Aceng terdiam. Ia melihat kedua cucunya di pojok dapur sedang ngudut alias menghisap rokok. Mata mereka merem melek. Dua pak rokok tergeletak di dekat dengkul mereka, di lantai marmer mewah. Aceng mencoba menahan emosinya. Kedua kakak beradik itu, Abeng dan Adung, sudah tiga tahun ditinggal kedua orang tuanya. Mobil mewah tersungkur di tengah rel kereta api. Mereka tewas meninggalkan dua remaja lelaki ini.
Kedua cucu dirawat Aceng. Dengan penuh kasih, tentunya. Tapi keterbatasan mendidik bukannya tak ada. Sudah lama ia tak pernah memiliki anak remaja lagi, terakhir puluhan tahun lalu. Istri meninggal sudah lama, tak ada yang bisa ditumpahkan segala duka lara. Apalagi bagaimana caranya membenahi anak-anak , yang menuju pancaroba segalanya tanpa terduga. Seakan-akan ia kehilangan cara.
“Anak-anaaaaaaaaak,” , panggilnya dari ruang keluarga. Tentu saja keduanya jumpalitan dan buru-buru menyepak bungkusan rokok dan segera berkumur-kumur. “Iya engkong, tunggu, ada apa ngkong?”, jawab merekapun hampir serempak. “Gini, mumpung kalian libur sekolah beberapa hari, temani aku ke Rumah Sakit nengok oom Hawce sakit. Mau kan?” . Tak sampai sejam, sang kakek sudah di dalam mobil bersama kedua remaja, cucu-cucu perokok pemula itu.
Mereka bersalaman dengan Hawce, usia separo abad lebih yang tergeletak seram di kasur butut. Rumah Sakit punya kelas, tergantung isi dompet si empunya derita. Kamar paling murah berisi delapan pasien. Sedih melihat pemandangan ini. Kedua remaja ini meringis. “Jijik banget ruangan ini ya?. bisik Abeng kepada kakaknya.
“Kalian baik-baik saja kan kepada engkong?”, tanya Hawce dengan suara terbata-bata. Tak pantas sesungguhnya usia segitu berpenampilan bagai tua renta. Kedua anak mengangguk. “Begini, Oom mau cerita ya. Umur 13 oom mulai merokok. Copet uang belanja ibu, ambil uang kakak. Dilarang sekali, dikerjakan sepuluh kali. Dari rokok putih ke rokok keretek. Sampai lagi rokok putih lagi, lama-lama dua pak sehari paling sedikit. Masih mau dengar cerita Oom?”, tanyanya. Abeng dan Adung meringis, mengangguk pelan.
“Oom harap kalian tidak seperti Oom ya. Malah aku yakin kalian tidak suka merokok. Jangan ya. Betul-betul jangan. Menyesal seperti ini nanti. Harusnya aku hari gini sih masih di lapangan golf, atau main sepeda sama anak cucu. Masih jalan-jalan ke mall. Tapi paru-paru Oom tinggal seperempat yang waras. Selebihnya banyak luka dan dirubungi nikotin”.
Anak-anak terdiam. Aceng pura-pura membaca tabloid gosip di pinggir tempat tidur. Pura-pura juga tidak menyimak. Padahal dalam hati, “Rasain lu anak-anak… biar nyaho ..!” . Lalu Hawce minta tolong suster mengambilkan lembaran amplop coklat lebar dari samping laci. “Lihat nih, paru-paru Oom sudah bolong. Ini hasil rontgen. Nafas sekarang seperti ditusuk jarum satu-satu. Jantung bobrok, paru-paru soak. Tinggal modarnya saja deh! Oom menyesal sekali sebagai perokok berat. Akibatnya seperti ini. Ingat ya… kalian jangan melakukan itu, dan jangan juga coba-coba sekali, karena bisa keterusan lalu susah berhenti..” Dan tak sampai pembicaraan itu final, Hawtje batuk-batuk berat, segumpal darah muncrat ke dada. Mereka kaget luar biasa. Suster memanggil rekannya, dokter pun datang, segera menangani Hawce yang terbujur lemas.
“Ayo pulang.. pulang… kita pulang saja sekarang”, kata Aceng. Pedih rasanya melihat temannya bergelut dengan derita berkepanjangan. “Besok saya datang lagi, sendirian ya Ce. Saya kirim cek untuk tambah biaya rumah sakitmu…”, katanya lagi.
Di mobil, Abeng dan Adung termangu. “Ngeri banget ya engkong, Oom Hawce. Jadi dia merokok dari remaja ya?” tanya Abeng sembari meringis. Aceng tidak menjawab, pura-pura tidak mendengar pertanyaan cucunya. Dalam hatinya ia tertawa, rasain lu! Biar nyaho ngeliat sendiri akibatnya.
