Seseorang terbiasa berdusta. Kepada siapapun. Keluarga, rakyat, barangkali juga Tuhan. Sebab kitab suci atas nama Tuhan di atas kepala sebagai alat bersumpah, juga diperalatnya. Untuk menutupi segala aib, segala jurus dipakainya. Mulai dari berbicara ‘gaya medok’ aksen Jawa meski ia orang seberang, menampilkan wajah sumringah sembari menenteng tas super mahal di lengan, bergincu kinclong dan benderang untuk menandakan ‘tenang-tenang saja, Im very Ok’ , hingga selalu mengatakan ‘tidak’ atas segala hal yang dituduhkannya.
Lalu datanglah penawaran itu. Tutup mulut, jangan buka cerita yang asli, maka hukuman hanya sebentar saja. Bila buka suara, silakan menikmati ganjaran lebih lama. Lalu lagi, si pihak penawar pun ingkar. Setelah semua rahasia tak dibuka, tetap saja selusin tahun akan menjadi tanggungannya. Lalu lagi, ia marah besar kepada yang menyodorkan janji-janji dengan jaminan.
Semua ternyata memang janji palsu. Ia diingkari. Ia dibohongi habis-habisan, dan harus menanggung serba sendiri deritanya. Lalu lagi, sepoy angin pun bertanya, “Tidak enak ‘kan dibohongi?” Maka ia menelan buah pahit sepahit-pahitnya, akibat dusta yang selalu tertabur pada tubuhnya dari kaki hingga kepala……
Seseorang terbiasa berdusta bergincu kinclong dan benderang ( female),gaya medok’ aksen Jawa meski ia orang seberang (Sulawesi), wajah sumringah sembari menenteng tas super mahal dan selalu mengatakan ‘tidak’ atas segala hal yang dituduhkannya akhirnya selusin tahun akan menjadi tanggungannya….Anggi