Ahok, Oh Ahok…!

Titiek Puspa masuk ke ruang kerja Ahok. Sang Wagub masih di luar ruangan. Di depan kami ada suguhan makan siang. Juga pisang hasil dari Belitung. Tak lama Ahok muncul. Tinggi tegap dan wajahnya bersinar. Ada guratan lelah sedikit di ujung mata. “Lha, ternyata pak Wagub ini tinggi besar yaaaa, guanteng lagiii..”, ujar Titiek Puspa sembari menyalami Ahok dengan gaya lucunya. Ahok, si lelaki usia 47 tahun itu tertawa lebar.

Kami makan bersama sembari Titiek Puspa melontarkan niatnya ingin mencari lahan untuk sekolah musik bagi anak-anak miskin. Ahok mendengarkan dengan seksama dan memberi jalan keluar yang elegan. Kami menyimak pembicaraannya. Salah satunya Ninok Leksono sahabat saya, sang rektor Universitas Multimedia Nusantara yang juga sebagai petinggi koran KOMPAS. Juga Dewi Motik.

Hari-hari selanjutnya saya berkirim berita dengan Ahok lewat telefon genggam. Meski hanya pesan pendek, tapi rasanya sungguh berarti. Sebab teman-teman saya, kerabat, grup pengajian saya juga acapkali mendoakan Ahok serta ‘boss’nya, Jokowi yang bila nyengir muncullah gusinya yang lebar. Itu yang juga harus saya sampaikan kepadanya sebagai penyemangat kerja.

Ahok pemarah. Itu saya cermati. Kadang ia tak berpikir panjang untuk memaki. Bahkan kepada pedagang Pasar Cikini yang dianggapnya terlalu mengada-ada menghadapi persoalan mereka, yang sesungguhnya, Ahok belum paham benar tetapi sudah langsung menghantam. Saya menganggap dalam hal ini Ahok sudah termakan oleh masukan yang salah dari stafnya. Saya hanya menarik nafas panjang….

Ahok muncul dari keluarga terpelajar. Ada Basuri saudara kandungnya sebagai bupati di kampung asalnya, yang beristrikan juga seorang terpelajar, dokter cantik bersahaja yang tak pernah mau berpamer diri kepada tekan-temannya dimunculkan namanya sebagai istri bupati apalagi sebagai ipar dari seorang Wagub DKI. Urusan cerita masa lalu Ahok, latar belakang keluarga serta jenjang karirnya dengan mudah kita bisa cari di ‘oom google’.

Lalu muncul tulisan teman baik saya, Budiarto Shambazy di halaman dua koran Kompas hari Senin ini, tanggal 9 Desember 2013. Judulnya “Diplomasi Bakmi Belitung”. Tulisan yang jernih, tajam, sungguh cerdas dan apa adanya. Ahok dikerumuni wartawan bersama Jokowi setelah ‘main tamu-tamuan’ ke jalan Teuku Umar Menteng Jakarta Pusat. Rumah besar yang menjadi tempat kediaman Megawati tentu sangat bermakna untuk pengejar berita. Ada apa sang Gubernur dan Wakilnya menghampiri mantan Presiden RI ini?

Ooo, menurut keduanya, ternyata hanya sekedar ‘main masak-masakan’. Tetapi apakah yang dimasak? Tentu bukan sekedar ramuan resep lezat yang bisa dikunyah dengan nikmat. Mata jeli dan telinga lebar akan menangkap sesuatu yang lain dari hasil pertemuan itu. Dalam tulisan Budiarto Shambazy disebutkan bahwa ada dugaan ramuan resep lezat itu berkisar pada pencalonan RI satu dan RI 2 yang akan diposisikan kepada dua orang ini.

Ahok duduk di seberang berhadapan dengan Megawati pada meja bundar yang sama usai makan siang. “Gua nggak peduli. Ada pejabat nyusahin yang sempat gua tantang. Saya siap mati pak, bapak siap enggak?”, begitu ungkap Ahok kepada pejabat yang akhirnya malah menjadi dekat dengannya.
Selain itu, yang mengharukan adalah ketika Ahok bercerita bahwa mereka akan diserbu, dan anak-anaknya siap menghadapi hal seseram itu sembari berkata, “Kalau mati, kita masuk surga kan, Pa?”. Duh….. ! Sebegitunya beban yang sudah melekat di keluarga Ahok.

