(diposting 4 Desember 2011)
Di mana saya bisa menyaksikan pemanggungan kumpulan suara indah dengan air mata penyanyinya ? Paduan Suara Infinito (Infinito Singers) menyajikannya Jumat malam 2 Desember lalu di Erasmus Huis Kuningan dengan begitu mencengangkan. Kok menangis? Ketika menyanyikan lagu The Seal Lulaby , tentang anjing laut yang mengasuh, menyayangi anaknya dengan penuh kasih ibunda, betul-betul mencerminkan pesona cinta ibu kepada anaknya. Haru, membahana, sunyi. Ruangan konser penuh decak kagum. Sebagian penyanyi paduan suara berkaca-kaca matanya, begitu pula para penonton. Bahkan soprano cantik Hermin yang berdiri paling depan tak kuasa mengucurkan air matanya secara jelas.
Bangkitnya suasana jelas berpengaruh dari lirik kata, pendalaman lagu yang dibawakan oleh ke 36 penyanyi Infinito ini. Para 19 wanita yang dibagi dalam soprano dan alto, dan 17 pria dalam suara bass dan tenor, amat menjiwai khatulistiwa lagu-lagu berbahasa Italia, Perancis, Inggris dan Indonesia itu. Teknik vokal yang baik, kekompakan dan khusyuknya bernyanyi dengan hati, mengalir dari panggung menuju masing-masing kursi penonton. Ekspresi jiwa yang luar biasa!
Grup Paduan Suara ini muncul sejak tahun 2005 di bulan Desember. IrzamRajasa Dastriansyah yang berbapak Minang Ibu dari Jawa Barat itu mengenal Avin Langga Kesuma putra Palembang ini di Universitas yang sama belasan tahun lalu. Irzam selesai menjadi insinyur dari teknik sipil, Avin sebagai sarjana ekonomi akutansi. Seni suara mempererat tali persahabatan mereka. Bernyanyi dan bernyanyi, membuat mereka tetap meneruskannya setelah usai di Trisakti. Maka didirikanlah Infinito. Irzam sebagai konduktor boleh berbangga akan hasil yang diraih. Berbagai kejuaraan untuk mereka. Ke Korea, Jepang, Infinito membawa nama Indonesia dengan segala penghormatan yang diterima. Luar biasa.
“Untuk kami, yang paling utama adalah mau selalu belajar. Segalanya akan menjadi mudah kalau niat belajar kita tetap ada pada diri kita,” ujar Irzam. Lagu-lagu berbahasa Latin, Perancis, Belanda, Italia, sampai berbahasa Tagalok Filipina pernah mereka lalui. “Kadang peserta tanya ke saya, aduuuh ini kata-katanya susah dihafal, dan tidak mengerti. Tapi saya tanya kembali, mau belajar untuk mengerti? Mereka bilang, mau. Ya sudah, teruskan menyanyi! Gampang kan?”, kata Irzam dengan jenaka.
Sang konduktor anak pertama dari empat bersaudara ini memang jenaka sekali. Saat ia berkata-kata di depan panggung, lalu lewat seorang laki-laki di depannya, langsung ia berkta, “Nah, itu adalah ayah saya!”. Dan penonton pun tergelak. Air mata terhapus oleh senyum dan tawa. Seru memang suasananya. “Irzam memang begitu, ada saja selalu bercandanya sehari-hari,” ujar sang Ibu, yang menjadi dosen psikologi di Universitas Indonesia.
Infinito memiliki visi jangka panjang dalam bermusik bentuk paduan suara. “Siapa bilang mengikuti dan menonton paduan suara susah? Ada yang menganggap tidak mengerti. Padahal tidak sepenuhnya benar,” katanya lagi. Ia juga meyakini bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang musikal akhirnya toh bisa menerima pertunjukan paduan suara sebagai salah satu bentuk edukasi, meski kadang yang ditampilkan adalah lagu-lagu berbahasa asing sekalipun.
Khusus malam itu, tema Choral Promenade disuguhkan mereka, sesuai dengan periode lagu-lagu kuno itu diciptakan, mulai dari zaman Renaissance, Romantik dan Klasik. Di antaranya adalah Dirait On, ciptaan Morten Jonhannes Lauridsen, tentang puisi bunga mawar,Ecco mormorar ciptaan Claudio Monteverdi tentang puisi Italia sampai lagu Renjana karangan Ronald Pohan dan Indonesia Bumi Persada yang sungguh indah liriknya, karya Binsar Sitompul. Yang juga mencengangkan adalah saat para wanita dalam suara alto dan sopran (sementara pria minggir ke samping panggung) menyanyikan lagu Greek yang gempita, Ditirambo karya Karl Friedrich Curschmann (1804-1841) tentang pemujaan terhadap dewa dilengkapi anggur dan pesta. Kekompakan suara, mengalir dengan sambung bersambung yang mengundang tepuk tangan riuh di ruangan itu.
