nyawa sering ditatapnya. Biasanya sayalah yang selalu memainkan berbagai lagu untuknya.  Jiwa raganya bekerja keras untuk sebagian perolehan rizkinya dikirim ke rekening bank saya yang jauh dari Indonesia.  Beberapa kali ia menyempatkan diri menengok saya, sebagai obat kangen.

Ayah jugalah yang menangis tersedu-sedu saat  akad nikah saya berlangsung.  Di kamar pengantin saya, sebelum mempelai pria datang,  air matanya sudah mengalir deras.  Tangan saya digenggam erat-erat, sambil sesekali menatap sunting emas asli yang berat sekali, yang menghiasi kepala putrinya.

Ketika saya mengontrak rumah kecil di kawasan Rawasari,  ayah pergi ke proyek Senen membeli furnitur untuk ruang tamu saya. Indah sekali. Bermotif kotak-kotak putih krem. Mungil dan bersahaja.  Sofa itu masih ada sampai sekarang. Setelah saya menempati rumah di kawasan Kebayoran Baru yang halamannya luas berkamar enam, hampir tiap hari ayah datang membawa selang air, gunting tanaman dan pupuk kandang. Dengan topinya dan baju kebunnya, ia mulai beraksi membenahi rumput dan bunga-bunga. Rumah saya menjadi cantik. Ia pula yang selalu memberi arahan untuk menata isi rumah secara praktis dan asri.  Ayah, seperti yang dilakukan di rumah saat dulu, tetap menyusun jambangan bunga berisi anggrek segar atau anyelir. Kadang dedaunan dan bunga sepatu  di pabrik obat tempat ia bekerja selama 40 tahun menjadi sasarannya untuk dipajang dalam jambangan ruang kerjanya.

Ayah mengajari saya  bagaimana sepantasnya memadankan warna baju. Keren tidak perlu mahal.  Busana memancarkan kesantunan seorang wanita, itu yang selalu ia sampaikan.  Ibu tentu kenyang selalu memperoleh advis tentang  bagaimana cara berpakaian yang patut. Alhasil, ibu yang sering memilih kain murah-murah di pasar,  dipilih oleh panitia menjadi salah satu ‘The Ten Best Dress Indonesia”.  Ibu terpilih sebagai salah satu wanita yang berbusana terbaik di Indonesia, di antara sembilan orang lainnya.  Saat itu ada ibu Nani Sadikin istri Gubernur Ali Sadikin, dan ibu Siska Sudomo.   Gunting emas diraih ibu sebagai hadiahnya.  Siapa yang paling tersenyum bangga? Ayah!

Kasih ayah sedemikian berlebihan sehingga saya sangat dilarang bermain sepeda. Ia takut anaknya dihajar mobil dan bis-bis yang sudah mulai muncul di kawasan Menteng. Saya tak kehilangan akal.  Tanpa sepengetahuannya saya pinjam sepeda si Bejo pembantu tante Pia Alisjahbana, yang saat itu belum memiliki majalah Gadis dan Femina. Sepeda batangan saya kayuh sampai bioskop  Rivoli di Kramat yang selalu menayangkan film-film India. Pulang dari nonton, biasanya ayah sudah siap dengan sapu lidinya. Saya kembali tak kehilangan akal. Celana jean sudah saya pakai dari awal, lilin, korek api dan buku nyanyian. Setelah disabet dan yang korban adalah celana jean, saya dicemplungkan di gudang belakang samping sumur yang konon angker itu. Gudang dikunci dalam kegelapan. Lilin saya pasang dengan korek api, dan saya membaca buku nyanyian. Menyanyilah saya dalam gudang….huahahahahaaa…!!  Akhirnya ayah membuka pintu gudang kembali sambil sekuat tenaga menahan gelak tawa.

Cintanya kepada saya akhirnya berlanjut kepada putra saya.  Tidak boleh minum Coca Cola, olehnya diperbolehkan. Dilarang makan supermi, diam-diam ia sajikan. Jangan berlebihan makan rambutan, oleh ayah malah disediakan.  Anak saya diharuskan memanggilnya ‘engkong’ , tidak boleh eyang,  kakek, embah, datuk, atau inyiek. Pokoknya harus engkong! Yang juga mengharukan  adalah, saat ia mendirikan rumah baru di kawasan Kemang Jakarta Selatan, sengaja disiapkan kamar tidur untuk anak saya cucu  tercintanya. Kamar mandinya? Ooooo…, wastafel mungil pendek khusus untuk anak-anak, air pancuran yang pendek, juga bak mandi mungil untuk  ukuran anak balita!

