Uang Bukan Segalanya

Empat direktur bank klenger di ruang rapat.  Butiran keringat satu persatu meleleh ke ujung rambut hingga leher mereka yang gendut.  Padahal ruang kerja mewah mereka begitu sejuk oleh pendingin yang tiada henti.

“Jadi bagaimana nih? Kita harus kompak lho, satu bahasa yang sama. Untuk hantam si menteri, kita harus bilang memang dia yang paksa kita untuk keluarkan kredit. Jangan ada yang bilang berbeda, nanti ketahuan  bohongnya kita!”, ujar salah satu di antara empat babe itu.

Dasi mewah mereka terasa kuyu menggantung di dada. Tak ada lagi nyawa rasanya.  Koran sudah meributkan uang yang digelontorkan seenaknya bagi si engkoh yang katanya akan bangun pabrik, bikin  perumahan mentereng, menghidupkan petani dan nelayan, padahal semua itu ngibul bin dusta. Duit sudah lenyap. Plus komisi juga sudah dimakan anak istri di rumah.

Yang satu lagi berkata, “Kita harus juga bungkam si pilot, yang sudah bawa pak menteri ke luar kota pada tanggal segitu. Dia harus ngaku bawa pak menteri bukan tanggal itu tapi tanggal yang beda, bulan yang beda. Sialan banget sudah ada yang kejar-kejar pilot untuk diwawancara. Bisa bubar nih rekayasa kita”. Ujar yang satunya lagi, “Iya , segera harus diskenariokan cerita seperti itu. Kita kan mau ngarang bahwa pada tanggal sekian itu, yang sebetulnya dia sedang di pesawat udara, ceritakan saja dia memanggil kita di ruang kerja, ngomel-ngomel, gebrak meja, marah-marah, memaksa kita untuk mengubah aturan dan keluarkan uang. Kalau kita punya cerita yang sama, dia pasti tidak bisa berkutik!”

Beberapa hari kemudian.  Pak pilot didatangi oleh salah satu di antara bapak direktur. Bawa tas kresek berisi dolar segepok. Menggiurkan memang. “Captain, tolong  jangan bongkar tanggal kepergian bawa pak menteri tanggal yang asli ya. Bilang saja hari apa tanggal apa dan bulan apa, ngarang-ngarang saja,” bujuk sang koruptor itu.  “Ini imbalan yang cukup wajar, Anda bisa beli 5 rumah sekaligus, 5 mobil sekaligus, dan sekolahkan anak ke luar negeri”, ujarnya lagi.

 

Pak pilot melongo. Matanya menyapu sudut-sudut rumahnya. Bersahaja. Tembok mengelupas di mana-mana. Bukannya gaji tak cukup, namun biaya sekolah ketiga anaknya lumayan  besar karena disekolahkan di tempat yang terbaik. Mobil dua sudah tahun jadul. Tabungan ada, namun lagi-lagi untuk persiapan sekolah anak di masa mendatang.  Tapi untuk urusan harus memanipulasi data?  Ada daftar log,  saat ia menerbangkan pesawat dengan catatan lengkapnya. Siapa penumpangnya, hari dan tanggal begitu jelas, serta  jam keberangkatan menuju  lokasi.

Hatinya kecut. “Sebentar pak, saya  ke dalam dulu,” ujar sang pilot.  Istrinya, yang sudah nguping sejak awal, dihampirinya di kamar. Ia menatap wajah sang istri. “Ma, kamu mau kan kita hidup selamat  hingga akhirat? Sedangkan nyawa papa saja selalu di ujung tanduk bila sudah mengudara  di tengah awan. Selalu kita harus siap bawa tabungan ‘kan?  Tabungan untuk akhirat. Bukan tabungan duniawi, apalagi yang seperti di tas kresek besar banget itu ma…”, ujarnya lirih. Telapak tangannya terasa dingin saat digenggam oleh istrinya. “Mama bangga pada papa. Itulah harta kita pa,  kejujuran. Tidak ada yang lain. Kembalikan uang itu. Sebab belum tentu nyawa serta kesehatan anak kita aman-aman saja kalau kita telan uang itu…”

Pak pilot kembali ke ruang tamu.  “Pak direktur, maaf, silakan kembali pulang dan bawa dolar itu lagi. Kami memang butuh uang pak, tapi bukan begitu caranya…., saya takut uang haram itu suatu hari akan menghajar kami pak. Anak yang kurangajar, tidak sehat, tidak happy hidupnya, sekolah tidak beres, dan lain-lain pak. Sebab tiap sendok butiran nasi yang saya berikan kepada anak-anak saya, adalah  hasil rizki yang semestinya pak. Saya bertahun-tahun kerja begini, meninggalkan anak istri berminggu-minggu bahkan, tanpa rasa takut, karena kami tahu persis ada yang selalu menjaga kami… yaitu keimanan yang kental…. maaf pak, uang bukan segalanya bagi kami….”

Direktur sialan itu ngeloyor pergi. “Dasar orang nggak tau diri. Miskin tapi sombong banget”,  begitu gerutunya di dalam mobil, sembari sopirnya mendengar kata-kata ejekan itu dengan jelas. Sembari menyetir, sopir bergumam, “Ya ampun tuan… bentar lagi tuan deh yang masuk bui. Soalnya tuan miskin juga, tapi miskin moral. Miskin hati…. Duh tuan… uang bukan segalanya…”

Ya, uang bukan segalanya. Sebegitu banyak godaan di seputar kehidupan manusia. Sogok menyogok,  berupaya memanipulasi data mendongkrak angka dalam hal apapun agar menjadi juara, diimbangi dengan dana yang super raksasa.., tampaknya betul-betul rejeki yang luber ke mana-mana…. dan membuat mata berwarna warni sepanjang hari….  tapi benarkah akan begitu selamanya?  Uang bukan segalanya bagi pak pilot… tidak juga bagi si sopir , yang majikannya akhirnya mendekam di hotel bui selama enam tahun sazaaaaaaa…, bersama direksi bangkotan yang lainnya. Emang enaaaak..??!