Yang juga seru adalah, Ahok dan Jokowi mengatur anggaran secara transparan tanpa basa-basi, sehingga tikus sawah, maling siapapun akan mencoba curang mengubah tidak akan bisa bersembunyi lagi. Anggaran online diciptakan, bila layar komputer terbuka maka ada gambar gembok, dan yang hanya bisa membuka dan menutupnya cuma Ahok plus Jokowi sang boss. Nah, betapa mati kutunya para pecundang yang selama ini berjaya di jajaran DKI. Di kandangnya sendiri, Ahok membuat staf ‘keringetan’. Di luar kandangnya, Ahok membuat panik pula bagi banyak orang yang tentunya memendam siasat buruk, bahkan dengki.

Ahok, dengan gaya ‘Cina pasar’ bertutur kasar tetapi mengena, kadang membuat orang terkaget-kaget dan gregetan. Apalagi para pejabat yang sudah terbiasa dibentuk secara feodal, manis muka namun mental nyolong tetap terpelihara. Saya gemas ketika ia marah kepada sekumpulan orang yang ingin mengadu kenestapaannya, tetapi ia enggan mendengar lebih lanjut, “Nggak suka sama saya, silakan. Saya tidak peduli nggak dipilih lagi. Nggak ada urusan!”. Saya sempat kecewa atas kejadian itu. “Jangan bersikap seperti itu. Tidak baik!”, itu perkataan saya kepadanya.

Ahok.. duuh, Ahok…. coba mulut itu direm sedikit laaaa…! Tetapi hati kecil saya tetap menyuarakan kata-kata yang selalu saja bertalu-talu, “Biar saja kita punya pemimpin seperti Ahok. Biar tahu rasa semua !” Hahahahaaaa…. !

Eh, lupa. Ahok kan nama dari sononya ya? Namanya di KTP tentu Basuki Tjahaja Purnama. Dan saya ingat ketika ia jalan kaki berduaan dengan saya dari kediaman pak Wiyogo Atmodarminto eks Gubernur DKI yang baru saja wafat menuju mesjid Taman Sunda Kelapa, saya sempat berkata, “Jangan lepaskan nama Ahok! Biarkan nanti orang-orang memanggilmu tetap Ahok, bukan pak Bas…. nama Ahok kan kereeeeeen!”

Ahok pun nyengir. Pipinya yang gembul bagai bakpaw itu bergerak-gerak. Lelaki yang usianya jauh di bawah sayaitu, kini tengah mengalami dilema hidup dan kekuasaan yang tiba-tiba saja muncul di depan hidungnya. Semoga ia tetap kuat, konsisten,tidak besar kepala dan tetap rendah hati, sensitif pada lingkungan siapa kawan siapa lawan, tetap sehat, dan lurus!

14 comments

  1. Jangan terlalu memuji dulu..lihat bagaimana singapura pertama kali dipimpin oleh Lee kuan yew beliau sangat baik pada kaum melayu yang merupakan penduduk pribumi tapi sekarang setelah cina menguasai singapura suara azan dilarang keras, aksara arab melayu di hapuskan bahkan bahasa melayu mulai dikurangi pemakaiannya padahal semboyan dan lagu kebangsaan menggunakan bahasa melayu MAJULAH SINGAPURA..singapura memang maju tapi jauh dari nafas keislaman padahal singapura adalah tanah melayu yang identik dengan keislaman karena singapura menjadi negara SEKULER, dan apakah mau jakarta nanti seperti singapura maju tapi jauh dari keislaman dan menjadi kota sekuler ? padahal tanah jakarta adalah tanah betawi yang identik dengan keislaman yang kuat tapi ya mudah-mudahan ahok tidak seperti lee kuan yew..amiin