Dua hari saya beserta suami akan pergi ke luar negeri, ayah sudah berseri-seri sebab saya akan titipkan anak kepadanya. Ia masih memangku anak saya yang balita itu.  Tatapannya tiba-tiba sayu.  Entah mengapa.  Lalu kami kembali ke rumah.  Kira-kira tiga jam kemudian, adik-adik menelefon sambil menjerit-jerit, ” Kakaaaaaak…, Ayah meninggal! Serangan jantung!”  … ya Allah Tuhanku, bagai mimpi dan tersambar petir rasanya.  Rupanya tubuhnya sudah dirasakannya tidak enak, ia pergi sendiri ke Rumah Sakit, berkata kepada suster, “Ini kartu nama saya dan telefon rumah. Kalau ada apa-apa, hubungi nomor ini ya!”  Tak sampai lima menit, ia menghembuskan nafas dengan tenang tanpa menderita.

Saya lari ke Rumah Sakit.  Ayah terbujur kaku. Bibirnya tersenyum. Ya Allah…, ayah masih memakai baju kaos putih berkerah, yang saya belikan seminggu sebelumnya dari uang bonus bekerja. Saya peluk sambil mengucurkan air mata sejadi-jadinya. Sampai saat terakhir pun, ia masih mengenakan baju yang dari saya….!  Pelan-pelan baju saya gunting dari tubuhnya karena sudah tidak bisa dibuka secara normal lagi. Tubuhnya mengeras.  Usai maghrib saya berada di dalam ambulans menuju rumahnya…., bersama orang yang sangat saya kasihi.  Rasanya masih terngiang beberapa ajarannya, “Jangan korupsi, jangan injak rizki orang.  Lihat teman-teman ayah yang sudah berubah setelah duduk di pemerintahan. Mereka lupa diri. Mereka lupa kejujuran…!”

Ayah pergi sesuai kehendakNYA. Dan sesuai keinginannya yang senantiasa ia katakan kepada anak-anaknya, “Ayah ingin mati tidak tua-tua, tanpa sakit, supaya tidak merepotkan orang.  Kalau bisa di hari Jumat supaya bisa disembahyangkan di mesjid dulu” .  Subhannallah…!  Semua diwujudkan Tuhan. Esoknya ia disholatkan di mesjid dekat rumah.  Jumat kelabu yang membuat hati teriris-iris rasanya.  Setelah 20 tahun lebih ditinggal ayah, cinta dan kasihnya masih terasa sampai detik ini. Kasih ayah sepanjang masa…..

26 comments

  1. Linda, air mata mia mengalir tidak berhenti membaca Tulisan Linda. Berapa mirip nya cinta kasih Papa kepada kita. Pesan nya untuk tidak tidak me lakukan korupsi, tidak menyakitkan hati sesama. Ya Allah berilah ampunan kepada Ayahku. Mia ingat se waktu Mia sakit, dia tidak memanjakan, beliau ajar kan Mia untuk tidak mengeluh, Papa selalu mengingatkan bahwa semua tak dur Yg diberi Allah swt adalah untuk kebaikan kita. Dan hal itu terbukti….
    Papa, Mia berusaha menjadi anak Yg Shaleha sehingga Allah swt Akan mendengarkan Doa Mia Dan Allah swt memberi tempat terbaik di surge bersama Mama, dapat kembali kepadaMu ya Allah…

    Linda, kita menjadi teman setelah Papa kembali kepada Allah swt. Andaikan, kita ketemu sebelum Papa pulang keharibaan Allah… pasti dia akan minta dipertemukan kepada Linda karena, rupanya Papa Mia setiap hari mainnya dirumah Papa Linda… pamakanya alm. Papa belajar budaya Minang dari keluarga Linda. Beliau cinta ranah Minang dan banyak belajar menjadi pandai menjadi orang yg bijak… pasti kalau ketemu akan diceritakannya bagaimana Keluarga Jalil mengajarkan Papa untuk bisa berlaku bijaksana. Nama beliau adalah Burhanuddin Hassan. InsyaAllah kita dapat bersahabat seperti Papa dan keluarga Linda yaitu keluarga besar Jalil. Marilah kita selalu tidak lupa mendoakan kedua orang tua kita, yg begitu mencintai kita anak2 mereka… terima kasih Linda share tulisan Linda yg mengingatkan Mia atas cinta Ayah kita yg begitu besar pada kita…
    Kapan2 kita ketemu dan Mia ceritakan betapa Papa Mia merasa beliau sayang dengan keluarga Linda….
    love, Mira Hassan…

