Ngopi Lezat di Manggar, Kota 1001 Warung Kopi

IMG-20141001-WA0000

 

Begitu masuk ke kota Manggar Belitung Timur sebagai kota kedua terbesar dan teramai di Pulau Belitung, monumen di tengah kota  menjadi pemandangan yang menarik. Teko kopi dan cangkir raksasa yang terpampang  menandakan ciri khas  kota yang menjadi kecamatan dan Ibukota Kabupaten Belitung Timur propinsi kepulauan Bangka Belitung.

“Manggar, Kota 1001 Warung Kopi”  adalah julukan khas yang mencerminkan keunikan kota ini. Di mana-mana warung kopi bertebaran. Suasana begitu hidup, hangat, dan masing-masing sudah dengan pelanggannya yang tiada henti berkunjung.

Warung Kopi Atet, di jalan Sudirman  no 187 kawasan Lipat Kajang Manggar termasuk warung yang menjadi pilihan warga maupun turis yang datang.  Suasana santai maupun serius berbaur, bersamaan dengan segala lapisan masyarakat duduk bersebelahan.  Yang berbusana seadanya, sedikit lebih rapi hingga seorang dokter maupun  deretan pak polisi berseragam yang  menikmati jam istirahatnya. Gelak tawa, obrolan warung kopi  dan kepulan asap rokok menjadi pemandangan sepanjang hari. Sesekali Basuri Tjahaya Purnama, adik Ahok wakil Gubernur Jakarta yang menjadi Bupati di Belitung Timur, turut pula duduk ngopi bersama rakyat. Yusril Isha Mahendra sang pakar hukum mantan Mensesneg  bila mudik juga mampir ke tempat itu. Suasana warung kopi Manggar sudah tercipta sejak puluhan tahun lalu. Para penambang timah berkumpul pagi sore, maupun pegawai pemerintahan serta yang bekerja di perkebunan.

Atet ( nama panjangnya  Antonius Abidin Suherman) yang berusia 64 tahun ini  mulai meneruskan usaha warung kopi kakeknya, Afu, sejak tahun 1992.  Warung itu dirintis sejak tahun 1949 di lokasi yang sama. Atet remaja, saat usia 15 tahun sudah  berbaur dengan aroma kopi karena sering membantu melayani tamu. “Harga secangkir kopi dulu masih Rp 300,- Sekarang sudah Rp 5000,-“, ujarnya sambil mengenang masa lalu. Untuk kopi O ( artinya kopi ‘kosong’  tanpa susu), segelas kecil Rp4000,-.  Untuk  penderita diabetis, Atet menyediakan gula jagung sebagai pengganti susu.  “Dulu  engkong pakai cangkir, sekarang saya pakai gelas saja supaya cucinya  gampang”, katanya.

 

IMG_20141001_160839

 

Sembari nyeruput segelas kopi susu, saya sesungguhnya was-was karena sudah hampir setahun tidak pernah menyentuh kopi  gara-gara  lambung saya bermasalah. Tiap meneguk kopi, perut terasa ngilu. Karena penasaran dengan kopi Atet, saya nyeruput pelan-pelan, dan…. waaaah, betul-betul memang lezaaaat !  Heran dan sekali lagi heran, mengapa perut saya sama sekali tidak ngambek?  Tak ada rasa senat-senut sedikitpun setelah menikmati kopi hasil olahan Belitung itu.

Menurut Atet, penggilingan kopi di Belitung punya cara tersendiri yang membuat kopi di kawasan itu ‘top’  rasanya. Tak ada campuran jagung sedikitpun, dan teknik penggilingan biji kopi juga beda dengan tempat lain. Perkebunan kopi memang tak ada di Belitung. Kiriman kopi dari Lampung berhasil diolah di daerah ini dengan cara khas yang menciptakan kelezatan tersendiri. Cara penyajian kopi di Manggarpun punya cara khas yang membuat kopi di sana terasa sangat istimewa.  Atet, yang berputri satu dan  baru lulus dari salah satu Universitas di Jakarta menjelaskan, bahwa bubuk kopi  pertama masuk ke dalam saringan kain dari bahan katun paris yang ia jahit sendiri. Lalu diseduh dengan air mendidih ke dalam saringan, baru setelah itu kopi ditumpahkan ke panci yang sudah dengan air mendidih yang lain.  Dituangkan ke  gelas, ditambahkan susu kental manis.

