Angin menerpa pipi. Hidung bangir istriku memerah. Kugenggam tangannya erat-erat. Usapan senyumnya masih seperti dulu, tapi kali ini tak mungkin ia menyembunyikan perasaan terdalamnya. Ada duka yang tak ingin ia perlihatkan. Aku tahu persis akan hal itu. Kami duduk di pinggiran halaman istana CharlotenBurg. Ada sungai mengalir pelan dan bebek hitam berkeliaran. Mengapa mereka tak kedinginan, sementara aku sudah berbalut mantel bulu dan kemeja kaos tebal. Demikian pula istriku.
Di samping kami sepasang suami istri tua, terbungkuk-bungkuk berjalan. Dari sepatunya, tas dan baju, sudah bisa kutangkap sejauh mana hanya kesanggupan finansial mereka. Apa yang dilakukan keduanya semasa muda? Tentu tak terburu menabung sebanyak-banyaknya bila melihat tampilan mereka. Yang dikenakan nyata jelas dari kelas kualitas seadanya. Sementara jemariku dililit cincin safir biru dengan berlian empat karat. Ya, empat karat. Seharga rumah di kawasan yang layak di Jakarta. Dan istriku memakai jam tangan bermerk hebat, yang dengan memejamkan mata begitu saja, ia bisa mendapatkannya dengan segala warna.
Lalu, mengapa jiwa kami terasa luluh lantak? Bagai terbang sampai ke ujung atap istana yang berlapis emas menyala. Dan menjulur lebar sepanjang jalan Kurfurstendamm yang mewah. Jalan terkenal di kota Berlin yang menyamai indahnya jalan di Paris. Bis-bis kota dengan gambar menyala di seluruh tubuh berwarna terang, melintasi jalan raya dengan apik dan penumpang menunggu di pinggir halte dengan seksama pula. Aku menghela nafas panjang. Mengapa negeriku tak mudah memiliki suasana teratur semacam ini? Di mana letak salahnya?
Kami singgah di Berlin setelah dari berbagai kota di Eropa. Kukira galau hati ini bisa luluh karena terhibur berkeliling di negeri orang. Dengan makan tenderloin steak terlezat, atau pun spageti di Venizia yang luar biasa enaknya, serta daging kijang panggang di Paris, gundah gulana kami bisa lenyap. Ternyata tidak. Tiap kunyahan penganan terasa hambar. Istriku demikian pula. Seluruh isi toko yang serba gemerlap, yang rasanya bisa kubeli seluruh isinya dengan gesekan kartu kredit manapun yang kumiliki di dompet, tak juga membantu.
Berlin kini menyatu. Bekas Berlin Timur tampak super mewah dan perpaduan antik dan modern terasa menggema ke tiap musim yang berganti di sana. Berlin eks Barat pun tak kalah hebatnya. Gedung perpustakaan yang sebesar mal di Senayan City menjadi ajang daya guna ilmu bagi para anak muda. Duh, baru kuingat, mahasiswa Indonesia di sini jangan-jangan sudah mencapai 1500 orang. Ya, kota ini adalah kota yang memiliki mahasiswa Indonesia terbanyak dibanding kota-kota lain di negeri lain. Hatiku kelu. Jantungku bergidik. Kubayangkan wajah-wajah seram mereka, dengan mulut pedas dan dugaan kritis, yang selalu mencari-cari celah menyentil pemerintah serta aparatnya. Kubayangkan bila aku berada di sini, menjadi pejabat berlama-lama , seberapa jauh mentalku bisa bertahan menghadapi mereka.
Butir air mata sekuat mungkin kutahan agar tak terburai jatuh. Sesungguhnya bagaikan film di depan mata yang tak mudah terhapus. Seseorang begitu dicintai, dipuja, digadang-gadang, dipeluk dan didorong untuk menjadi pimpinan, sementara aku yang ibaratnya sudah karatan di kantor itu sejak lama bagai tak ada maknanya. Lalu saat serah terima yang begitu gegap gempita, teriakan cinta massa, semua membuat telingaku memerah. Sebegitu hebatnyakah penggantiku sehingga orang-orang melupakan apa yang sudah menjadi jasaku selama ini? Tak ingatkah mereka aku sudah mandi keringat memajukan kesejahteraan orang banyak?