  2. Luar biasa, Mbak Lin. Say jadi berimajinasi, seperti tulisan dari puteriku kemudian hari, karena aku mengalami perjalanan Bisnis seperti Sang Ayah: tenggelam, karena orang-orang terpercaya, dan rejeki anak2ku direbut, justeru dari orang-orang dalam keluarga.
    Saya memang tidak pernah ‘menjatuhkan /ringan tangan’ ke anak2. Menegur dengan suara tegas, atau ‘ngambek’ dengan cara didiamin. Itu khas aku.
    Ceritera Mbak Linda tentang Ayahanda, menguatkan dan mengilhamkan kekuatan dan harapan untuk tetap optimisme. GREAAAT Mbak.

  3. Dear Linda, saya seorang ayah dan bahkan seorang kakek dari 2 org cucu, tetapi membaca tulisan Linda saya bener2 tersentuh dan tersentak. Tersentuh karena saya mempunyai ayah yang sama dengan ayahanda Linda hanya satu hal yg berbeda adalah sebagai seorang anak laki (pada thn ’68) ayah saya dengan tegas mengatakan kepada saya : PAPIE TIDAK MALU MENGETAHUI KAMU DITANGKAP POLISI KARENA BERKELAHI, TETAPI JIKA KAMU DITAHAN POLISI KARENA URUSAN MENCURI, MENGGARONG DAN ATAU MEMPERKOSA WANITA….JANGAN PANGGIL SAYA PAPIE LAGI…………….dan saya tersentak karena sebagai “seorang ayah” saya TIDAK MAMPU berlaku seperti ayah saya….namun saya bersyukur kehadirat Illahi berkat pendidikan serta asuhan istri saya…anak2 saya tetap sayang bahkan sangat menghargai saya, memperhatikan kondisi saya bahkan tidak pernah absen memberikan hadiah dan makan bersama pada saat saya ulang tahun…..!!! Semoga Allah SWT memberikan HIDAYAHNYA kepada saya disisa umur saya ini dan semoga saya dapat berguna untuk sesama . Aamiin !!!

  4. Indah sekali cerita Mba Linda, betul… Kasih sayang Ibu dan Ayah sama porsinya. Alhamdulillah aku mendapatkan orang tua yg betul2 bisa menjadi contoh baik kami anak2nya. Ayah begitu tegas, pemimpin yang mengayomi dan sikapnya mencerminkan apa yang semestinya sebagai makhluk Tuhan yang bertanggung jawab. Sepertinya Ayah saya jarang mengeluh, walau pernah ginjalnya mesti diganti di Guang Zhou. Banyak pelajaran baik dari kedua orang tua saya. Saya selalu cinta dan bangga terhadap Ibu dan Ayah saya.

