Semula kupikir, kemarin adalah hari mencengangkan yang indah. Presiden terpilih sudah nampak jelas. Indonesia menerimanya. Salah satu yang tak terpilih pun menerimanya.
Namun ternyata keadaan tak semudah itu. Aku lupa, dalam pencapaian sesuatu ada jalan berliku, bergerigi, dan berhantu. Ada cara yang tak dihalalkan. Ada jalan pintas. Ada kelicikan yang bisa saja terjadi. Aku begitu naif sudah amat bergembira untuk menyambut hasil tanggal 9 kemarin. Begitu naif memang.
Usai sahur aku merenung. Indahnya hidup terasa terganggu dengan peristiwa kemarin- sebab kemarin ternyata bukanlah pesta. Ya, bukan pesta demokrasi yang didengang-dengungkan, yang keluar dari bibir dengan santainya. Aku mencoba kembali mengurut kejadian. TPS (Tempat Pemungutan Suara) mulai ditutup pukul 13.00 siang. Di seluruh Indonesia. Saat itu orang mulai sibuk menghitung, mencatat, dan mencermati hasil pungutan suara. Alangkah fantastisnya sekitar pukul 14.30-an Megawati sudah mengeluarkan air mata haru, tatkala dari mulutnya sendiri keluar pernyataan bahwa Jokowi telah menang. Aku terpana sejadi-jadinya. Bagai mimpi. Bagai tak percaya ada televisi sedang berbunyi di hadapanku. Kulihat Jokowi, Wiranto, berwajah tegang. Ada apa ini?
Ow, ternyata pemenangan perhitungan cepat, quick count, sebuah istilah yang kini sedang populer dan terasa sakti. Orang-orang di seputarnya menari tertawa dan luapan emosi gembira terus menerus. Bagaimana mungkin atas dasar perhitungan cepat mereka bisa menyatakan dirinya menang? Suasana kemenangan diciptakan sedemikian rupa, sehingga orang pandai pun bagai disihir menjadi bodoh. Apalagi orang awam yang tak paham apa-apa, tentu akan menganggap itulah detik-detik kemenangan mutlak mereka. Mana mengerti mereka tahap-tahap pencapaian suara, mana mengerti pula mereka pada istilah ‘quick count’ itu? Angka di tengah menunjukkan prosentase, angka yang mengagumkan bagi yang merasa dirinya menang, sementara jelas-jelas angka yang tertera di tengah dalam ukuran yang lebih kecil menyatakan perhitungan suara masih belum bulat 100 %.
Aku bertambah bingung. Teman-teman panik. Ibu-ibu petinggi negara pun saling berteleponan. Tetangga demikian juga. Aku menghubungi Nina Akbar Tanjung. Ia bersuara lantang, “Lha di dekat rumahku ini ngitung juga durung rampung Lin ! Piye to’ wes ngaku-ngaku menang?”. Aku tertegun. Betul juga.
Kembali otak warasku bekerja. TPS ditutup jam satu siang. Tak sampai dua jam apakah pemenang sudah diketahui mutlak? Lalu, survey itu, perhitungan cepat itu, dilakukan oleh siapa? Lembaga resmikah? Atau bayarankah ? Maka atmosfir kemenangan makin bergulir. Media elektronik leluasa menyiarkannya dengan segera, ya tentu saja media yang dimiliki oleh grup yang mengaku sebagai pemenang dadakan itu. Media on line sama saja. Bagai raja diraja menguasai negara, mereka bisa sekehendaknya saja menuai berita. Itulah hebatnya pemilik media ! Lalu muncul massa di seputar bundaran Hotel Indonesia. Menari-nari serta meluapkan emosi bahagia. Seakan -akan keputusan itu memang sudah final. Atau mereka memang malah tidak tahu secuil pun bahwa pengumuman menang itu adalah bukan pengumuman resmi. Yang diingat hanyalah: “Sudah menang !” .
Penciptaan suasana yang berbahaya pun bergulir. Rekayasa urutan kejadian sudah terbaca. Mengumumkan sebelum final, manusia bergembira, massa berkumpul untuk menunjukkan kepada dunia di jalanan Jakarta bahwa pemenang sudah tercipta. Sorotan kamera televisi dimainkan, untuk disiarkan ke mana-mana di pelosok negeri. Kalau kata remaja masa lalu : ‘cucok’ ! ‘keyeeeeen’…., ‘cantiiiik’ .. ! Apakah kita lupa, di sana, di tempat-tempat manusia Indonesia yang hidup tenteram, menjadi terkocok-kocok suasana hatinya. Emosi tak terjaga lagi. Bingung dan tak tahu lagi mana berita yang sesungguhnya bisa dipegang secara benar. Permainan cantik yang menciptakan manusia bergembira belum pada waktunya, kemudian apabila kelak pengharapan tidak dicapai, pengumuman resmi digelar, akan menganggap bahwa pemenangan semu itu adalah asli dan harus dilawan untuk diperjuangkan tetap menang? Astaqfirullah….
Ada yang bergembira ria. Ada yang melongo merasa terzolimi dan memperoleh perlakukan yang sangat tidak adil, dari skenario yang tersistem dan ‘cerdik’ sekali. Lalu, aku mau apa? Aku hanya rakyat biasa. Sehari-hari di depan tungku dapur. Memasak dan menjual makanan, menulis membuahkan karya seada-adanya. Aku tidak berkantor, tidak pula hidup dalam berkelimpahan sehingga bisa tiap hari hanya ongkang-ongkang ikut arisan, syoping maupun les dansa. Aku hanya ingin perubahan bagi negeri ini. Perubahan yang cemerlang . Penuh kejujuran. Bagaimana kita bisa menikmati semua itu bila jalan yang ditempuh sejak awal sudah dengan gumpalan jelaga yang memang sudah dipersiapkan ??
Ini bulan suci. Aku percaya pada kehebatan MU ya Allah. Yang benar jadikan benar. Yang mudharat dibukakan tabir sejelas-jelasnya. Aku sudah lelah. Begitu pula orang lain. Kucoba mengingat kembali kesulitan dunia. Kucoba mengingat-ingat kalimat pada ayat yang begitu bermakna ; ‘Fa inna ma’al usri yusraa, Inna ma’al usri yusraa — maka sesungguhnya beserta kesukaran ada kemudahan.., sesungguhnya beserta kesukaran ada kemudahan……
Semua sudah terencana dan tersistematis. Ternyata setelah sekian tahun ”bergulung” dalam jabatan dan kekuasaan ”sang bunda” makin cerdik, licik dan ambisius. ALLAH mmg akan menunjukkan yg salah dan yg benar, tapi itu juga harus ”dikejar”. Untuk mencari keadilan….