Hampir seluruh nyanyian murni digemakan dengan suara vokal saja tanpa iringan musik apapun. Hanya beberapa lagu diiringi piano oleh Bali Susilo, pianis kelahiran 1989 yang sempat meraih juara YPM (Yayasan Pendidikan Musik) Silver Medal Award, dan pianis Prajna Indrawati secara bergantian.
Di penghujung acara, tiba-tiba Irzam mengatakan dengan lirih, bahwa ada sebuah lagu khusus yang akan dipersembahkan oleh mereka untuk salah satu anggotanya yang akan meninggalkan Indonesia menuju Denmark selama tiga tahun. “Dia adalah…..Aviiiiiin…!!” ujar Irzam sembari menunjuk ke arah panggung, tempat Avin berdiri di deretan belakang atas. Saya tercekat! Avin? Mau pergi dari Indonesia? Ada rasa sedih muncul seketika…! Saya tahu persis, Irzam amat sangat terharu. Ia berkata di depan penonton, “Pertama saya oke-oke saja waktu Avin bilang akan pindah ke Denmark. Tapi pada saat saya di dokter gigi, saya bengong deh! Nangis! Delapan belas tahun saya berteman dan bekerjasama dengannya” .Penonton hening. Tiba-tiba Irzam berkata lagi sambil membawa sebuket bunga, “Nih untuk elo.. kembang! Itu kan harusnya buat gue lho, kamu ambil saja…hahahaha!”. Saya kembali tahu persis, gurauan itu hanya untuk menetralisir suasana haru sebelumnya.
Cerita tentang Avin memang serba ‘kebetulan’ . Dua tahun lalu saya memberikan komentar pada berita tentang Paduan Suara Infinito di dunia maya. Seorang peserta yang membacanya, segera menanggapi, dan akhirnya kami berkomunikasi lewat internet. Itulah Avin, yang belum saya kenal ujudnya. Kebetulan pula di awal tahun berikutnya Infinito akan manggung di gedung Usmar Ismail Kuningan. Saya diundang. Lalu saya tulis reportasenya. Untuk mengenal Avin, saya khusus lari ke samping panggung saat acara istirahat. Oooo, itu toh yang namanya Avin. Ia menyambut saya dengan ramah sekali dan diperkenalkan kepada rekan-rekan penyanyi yang lain sekaligus Irzam sang konduktor.
Avin adalah pria usia 38 tahun, lulusan Trisakti dan kini mengambil S2 jurusan Linguistik di FIB Universitas Indonesia. Entah mengapa, meski jarang berjumpa, setelah itu hubungan kami di dunia maya begitu akrab untuk membicarakan soal musik. Berulangkali Avin mengingatkan, Desember tanggal 2 akan ada konser mereka lagi, setelah yang beberapa bulan lalu saya berhalangan datang. Dia sama sekali tidak berterusterang kepada saya tentang rencananya meninggalkan Indonesia. Duh!
Sebenarnya di awal lagu pertama saya sudah agak heran, di panggung ia tampak gelisah dan wajahnya agak murung. Inilah penyebabnya, ternyata! Lalu, saat Avin ke luar panggung, Irzam mempersilakan rekan-rekannya untuk menyanyikan lagu perpisahan untuk Avin, Through The Year. Irzam lagi-lagi sekuat tenaga menahan dukanya di depan panggung, namun si jenaka ini masih mampu menetralisir suasana dengan gurauan, “Biar aja nih si Avin dengar lagunya dinyanyikan teman-temannya yang lain. Biasanya dia yang nyanyi lagu ini kalau lagi dapat job di kawinan-kawinan orang..hahaha..!”
Avin merah wajahnya. Air matanya tergenang di pelupuk mata. Irzam pun menahan emosi sedihnya. Penonton, yang di antaranya adalah keluarga dari para penyanyi, juga tercekat. Waduh! Saya, yang (terus terang saja), sebelum berangkat nonton konser juga baru saja menangis tiada henti karena suatu kejadian yang tidak menyenangkan, kembali kecut. Sedih betul rasanya suasana pada menit itu. Avin yang baik hati, cerdas sekali tetapi senantiasa ramah kepada saya, menghormati orang yang usianya jauh lebih tua dengan kesantunannya yang luar biasa, akan hilang sebagai teman saya. Ia akan menjadi kepala rumah tangga di Kedutaan Republik Indonesia di Kopenhagen Denmark.Duta Besarnya, Bomer Pasaribu, yang menjadi anggota DPR dan dosen di IPB akan siap berangkat setelah pelantikan oleh Presiden RI dalam waktu dekat.