  5. Saya setuju sekali bahwa kasih Ayah juga sepanjang masa…. Berbahagialah kita yang memiliki Ayah yang demikian. Tulisan Bu Linda tsb membuat saya semakin menghormati figur seorang Ayah. Sampai kapan pun. Meski Ayah saya bukan tipe orang yg bisa mengekspresikan rasa sayangnya dengan penuh kehangatan seperti Ayahnya Bu Linda tapi saya bisa merasakan bahwa Beliau mempunyai rasa sayang yg sangat besar kepada kami-10 orang anaknya- yg 6 orang di antaranya adalah perempuan. Ayah saya juga sangat menekankan kejujuran, kemandirian, kesederhanaan, dan kemampuan mensyukuri nikmat dari ALLAH. Ada 2(dua) kata yg sering diingatkan kepada anak-anaknya, yaitu: nalar dan prihatin. Walaupun waktu itu saya yg masih usia SD engga mudeng akan maknanya tapi saya berusaha untuk mengingatnya. Saat itu, saya tidak tahu apa pekerjaan Ayah saya karena Beliau tidak pernah menceritakannya dan kalau saya tanya tentang pekerjaannya, Beliau hanya menjawab,”Buruh”. Begitu pula dg Ibu saya, seorang Ibu yg sederhana, tidak pernah menjelaskan. Yang saya lihat hanya rumah dinas kami berbeda dengan kebanyakan rumah yg ada di dalam kompleks tempat kami tinggal, ada pesawat televisi yg hampir setiap sore membuat tetangga pada datang ke rumah untuk sama-sama menonton acara dari TVRI (satu-satunya stasiun TV di Indonesia saat itu), ada pesawat telepon yg lebih sering dipakai oleh tetangga daripada anak-anaknya (karena saat itu masih jarang sekali teman-teman kami yg punya telepon), dan ada sebuah mobil lengkap dg supir yg khusus untuk mengantar Ayah saya berangkat dan kembali dari kantor. Khusus untuk mobil itu, Ayah saya tidak memperkenankan untuk dipakai oleh anak-anaknya, meskipun ketika kami mau berangkat sekolah pas hujan deras. Katanya, mobil kantor itu hanya untuk dinas. Sampai-sampai waktu saya harus dibawa ke RSUP/RSCM yg berjarak 1 km dari rumah kami, Ayah saya hanya meminta tukang becak langganan untuk mengantarkan kami padahal saat itu wajah saya sudah berlumuran darah karena dahi saya yang terkena golok perawat tanaman. Setiap lebaran rumah dinas kami selalu ramai didatangi oleh teman-teman kantor ayah beserta keluarganya. Walaupun kami hanya mampu menyediakan kue-kue dan minuman yang dibuat oleh Ibu saya & anak-anaknya tapi mereka terlihat menikmati dan senang.
    Di kala Ayah saya sudah tiada, banyak kebaikan Beliau yang baru saya ketahui. Diantaranya dari cerita seorang teman sekantor Beliau dulu bahwa bagaimana Beliau sangat perhatian dan berjuang untuk dia dan teman-temannya dari kelas buruh yg sebenarnya, yaitu agar disediakan juga rumah dinas untuk mereka.
    Ayah… kau adalah karunia dari ALLAH yg sangat istimewa yg diperuntukkan untuk kami, anak-anakmu. Banyak nilai-nilai dan kebaikan yg kau ajarkan dan contohkan yg sangat berguna bagi kami dalam menjalani hidup ini. Setelah aku tahu akan makna dari 2(dua) kata: nalar dan prihatin, ternyata jargon mu itu memang sangat bermanfaat bagiku untuk beradaptasi dari waktu ke waktu.
    Ayah… semoga dalam setiap sholat, aku selalu ingat untuk mendoakanmu agar ALLAH memberikan semua kebaikan alam kubur untuk mu.
    Adalah benar kata sebuah peribahasa, “Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Terima kasih Ayah, aku bangga menjadi anakmu….

  6. Aduh mbak…begitu selesai baca artikel ini, saya langsung nangis sejadi-jadinya (padahal saya ini orangnya nggak gampang nangis). Bapak saya itu persis sekali sifatnya dengan ayah mbak. Kelihatannya keras dan tegas, tetapi diam-diam kasih sayangnya ditunjukkan dengan cara yang lain. Saat ini, saya sudah bekerja dan sudah punya dunia sendiri, dan kadang-kadang sifat bapak yang keras itu membuat saya lupa kalau mungkin saja beliau cuma gengsi untuk bilang “papa kesepian…sekali-sekali ajak papa ngobrol dong.” Makasih mbak buat ceritanya, ini membuat saya kini berusaha untuk sebisa mungkin tidak membuat papa kesepian, karena siapa yang tahu kan siapa yang dipanggil Tuhan duluan? Jadi jangan sampai ada di antara kami yang menyesal….