IMG_20141001_161008

 

 

IMG_20141001_160946

 

 

IMG_20141001_160912

 

 

 

IMG_20141001_160901

 

 

IMG_20141001_160923

 

Atet membuka warung kopinya mulai menjelang subuh hari. Biasanya ia menutup warung  sore  hari sebelum maghrib.  Warung-warung kopi lainnya, yang juga penuh pelanggan masing-masing, memiliki jam buka yang berbeda-beda. Ada yang buka agak siang dan tutup tengah malam. Hampir semua bergantian, bagai tercipta toleransi kesepakatan dagang kopi tak tertulis antara satu sama lain.

Tampilan warung kopi juga berbeda-beda. Atet belum lama merenovasi warungnya, yang semula hanya berupa dinding papan gaya tradisional. Dalam satu hari ia bisa menghabiskan dua kilogram bubuk kopi untuk sekitar 500 gelas.  Ia hanya tersenyum ketika ditanya penghasilan sehari. Sebagai gambarannya, dalam sebulan keuntungan bersih bisa mencapai lebih dari Rp 10 juta.  Atet merasa tetap berbahagia dengan usaha turun menurun ini. Dari delapan bersaudara hanya dia sendirilah yang mewariskan minat nenek kakeknya. Generasi ketiga berada di tangannya. Asiu, istrinya yang setia menemani berjualan kopi , wafat tiga tahun lalu. “Dulu saya kerja di PN Timah, bagian distribusi peralatan kapal keruk sambil buka warung kopi ini, dan istri yang jaga,” cerita Atet.  Ia sempat sekolah ikatan dinas di perusahaan besar itu selama tiga tahun. Ketika muncul pemindahan pegawai ke Bangka dan pemberhentian tenaga kerja, Atet tak berminat pindah ke Bangka. “Warung ini adalah kebahagiaan saya,” ujarnya sambil tertawa lebar.

Atet juga menyediakan penganan kecil pendamping ngopi. Roti goreng maupun lemper yang dibungkus daun Simpor khas Belitung, dijual  seharga Rp 1000,- sepotong.  Murah dan enak. Rata-rata tamu sebanyak 200 an orang sehari itu nyeruput kopi dengan jajanan kue.

 

IMG_20141001_161227

 

 

IMG_20141001_161213

 

 

IMG_20141001_162905

 

 

IMG_20141001_161029

 

 

IMG_20141001_161017

 

Setelah puas ngopi, ngobrol dan bertanya segala rupa kepada Atet, saya pamit. Di jalan saya tercenung berlama-lama. Belitung jauh dari Jakarta, meski naik pesawat udara hanya membutuhkan waktu 45 menit. Tapi tempat ini tak memiliki kafe mewah, apalagi berAC dengan  alunan musik.  Kopinya?  Tiada tara lezatnya. Tak membuat sakit mag kambuh,  tidak juga menguras kocek dengan harga selangit. Saya bayangkan penganan kue seharga Rp 1000,- sepotong. Betapa ngilu rasa hati saya, apalagi membandingkan, lagi-lagi,selangitnya  harga secangkir kopi, sepotong cheese cake serta  suasana kafe di kota-kota besar, yang kopinya sangat jauuuuuh rasa bedanya dibanding  kopi Atet   maupun warung kopi lain di Manggar yang enak sekali. Tak heran pejabat asal Belitung bila datang pulang kampung tetap akan mampir ke warung-warung kopi nyaman itu. Tak berAC namun tubuh tak terasa panas, hatipun tak panas. Semua berbaur, pegawai rendahan, orang kantoran, pejabat, aparat keamanan, penuh keakraban.

Saya ingin sekali kembali ke Manggar, “Kota 1001 Warung Kopi”  yang menyenangkan.  Betul-betul saya ingin kembali lagi ke sana… Belitung Timur yang asri, dilewati desir angin laut dan jalan menuju ke sana begitu mulus, bersih, sembari menikmati kiri kanan kebun kelapa sawit maupun tanaman lada yang disebut sahang.  Seruput..seruput… seruput kopi yang lezaaaat…., rasanya semua masih di depan mata.

 

2 comments

  1. Lupa +an mba Linda, memang soal kemasan, penyajian,pelayanan kita harus banyak belajar dan membuat harga menjd ber lipat2 however bukankah itu tetap lbh baik dg brand sendiri drpd bangga dg brand luar itu? Sdh ada sih ya bbrp yg lokal tp msh kurang menarik..

  2. Trm ksh atas ulasannya, smg mjd pencerahan bg mereka yg gemar ke cafe import itu, bhw Ind. Kaya akan kopi.. 2015 sdh d depan mata..siapkah kita dg pasar bebas?. Negara2 lain bangga akan produk lokalnya..bgm dg kita? .. sy penggemar kopi sd skrng konsisten membeli kopi lokal yg bukan pabrikan.

Comments are closed.