Inilah air mata kedua yang dipertontonkan Infinito. Menyanyi sambil menangis ! Tentu saja, lagu menjadi kurang bagus tampilannya, karena solois maupun yang lain menyanyi sambil tercekat menahan tangis!! Air mata saya mengalir tiada henti, di samping soprano Aning Katamsi yang duduk di dekat saya saat itu. Ibu Irawati dan Bapak Ari Bahar kedua orang tua Irzam yang duduk di deretan bangku saya, juga terharu. “Irzam pasti sedih sekali..karena sudah berteman belasan tahun dengan Avin “, ujar mereka.
Avin memutuskan untuk pergi setelah dengan perenungan panjang dan sholat istiqaroh berkali-kali. Ia mengaku, begitu mulai naik panggung, rasa duka mulai menjalar. “Inilah pertunjukan saya terakhir .. karena tiga tahun lagi kalau saya balik, apakah Infinito masih seperti ini, dan saya juga masih begini..”, katanya kepada saya. Avin sebagai penyanyi tenor yang kakeknya zaman lalu adalah seorang pemain biola, memang sedang berkembang maju, setelah ditempa beberapa tahun oleh Akis (Josef Christanto ) seorang bariton lulusan Jerman. Pria yang sempat bercita-cita menjadi dokter ini, tentu tak akan membuang kesempatan musikalnya setelah penempatan di Denmark nanti. “Saya sudah riset lho, ternyata gedung opera Kopenhagen adalah salah satu gedung terbaik di dunia,” katanya.
Terima kasih, Infinito ! Kalian, yang terdiri dari orang-orang kantoran di atas usia 22 tahun, dan sebagian besar adalah sarjana bahkan banyak sekali yang sudah S2, betul-betul telah memetik buah manis dari hasil kerja keras latihan yang tekun dan penuh cinta. Eratnya persaudaraan yang begitu tulus amat terasa dari air mata yang mengucur saat akan kehilangan Avin… , namun bernyanyi merupakan penghiburan dan penjelmaan semangat yang selalu baru, baru, dan baru lagi. Seperti tutur Irzam dengan sepenuh hati, “Saat kau berada di atas panggung, kesempatan untuk mengubah dunia sangatlah besar !!”
Sayup-sayup sembari keluar dari ruangan di Erasmus, terasa masih terngiang lirik yang indah “Indonesia Bumi Persada” yang dikarang Binsar Sitompul, yang tadi dikumandangkan Infinito……,
TANAH PUSAKA… TANAH TUMPAH DARAH…
PADAMU KAMI BERBAKTI…MENGABDI SEPANJANG HIDUP KAMI…
KAMI BERGEMBIRA BERSUKA CITA…KAMI SETIA BERKORBAN
MEMBELA BUMI TANAH AIR SENTOSA
BUMI PERSADA YANG MAHA SENTOSA…. DI PANGKUANMU KAMI BUAI..
PUTRA NUSA BANGSA…..BUMI PERSADA DI HARIBAAN.. DI PELUKKANMU……
Waduh mba, Avin itu dulu konsultan audit di kantor saya, ya ampun Avin, apa kabarnya ya sekarang? Kalau ketemu salam dari saya ya mba, karyawati yg ngantor di perusahaan telekomunikasi yg dulu berkantor di kebon sirih, pegang inventory kartu, makasih ya mba
Wah seperti hubungan mba Linda dan mas Alvin sebelumnya (berkenalan lewat dunia maya) dan saat ini saya baca MENYANYI SAMBIL MENANGIS kok betulan jadi ikutan mennagis ya :((…padahal saya juga belum ketemu mba Linda dan dalam penggambaran sosok mas Alvin dalam kacamata mba Linda bisa saya bayangkan bagaimana hangatnya beliau sebagai seorang sahabat…whuiiihhhh merinding membayangkannya…serasa dipeluk erat dan sayang oleh alm bapak saya 🙂
Mbak Linda, kebetulan aku jg nonton waktu itu. Bener mbak, it was a very intimate and emotional performance ya…nice 🙂
Wow, amazing blog layout! How long have you ever been blogging for? you made blogging look easy. The full glance of your web site is excellent, as neatly as the content!
[url=http://acnetreatments250.blinkweb.com/]Acne home remedies[/url]
Terima kasih mbak Linda. Ulasannya bagus sekali. Membacanya membuat saya merasa bangga, senang, sekaligus sedih (lagi) karena ingat Avin yang sebentar lagi akan pergi bertugas… :). Salam kenal, mbak
Banyak terima kasih mbak Ika….. kita doakan agar Avin sukses dan dari kejauhan tetap memberikan semangat kepada INFINITO ….
Salam, Linda