  7. Mbak Linda,
    Salam kenal ya, saya baru pertama kali mampir ke Blog mbak, dan tulisan yang saya baca tentang : AYAH
    Setelah selesai membacanya, tidak terasa dada ini mulai sesak, perlahan air mata menetes, mengingat kebaikan Papi/Ayah yang sangat kucintai dan saya kagumi.
    Seperti mbak Linda, begitu sayang terhadap Ayah, hal itulah yang saya alami terhadap papi tercinta, beliau sdh meninggalkan saya hampir 8 tahun yl, 3 bulan menahan rasa sakit yang dideritanya , Kanker…dan Achirnya Tuhan memanggilnya.
    Mbak sampai saat ini, saya masih merasakan kasih sayang dan betapa dia mencintai putra putrinya. Selama beliau hidup, yang hebatnya mbak,….saya tidak pernah dimarahi apalagi dipukul mbak…entah betapa begitu besarnya kesabaran yang dia punya.
    Saya sangat menyayanginya, sampai saat inipun air mata selalu terurai jika sudah membicarakan sosok AYAH.
    kita saling mendoakan ya mbak….semoga Ayah/Papi kita mendapatkan tempat yang terbaik disisi NYA. amin

  8. Ibu LInda, tulisan ini membuat saya terharu & menangis, krn mengingatkan kpd alm papa saya. Terimaksih banyak ya bu …Semoga ibu selalu diberikan kesehatan untuk dpt menulis cerita indah yg lain.

    wassalam

  9. Tante Linda membaca tulisan tentang ayah, membuat saya termehek-mehek teringat Alm ayah sendiri. Saya yang kebetulan single mom sangat dekat dengan ayah, karena kami selalu bersama-sama berdiskusi bagaimana membesarkan anak agar tidak kehilangan figur ayah.
    Semoga ayah-ayah kita yg sudah alamarhum mendapat tempat yang paling indah seperti “beliau” membuat indah hidup kita. Amien

  10. Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……………Hiksssssssssssssssssssssss.:((
    sesak dada rasanya…membacanya jadi teringat alm bapak saya, banyak kemiripan sekali, terutama masalah padu padan baju itu bikin saya tersenyum simpul 🙂

    kasih bapak saya bahkan tidak bisa saya sandingkan dengan ibu saya yang melahirkan, tanpa menyusui tanpa merawat dan tanpa kasih dan sayang…bapak saya adalah sumber inspirasi bagi saya tentang kehidupan

  11. Berulang kali saya harus mengangkat kacamata myopia mengusir airmata selagi membaca artikel ini.
    Ayah yang sangat istimewa.
    Kasih Ibu dan ayah memang sepanjang masa .

  12. subhanallah subhanallah subhanallah…

    saya menangis membaca tulisan ini, karena saya juga merasa sangat bangga sekali memiliki Ayah yang telah meninggalkan saya saat saya tengah menjalani program beasiswa di Amerika… saat saya merasa kecil dan tak ada satupun yang bisa saya lakukan kecuali menangis dan berdoa…

    mbak,makasih atas tulisannya… 🙂

  13. Mba Linda…semoga almarhum ayah mba selalu berada di sebaik-baiknya tempat di sisi NYA…amin

  14. Aduh Linda aku teringat almarhum ayahku yg cara menididiknya sama seperti ayah Linda.Cara orang2 tua kita dulu mendidik anak supaya jujur dan bermoral.bagaimana ayah2 sekarang mendidik anak2nya?Linda terima kasih tulisanmu baguuuus dan susah untuk dilupakan, krn sepanjang membaca tulisanmu terbayang sosok ayahku yg serupa tapi tak sama dengan ayah Linda dalam mendidik anak.
    Sekarang org tua tidak dianjurkan memukul anak, tapi ayah kita dulu melakukannya….tapi sebatas kaki.itupun sudah berhasil untuk membuat kita tidak berani melakukan kesalahan yg sama.Sekali lagi terima kasih Linda.Teruslah menulis.

    1. Terima kasih sekali lagi, my dear. Kita saling doa untuk ayah kita ya?
      Ayah mendidik Linda Cara dan Dilla tanpa pilih kasih…… hanya saja si bungsu sudah tidak kena ‘sabetan’ sapu lidi karena mungkin sudah capek dan semakin tua.. hehe…!

  15. speechless…:( semoga ayah mendapat tempat yg indah dsisi Allah ya,uni..tulisan ini membuat saya semakin memahami arti seorang cucu buat sang kakek. aturan kita sering berbenturan dgn beliau 🙂

  16. Mpe banjir air mata sy ngebacanya mba’..teringat almarhum ayah saya.. Semoga ayah kita, mendapat tempat yg paling mulia di sisiNYA..Aamiin..thanks mba Linda..saya mengagumi anda..:)

    1. terima kasih teman…… terima kasih banyaaaak…! ayah kita memang pahlawan sepanjang masa, yang kita cintai sampai detik ini.

Comments are closed.