Teman-teman saya orang Batak banyak sekali yang menjadi sahabat saya. Hanya tampilan saja ternyata yang tampak keras, namun mereka lemah lembut, perasa, sungguh cerdas dan bijak. Ini betul-betul saya alami. Bahkan seorang kekasih yang akhirnya tak menjadi suami karena perbedaan agama adalah suatu bukti, bahwa ‘orang sebrang’ itu memiliki kehalusan jiwa yang dalam.
Namun mengapa di hari saya yang makin berumur ini saya (bahkan rakyat) sering menyaksikan seorang lelaki Batak begitu kasar dan ngawur sekali bicaranya — seakan-akan ia berbicara pada kodok di pinggir got, tak mengenal kelas, tak paham tutur kata santun secuilpun, padahal ia menduduki posisi terhormat yang mungkin tanpa ia sadari rizki posisi keren itu semata-mata atas pilihan Tuhan….
Kasar kepada perempuan yang pernah dipersuntingnya hingga membuahkan seorang putra, kasar terhadap pimpinan Ibukota yang telah berupaya jiwa raga bekerja keras bagi rakyat, sinis sangat arogan terhadap apapun yang dianggap tak disukainya.., semua terpampang sehari-hari muncul dalam berita.
Ia bagai lupa sempat tak terterima pada posisi tertentu dan direndahkan di tengah orang banyak atas perilakunya. Tapi semua itu tak membuatnya sadar serta hatinya terbuka…, bahkan kali ini sungguh fatal ia menganggap rakyat Indonesia adalah orang-orang yang sakit jiwa karena menginginkan seorang pimpinan yang diidolakan menjadi pucuk pimpinan di negeri ini.
Rasanya hari ini saya ingin berkumpul bersama mereka, teman-teman saya berdarah Sumatra Utara yang menjadi teman sepermainan, sepekerjaan, sepergaulan sehari-hari …yang bijak, halus, terpelajar lahir batin, elegan, baik hati, .. dan jauh dari bodohnya lontaran kata.
“Orang Batak itu..”, terimakasih atas tulisan ini. Sebagai orang Batak, saya merasa tergelitik. Saya coba memahami sesuatu dibelakang tulisan ini. Saya sudah menganggap bahwa ****t itu bukan orang Batak, bukan orang Indonesia, dia adalah pribadi sendiri yang entah datang dari mana.
teman2 saya yang sama2 orang sebrang juga “tabu” menyebut nama itu mba…
terkadang sebagai orang sebrang kita ikut malu,kalau selalu di bawa2…
mengatas namakan seluruh warga sebrang dalam ucapannya…
salam
Bu Linda yang baik,
Bicara soal ‘batak’ mungkin ibu harus melihat secara konprehensive. Ada banyak sekali contoh yang baik dan ada banyak sekali contoh yang tidak baik. dan kebetulan, contoh yang tidak baik dalam hal berbicara, bersuara, yang sering ditampilkan di media.
Bagi kami orang batak, adat itu adalah diatas segalanya. seseorang akan marah bila disebut tidak beradat. Mungkin seseorang itu akan marah bila disebut tidak beragama. Adat yang diturunkan oleh leluhur kami selalu diajarkan dari ayah ke anak.
Setiap ayah selalu mengatakan “pantun do hangoluan, jala tois do hamagoan” yang artinya “sopan santun adalah jalan kehidupan dan congak/tinggihati/sombong adalah jalan kehancuran”.
Petuah itu satu-satunya modal ketika kami, batak-batak perantau diberangkatkan ke tanah rantau, entah dimana pun berada.
Jabatan, politik, harta, menjadi sangat berpengaruh sehingga seseorang itu menggadaikan ‘batak’ nya itu. Sebut saja pengacara hotman paris dan ruhut sitompul. Mereka inilah yang mencoreng suku batak. Bagi mereka, popularitas lebih berharga daripada nilai kebatakan itu.
bagi kami orang batak, prahara rumah tangga sangat AIB diketahui bannyak orang. Suami istri yang bertengkarpun dinasihatkan oleh para leluhur supaya didalam kamar pribadi. kadang anak-anaknya tidak ntahu kalau suami istri sedang gaduh. itulah gambaran betapa sakralnya hubungan antara suami dan istri.
Tapi, lihatlah kedua oknum itu. saling mempermalukan di depan media. saling membuka aib, luarbiasa!.
begitulah… kita orang kecil ini hanya bisa mengelus dada. ketika seorang anak kecil berkoimentar “pa, seperti itukah orang batak?”
akupun tak tahu menjawabnya.