Mental Peminta-minta…

 


 

BJ Habibie, mantan Presiden RI dan mantan menteri bertahun-tahun di era Suharto baru-baru ini berkata bahwa bangsa kita bermental jalan pintas. Tak mau kerja keras, tapi ingin segera hidup senang.  Kata-kata ini, pernah juga saya dengar darinya saat kami berkesempatan mengobrol bersama. Sebegitu keprihatinannya terhadap bangsa ini, bisa saya pahami.

Baru-baru ini saya di luar kota Jakarta disapa oleh seorang pemilik warung makan.  Ia ingin sekali anaknya  yang masih  duduk di bangku SMP itu berhenti sekolah saja asal bisa tiap hari masuk televisi, menjadi artis sinetron dan memiliki uang banyak seketika.  Ia minta kepada saya berbagai nomor telefon genggam artis maupun produser terkenal untuk dihubungi.  Sungguh saya terkesima! Sebuah jalan pintas yang ‘ideal’…..

Ada lagi ‘jalan pintas’ dalam bentuk yang lain lagi. Pesta pernikahan yang juga sering jor-joran, seringkali saya hadiri. Tentu tidak bisa dihindari karena kebanyakan adalah teman dekat maupun kenalan yang sudah berpuluh-puluh tahun. Beberapa di antaranya, saya dengar sendiri dengan telinga ini, jauh hari sebelum perayaan hebat itu, sengaja menghubungi penyandang dana.  Tanpa malu-malu, mereka minta teman-teman atau rekanan untuk ikut menyumbang, katering misalnya, atau urusan baju pengantin, sampai mencetak undangan.  Duuuh…!  Sebegitu ringannya mulut bertutur untuk meminta sumbangan bagi sebuah pesta!

Mental peminta-minta, tampaknya semakin membahana dari hari ke hari.  Seorang anak yang ingin pergi ke gedung Esplanade Singapura karena akan ada konser terkenal dunia manggung di sana, merengek-rengek kepada bapaknya untuk dibiayai. “Telefon saja Oom ‘X’,  minta tiket dari dia sekaligus dibayari hotelnya. Minta hotel yang bagus, Hyatt atau Fullerton saja yang dekat Esplanade,” ujar sang bapak.  Lagi-lagi saya terkesima. Gila! Orang yang disebut itu saya tahu adalah rekanan besar dalam instansi pemerintah tempatnya berkedudukan. Si anak, sejak awal ternyata sudah ditebari firus peminta-minta oleh orang tuanya…., menyedihkan sekali!

Bukannya kita tidak perlu bantuan orang. Tentu tak bisa disangkal, suatu saat kita bisa saja dalam kondisi kepepet, darurat untuk membayar suatu kebutuhan mendesak yang belum mampu kita tunaikan.  Tapi tentu bukan untuk suatu kebutuhan sekunder, misalnya ingin membeli tas Hermes, atau untuk jalan-jalan nonton ke Esplanade.  Yang menyedihkan adalah bila kita sakit, lalu tak begitu mampu membeli obat dan dokter – sementara kondisi keuangan sedang tidak bagus.  Malu meminjam atau minta uang kepada teman, saudara, tetangga dekat?  Saya rasa itu sah-sah saja. Namanya juga ‘gawat darurat’.  Yang sebetulnya gawat, bila kita pura-pura sakit, lalu minta dibelaskasihani untuk diberi uang oleh berbagai saudara, kerabat, maupun teman-teman, padahal uang itu digunakan untuk bersenang-senang. Duuuh…., selain tentu kasihan sekali orang-orang yang sudah berpayah-payah mengumpulkan uang dengan sukarela dan penuh iba, saya jauh lebih mengasihani orang yang memiliki mental peminta-minta kejam itu…

Have you used proessaywriting.org/ picture books for lessons please help me write my essay in your classroom.

2 comments

Comments are closed.