Kamis pagi, 21 Mei 1998. Istana Merdeka masih lengang. Saya masuk ke ruangan tengah. Baru beberapa staf istana mondar-mandir. Lalu datang beberapa teman , kru dari TVRI. Media elektronik lain belum ada. Mereka menyiapkan kabel, lampu dan tongkat kamera panjang di pinggir kiri. Kata saya, “Ngapain kamu cari tempat di pinggir? Kenapa nggak di tengah?”. Lalu salah satu teman menjawab, “Ya sama saja kan Lin”. “Apanya yang sama? Hari ini luar biasa. Ini bukan pengumuman biasa. Lurah (kami menyebut pak Harto selalu dengan kata ‘lurah’) mau mundur lho!”, jawab saya. “Hah? Apa iya Lin? Kamu jangan main-main!”, celetuk salah satu wartawan cetak yang baru saja muncul. Saya agak heran, bagaimana mungkin wartawan televisi yang namanya TVRI yang selalu mendapat porsi terbesar dalam pemberitaan bisa tidak tahu akan ada hal ’seram’ pagi itu.
Sebelumnya, malam pukul dua saya menelepon Pertiwi Hasan, istri Bob Hasan. “Betul ya tante, Pak Harto besok mau mengundurkan diri?”. Suara dari seberang terdiam. “Aduuuh Lin…, tante takut salah ah! Nanti si Oom marah lho. Tante nggak berani jawab ah!”, ujarnya. Jawabannya yang serupa itu sudah membuat saya paham situasi yang sesungguhnya. Pasti akan mundur! Istri Bob Hasan sudah saya kenal sejak saya masih balita. Saat Bob Hasan masih bujangan, ia selalu muncul di rumah kedua orang tua saya. Masih menyetir mobil sendiri, dan makan minum seenaknya di rumah. Pertiwi si pramugari yang betul-betul jelita, sibuk belajar cara menanak nasi dengan langseng (dulu belum ada rice coocer) yang dipandu oleh ibu saya, saat menjelang ia akan menikah dengan pacarnya, Bob, yang sudah tahun-tahunan itu.
Saya kecewa dengan jawaban Pertiwi saat itu. Takut benar dia untuk berterus terang. Beberapa jam sebelumnya saya dihubungi salah satu staf kantor suami saya di Bandung. “Bu Linda, besok Pak Harto mundur lho. Wartawan istana sudah tahu belum?”. Pertama saya pikir, lancang betul pegawai suami saya berkata begitu. Namun sebutir nasipun terjatuh di lantai, tak boleh diabaikan oleh wartawan yang harus selalu bertelinga panjang. Hebat juga ini orang…., kerjanya mengelola hotel suami saya, tetapi urusan politik ia bisa tahu lebih dahulu. Maka itu saya langsung menghubungi istri Bob Hasan tengah malam buta, karena saya tahu persis pasti sang suaminya tak akan berterusterang kepada saya.
Seminggu sebelumnya saya memang menghubungi Bob Hasan via telefon. “Kan Oom Bob sangat dekat dengan si lurah. Sudah lah, bujuk dia mundur saja. Sahabat yang baik adalah orang yang bisa menasihati, bukan malah jeblosi lho Oom”, ujar saya setengah lancang. Dan saya ingat sekali kata-kata Bob Hasan ketika itu, “Kamu bayangkan kalau negeri ini nggak dipegang dia, nanti kayak Yugo lho.. bisa jadi 16 bagian pecah-pecah. Saya seram lho Lin! Dan ke depannya, bagaimana ya? Persatuan kesatuan Indonesia yang luas ini bisa lepas lho satu-satu!”. Saya tercenung menyimak kata-katanya. Ngeri memang kalau membayangkan apa kata si konglomerat ini. Tapi saya masih menjawab dengan seenaknya, “Itu kan kata elo, Oom! Bukan kata rakyat!!”. Dan Bob Hasan tertawa pelan. Hambar dan terasa was-was.