Angin Eropa berembus tiada henti. Kali ini melewati Wansee, danau indah di ujung kota. Istriku tak bergeming. Tatapan matanya kosong. Duh! Lalu muncul suara pelan berbisik di dekatku. kamu sudah kenyang. kamu tahu mana yang selama ini harusnya kamu lakukan dan tidak kamu lakukan. kamu paham sekali cara memperbesar isi tabunganmu yang tak akan habis sampai kamu mati. mulutmu sering berucap kasar dan ketus. kata orang, kamu acapkali bersikap sungguh lupa kacang pada kulitnya. yang dulu membantumu, banyak yang kamu abaikan setelah kamu senang dan merasa empuk di kursi jabatanmu. kamu juga terlalu politiking, mencelakakan orang dengan bersembunyi di kolong meja. kamu menandatangani hal-hal yang tidak patut sebenarnya kamu tandatangani. apalagi menjelang kamu pergi dari kantor itu…., tidakkah kamu buru-buru melakukan persetujuan untuk keuntungan satu pihak saja? kamu pikir kamu akan bahagia dengan hartamu yang sudah berhasil kamu peroleh..? ingat… tak ada yang kekal bila pertemanan dilandaskan dengan bayaran.., karena semua hanyalah semu. kamu gemas melihat orang lain lebih populer. terimalah semua itu, dan ingat, jangan sekalipun bertutur palsu. apa yang kamu perlihatkan di depan khalayak secara sportif, lakukan dengan setulus mungkin sesuai kata-katamu. tak banyak lagi orang bodoh menilai di negeri mu… sebab mereka tak jauh beda dengan para mahasiswa Indonesia yang 1500 orang di tempat ini… jeli, ketus, sensitif, dan akan bertanya sejuta tanya terus menerus. semoga tak ada borok yang terkuak, setidaknya, diperkarakan. coba ingat-ingat, adakah lubang yang bisa diungkit, karena kelalaianmu? jangan sampai bui menjadi hunianmu setelah ini..
Aku terkesima. Ngeri. Suara apa itu tadi? Suara siapa itu? Berbahasa Indonesia dengan lancar sekali. Tentu bukan hantu berbangsa Jerman. Dan, apa yang dikatakannya, itulah sesungguhnya yang tengah beredar di sekujur pembuluh darahku. Aku bagai terhina, terjembab ke dasar keset kaki. Lariku ke negeri luar untuk mengubah suasana hati, tapi tak berhasil. Sebab satu hal yang tak mungkin terhapus dalam sekejap, harga diriku hancur, dan AKU MALU …!
Salam Bu Linda…Bu saya udah pernah comment tentang “Aku Malu” nya ibu..tapi kok ga dimuat sih bu…tapi ibu udah bacakan…??
@Nenna : Saya sudah cari, tidak ada lho komenmu sebelumnya…, bisakah diulang? Salam,
Hmmmm…. Niatan malu pada semut merah yang nggremet di antara jerami hitam, tapi apa daya si semut merah malah terjebak oleh lebatnya jerami hingga tak lagi terlihat, jadi batallah aku punya malu, lalu? Boarding aja dech……
@Ninik Kusumawardani : terjebak pada egonya sendiri..???
Hmmm… niatnya malu pada semut merah yang nyelip di antara jerami hitam, tapi apa daya si semut merah terjebak di dalamnya, jadi batal malunya, lalu? Boarding aja lah….. karena aku malu untuk pamitan……
ahahh.. cerpen yg merekam jaman! kenapa juga sang mantan harus berangkat di hari yg sama yakk di saat kotanya sedang berpesta menyambut pemimpin baru?! lagian rasanya baru kali ini saking jarang banget terjadi (kecuali di jaman Bung Karno yg telah silam), orang berduyun2 menyambut dan mengelu2kan pemimpinnya, semua berangkat dari rumah tanpa suruhan atawa bayaran.
@Oeggy : terima kasih sudah mampir, mbak Peggy…. mari kita sama-sama merekam zaman lewat fiksi…
Renungan yg indah & menusuk. Thanks, mba Linda.
@Tasha : terima kasih ya…..
Aku Malu…. Hmmm…. ini yang sudah jarang dimiliki oleh Bangsa kita… terutama para pengejar harta tanpa nurani… Great. Thanks, mbak Lin…
@Berthy : malu memang bisa ‘dijual’ ke mana-mana, tapi tidak bisa dibeli, karena semua ada di dalam nurani….