  2. Ada banyak orang2 Tionghoa yang berjuang untuk republik ini tetapi di diskriminasikan sejarahnya oleh Ordebaru, seperti Liem Kho Hian,Siaw Giok Chan, Kwik Kian Gie, dan banyak lagi yang ndak bisa saya sebut di sini. Tetapi Akok lah yang membuka mata “Pribumi” akan perjuangan orang2 Tionghoa Nasionalis di masa lalu sehingga merubah citra Tionghoa yang eklusif! Ia mencampakkan citra negatif Tionghoa INA. Padahal jumlah Tionghoa di INA hanya sekitar 3% Kok bisa menjadi pecundang ekonomi, lalu kok bisa Ahok menjadi Wagub yang malahan di calonkan oleh masyarakat menjadi Wapres? Jadi Mindset ke “cinaan” harus di rubah. Justru kalau di Kota saya di Singkawang yang mayoritas orang Tionghoa, Hampir 60% toko2 langganan koran yang di banding dengan langganan pihak Melayu yang ndak capai 10%, dus notabene kan kesadaran berpolitik mereka juga lebih tinggi dan lebih matang. Ketika mereka ikut pemilu, masyarakat Tionghoa “tidak bisa dibeli” karena perekonomian mereka yang menengah keatas. Nah kalau kita mau jujur, siapa yang lebih mengerti demokrasi? Silahkan deh teman2 pikir dan jawab. Salam

  3. Saatnya kini para maling, para pereman, para koruptor, bangsat dan sejenisnya di DKI pada blingsatan…. Semoga semakin banyak bermunculan Jokowi dan Ahok baru buat bangsa ini…

  4. Mba Linda Djalil dr pertama sy mengenal lwt media(mengenai pengalaman pribadi sbg wartawati di istana negara) tutur kata ttg Pak Harto dan Adjie Masaid (alm) sangat jujur n lugas †ά̲̣̥ρĭ dgn gaya bahasa ♈ªϞƍ mudah dipahami salut ߪÑgêt mba Linda…Dan Ahok oh Ahok bikin sy makin bangga dan kagum pada duo kolaborasi handal Jokowi dan Ahok smg terus bisa istiqamah .⌣»̶·̵̭̌·̵̭̌✽̤̥̈̊ ǎmiƝ ✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

  5. Kebaikan berujung baik,kemunafikan berujung kekwatiran.
    yg ingin melakukan kebaikan banyak tapi yg punya keberanian utk mengakses kebaikan rasanya 1 dari sejuta belum tentu ada.

  6. Saya pengen AHOK tetap di DKI, Jokowi saja dicarikan Wakil dari Militer…. Tapi, putusan memang tetap di bu Mega dan Tim. Semoga Indonesia jaya…

    Semoga: “…Dalam tulisan Budiarto Shambazy disebutkan bahwa ada dugaan ramuan resep lezat itu berkisar pada pencalonan RI satu dan RI 2 yang akan diposisikan kepada dua orang ini.”

  7. Saya terharu membaca tulisan kakak. Saya semakin kagum dengan ko Ahok. Dia aset yang tiada tandingannya bagi bangsa korup ini. Saya kagum akan keberaniannya, seorang kwik kian gie pun tidak punya nyali seperti ko Ahok. Sebagai seorang keturunan tionghoa yang gagah berani, mungkin tadinya orang banyak orang berpikir ko Ahok akan bermain cantik dalam politik. Mereka salah. Saya justru melihat keberaniannya menuai simpati dari semua kalangan, suku dan bangsa. Justru kemerdekaan dan keberanian ko Ahok membuat banyak orang menyadari betapa selama ini kita sebagai bangsa telah disetting sedemikian rupa akan perbedaan pribumi dan nonpribumi yang lambat laun dihapus oleh kehadiran ko Ahok. Sampai suatu ketika nanti, bangsa inipun bangga memiliki seorang presiden yg bukan “pribumi”. Pada saat itu dunia berdecak kagum kpd Indonesia!

  8. Semoga keluarga Pak Jokowi dan Pak Ahok diberi kekuatan dalam menjalankan amanah yang diberikan kepada mereka. Negeri ini rindu pemimpin yang tegas dan mengayomi. Jokowi dan Ahok pasangan yang serasi, mereka 2 karakter yang berbeda dan saling mengisi satu sama lain.

    Saya sebagai warga Medan cukup iri melihat warga DKI punya pemimpin hebat seperti kedua orang ini.

  9. Tipikal orang dari pulau seberang & juga tionghoa, kebanyakan memang ngomong main jeplak saja, ceplas ceplos. Ga pandai pakai kata berbunga. Seperti sebagian saudara saya dan teman2. Tapi seru…karena apa adanya.

  10. Semoga semakin banyak pemimpin-pemimpin jujur dan bersih seperti mereka diangkat oleh media. kita semua merindukan pemimpin pemimpin seperti Pak Jokowi & Pak Ahok di Jakarta, Bu Risma di Surabaya, Pak Ridwan Kamil di Bandung..

Comments are closed.