Beberapa hari saat keributan, jalan Cendana sudah super sibuk pagi sore siang apalagi malam. Saya bersama teman-teman wartawan yang bertugas di Istana tahun-tahunan berjaga-jaga di Cendana. Tentu tidak boleh masuk ke dalam rumah. Sesekali saya lihat Tutut mondar-mandir di ruang keluarga, dengan raut muka tegang. Kerudungnya sudah melorot ke bahu. Tiap tamu yang datang kami perhatikan dari halaman depan yang beraspal itu. Usai maghrib saya melihat ada mobil Volvo Azwar Anas masuk. Bersama seorang wanita bersanggul, bertubuh mungil dan berwajah tegang. Saya hampiri setelah mereka turun mobil. “Ini siapa Oom, urusan apa bawa perempuan ini? Tante ada di rumah kan? Lalu, ini siapa? Mau ketemu pak Harto?”. Tampak Azwar Anas kagok dan agak panik saya tanya seperti itu. Orang ini bersama istrinya adalah teman bermain golf ayah ibu saya sejak lama. Jadi saya memang sudah kenal sejak ia belum menjadi Menteri Perhubungan. Pulangnya, Azar Anas tidak bersama ibu itu lagi. Lha, ke mana dia? Otomatis pikiran saya melayang ke pintu-pintu di belakang rumah Cendana yang bisa menembus ke rumah Tommy, Tutut maupun Bambang . Tentu si ibu itu tidak akan melewati pintu yang ada banyak wartawan lagi. Segera saya lacak lewat sumber-sumber canggih saya di dalam rumah Cendana. Belakangan baru saya ketahui orang itu bernama Leni – seorang paranormal orang Kalimantan. Beberapa tahun lalu Leni wafat karena penyakit gula yang cukup parah.
Prabowo, Wiranto, Soebagyo HS, Sjafrie Sjamsoedin yang biasanya ramah dan murah senyum kepada saya, beberapa hari itu di Cendana bermuka masam. Lihat saya langsung menghindar. Diketuk jendela mobilnya oleh saya, Prabowo langsung mendelikkan mata. Uh, menyebalkan.
Maka tibalah hari yang mencengangkan itu. Aroma melati di ruangan yang menyebar sebagaimana biasa bagi saya sungguh ‘nyelekit’ saat itu. Wanginya bagai tak bermakna lagi. BJ Habibie tegang. Kepala rumah tangga istana, kepala protokol istana, seluruh jajaran di sana, sampai Tutut yang berkerudung lebar, mencoba tersenyum tapi pahit yang tertangkap. Saya memakai blazer berwarna merah, karena memang sudah saya siapkan sejak jauh hari sebelumnya. Ruangan dingin itu merambat ke telapak tangan saya. Juga orang-orang yang berada di tempat itu.
Air mata saya sudah menggumpal di sudut mata. Antara sedih, bahagia, bersyukur, was-was, semua bercampur aduk. Di satu sisi saya kagum atas cara kerja Soeharto. Namun di sisi lain pada perkembangannya saya menginginkan orang ini mundur. Terlalu banyak sudah penyimpangan yang terpampang di ujung mata. Sehari-hari di meja Menteri Sekretaris Negara saya melihat surat bertumpuk, yang kadangkala berisi disposisi yang angker, berbau KKN, otoriter, dan tegas. Semua menjadikan suasana negeri ini menjadi semakin tidak karuan.
Saya bayangkan betapa paniknya tanggal 21 Mei itu bagi orang-orang yang ibaratnya sepanjang nafasnya bergantung kepada kekuasaan sang Presiden ini. Untuk urusan jabatan, bisnis apalagi. Terbayang sudah bagai rontoknya daun di musim gugur satu persatu. Saya bayangkan pula di detik yang sama betapa hebohnya adik-adik di gedung DPR maupun berbagai politikus serta rakyat di seluruh Indonesia menyambut peristiwa besar ini.
Kaki saya kelu. Hanya berjarak sekian meter ada seorang lelaki berkuasa puluhan tahun, yang saya anggap tak begitu murah senyum kepada wartawan yang sehari-hari bersamanya tahun-tahunan, yang semula bagai tak tersentuhan teguran, kritik dan nasihat apapun, di depan saya menyerahkan kekuasaannya. Sesungguhnya ia sudah dengan segenap hatinya menyerahkan waktu hidupnya untuk membangun negeri ini. Wibawanya kepada berbagai pembantunya memang tiada tara. Kesatuan selalu dipolesnya dengan sekuat tenaga. Namun manusia tak ada yang mampu menjelmakan dirinya semulus batu pualam seindah ciptaan alam. Khilaf tentu ada di sekujur tubuh siapapun. Termasuk Soeharto. Dan langkah kakinya menuruni anak tangga istana didampingi Tutut, adalah langkah akhirnya berada di rumah putih besar megah berlapis marmer bergelantungan lampu kristal itu. Saya berdiri di ujung tangga. Mengangguk, melempar senyum kepada bapak dan anak ini, sampai mereka memasuki mobil dinas presiden. Tak ada yang langgeng di dunia. Semua adalah titipan Tuhan…….
** (tulisan ini pernah saya muat di blog Kompasiana 2011 )
Terimakasih Mbak Lin. Wanita senantiasa memiliki firasat yang kuat tentang sahabat dan terbaiknya… Pak Harto yang menjadi “mitra” jurnalis, ya termasuk Mbak Linda, menjiwai dan memberi pesan, agar naluri ini tiba kepada kita sebagai tegur-sapa teman…..