namamu Ahok
tetap dipanggil Ahok
meski ada kata Purnama
yang punya makna indah
terang
sinar benderang
jelas
tak terhitung ucapanku
saat masih belum menjadi nomor satu
kamu sudah sering mendidih
darah naik ke otakmu segera
lalu meluncurlah tutur menohok
keras
menyerang
nyinyir
kuselalu bilang
jagalah mulut
jagalah sikap
sebab penilaian
bukan sekadar pemberantasan korupsi
atau bekerja gesit
melainkan bagaimana dapat mengendalikan diri
dari segala situasi
dalam pembicaraan
apapun
apalagi wawancara kepada publik
semakin rumit kata-katamu
ada omongan yang jauh lebih kasar lagi
dari hari ke hari
mengejutkan massa
para guru
pendidik di mana-mana
serta ahli agama
siapapun tampaknya menjadi musuhmu
padahal apakah demikian
belum tentu, bukan?
kamulah yang lama-lama berbumbu curiga
semakin berkepanjangan
hingga pembantu setiamu
yang bekerja ibarat kaki jadi kepala
kepala menjadi kaki
kau tumpahkan sasaran fitnah
atas urusan rapat yang melibatkan pasangan hidupmu…
Ahok..
oh Ahok..
berapa belas puluh kali kukatakan
kau selalu menjawab
siap..
terima kasih..
namun nyatanya
bagai tulisan di pinggir laut di atas pasir
yang terhempas buih ombak
lenyap…
semua kekasaran tutur kata itu
kau ulang hampir di tiap kesempatan
menjulang setinggi Monas
menggelembung bagai manusia gembrot
yang tiada habis-habisnya
Kini aku kehabisa kata
nasihat apa lagi yang bisa kusumbangsarankan
kepada lelaki yang usianya jauh di bawahku
yang sepantasnya memperoleh dukungan
namun kekasaran bisa menggemboskan segalanya
seluruh ambisi tak bertuan
atau cita-cita berkepanjangan
nafasku bagai tersendat
tak tahu lagi harus dengan cara apa
menumpahkan saran kepadamu
yang memang nampaknya tiada guna
kita tidak pernah tahu, Ahok..
sebab takdir adalah urusan Tuhan
apa kelak nasibmu ..??