Mobil memasuki halaman rumah yatim piatu di kawasan Jakarta Barat. Butut, tapi terawat bersih. Sekelompok anak berpakaian lusuh dan sungguh sederhana. Aceng sering ke tempat ini dulu, saat istrinya masih hidup. Segala peratalan seperlunya dicukupi, untuk yayasan sosial ini.
Beberapa remaja duduk di pinggir tangga, laki-laki dan perempuan. Semua berurai air mata. Menangis? Ow, ternyata tugas mereka hari itu adalah mengupas bawang merah. Pedih di mata, tangan tetap bekerja. Bawang-bawang ratusan kilogram itu harus sebagian digiling, sebagian lagi dirajang tipis. Dijual ke pasar untuk kebutuhan pembeli yang biasanya orang-orang pemilik katering besar. “Kalian ngobrol saja sama mereka, engkong ke dalam dulu ketemu kepala yayasan.” ujar Aceng.
Amir, Maulana maupun Emi bercerita, dari tiap kilogram pengupasan bawang, iris maupun giling, upah didapat Rp 1000,- Anak-anak yang tak berbapak tak beribu ini bisa mengantongi uang serba sedikit untuk menambah uang jajan maupun menyewa buku pelajaran. Mata bengkak pedih amat sangat, berair tak berhenti. Tentu saja karena bawang merah sungguh pedas di mata. Abeng dan Adung lagi-lagi bengong, serasa muka mereka tertampar batu balong besar sekali.
Di mobil, keduanya terpaku lagi. Hening kehabisan kata. “Kasihan betul mereka ya Kong…” celetuk Adung. “Apa’an yang kasihan? Mereka hidup senang dan nyaman seperti kalian kan?”, sindir Aceng. ‘Ah, ya tidak laaaa, mereka sama-sama tidak punya orang tua, tapi hidup tergantung dari belas kasihan orang. Ngupas bawang begitu mana enak Kong?”, timpal Abeng.
Dalam hati pria ini kembali bersorak. Rasain luuuuu.., katanya. Dan, sekembalinya di rumah, kedua anak dipanggil. ”Kalian tadi melihat itu semua, apa yang dipelajari? Hasil ngisap rokok paru-paru bolong. Lihat Oom Hawce sampai jual rumah, tanah, mobil, sampai-sampai harus nginap di rumah sakit kelas kambing begitu. Uang ludes untuk biaya pengobatan. Kasihan kan anak istrinya, sampai anak berhenti sekolah lho! Dan di rumah piatu itu tadi, memang nasib mereka sama seperti kalian, tidak berorang tua lagi. Tapi apa kalian harus mengupas bawang, makan di ransum kaleng seperti tadi, baju ada yang ditisik-tisik tambal sulam? Tidak kan?”
Abeng dan Adung terdiam. Mata mereka berkaca-kaca. Aceng dipeluk kiri kanan. “Kami tidak mau seperti mereka, engkong…. , takut rasanya”. ujar Adung sambil mengusap air matanya. Remaja usia 15 tahun dan 13 tahun ini bergantian memeluk sang kakek. “Tolong kami ya engkong, nasihati kami terus kalau salah. Hidup kami jauh lebih enak dari mereka… kami juga ngeri kalau lihat akibat rokok seperti itu”, tambah Adung.
Aceng sekuat tenaga menahan guliran air matanya dari matanya yang sipit itu. Itulah provokasi seorang kakek yang diam-diam dilakukannya hari ini. Ia tidak melarang, memarahi, membentak, maupun mengancam kedua cucunya. Kenyataan di lapangan jauh lebih penting dan bermakna untuk sebuah pelajaran berharga. “He, anak-anak ini tidak tahu sang kakek adalah provokator asli, secara diam-diam , halus, dan gerakan bawah tanah. Moga-moga mempan dah!”, desisnya sendiri.
Aceng melakukan dengan gemilang. Apakah predikat provokator senantiasa berkonotasi buruk? Entahlah. Namun pada kenyataannya, ada pula Aceng-Aceng yang lain, termasuk Aceng si tak tahu malu yang memang berniat betul melakukan provokasi untuk sebuah keributan di kawasannya, menyundut amarah orang, memberikan keterangan palsu dan mengedepankan pencitraan seakan-akan ia adalah malaikat, lelaki percontohan sejati dan suami penolong, pemimpin hebat dan layak dipuja puji dan digadang-gadang sebagai pahlawan………
Banyak kepala banyak warna rambut pula di kepala. Banyak Aceng di dunia….. sang provokator untuk kebaikan, atau provokator yang betul-betul asli kejam menjijikkan.
Semacam Aceng yang play boy kalengan banyak kok di Senayan.
Ada DUA ACENG yang BEDA 180 drajar….