Cerita masa kecil bagai lem yang terekat tak mudah hilang dari ingatan. Paskah bagi Linda kecil zaman dahulu kala adalah beberapa tetangga di kawasan Menteng Jakarta Pusat pergi ke gereja. Adalah umpet-umpetan telur ayam yang sudah berukir lukisan warna-warni, yang sebelumnya para anak tetangga berkumpul antara yang Nasrani dan Muslim, sibuk melukis dengan gambar yang seru pada kulit telur bulat lonjong itu dengan riang gembira.
Saya hampir selalu tak sabar menunggu esok hari dipanggil oleh tetangga yang merayakan Paskah. Mencari telur bergambar di balik kisi jendela ,di antara semak rumput dan di samping kandang burung merupakan acara yang penuh semangat. Semua tertawa gembira. Anak pak Haji juga dipersilakan ikut serta. Orang tuanya turut tertawa memandang kegembiraan anak-anaknya di hari Paskah, yang tiap seminggu sekali wajib mengikuti pelajaran mengaji itu.
Anak-anak sekarang, antar tetangga, rasanya tak lagi mengalami main umpet-umpetan telur Paskah mencari ke mana-mana dengan segala daya dan upaya. Tahu ada pencarian telurpun rasanya sudah tak begitu paham lagi. Semua asyik dengan komputer di kamar masing-masing. Atau ber sms ke mana-mana.
Damainya kerukunan beragama di seputar rumah saya dulu, di kawasan Menteng tahun ‘60 – ‘70 an itu sungguh membahagiakan para warga. Tiap sore lewatlah tukang sate pikulan, dengan asap mengepul seru… hhhmmm. . si abang itu menjual sate babi. Tak ada kata mencibir dari kami yang keluarga muslim. Tak ada kata ‘haram’ menghujat si penjual maupun si pembeli. Semua serba tenang dan ‘cuwek bebek’ tanpa merasa yang satu lebih alim dari yang lain. Yang memesan sate babi di pinggir jalan depan rumah tetangga yang muslim juga tak diprotes. Semua berjalan aman dan nyaman…
Tukang bakpaw, semacam roti berbentuk bantalan kecil seputih kapas itu, sampai kini masih beredar di mana-mana dengan model gerobak yang sama. Hanya saja, dulu dalam satu tungku ada bakpaw berisi babi, yang ditandai dengan titik merah di atasnya. Silakan tidak mengambilnya, hai si pembeli yang memang haram memakan daging babi…
Anak-anak Bung Hatta mulai dari Meutia, Gemala dan Halida Hatta, sampai berbagai tetangga lain, ada yang bersekolah di sekolah non muslim. Di St Ursula, di sekolah Theresia, Regina Pacis, Kanisius, Belarminus… semua tampak berlangsung tenang-tenang saja. Menyekolahkan anak ke sekolah Kristen Katolik toh tak menjadi sebuah ancaman bagi keluarga muslim untuk berpaling. Guru mengaji tetap datang ke rumah atau antara anak tetangga saling bersemangat berbondong-bondong les mengaji ke mesjid terdekat. Dan tak ada pula , lagi-lagi, yang berprasangka buruk mengejek tetangganya yang menyekolahkan anak-anaknya ke tempat ‘palang’ itu.
Hari Natal adalah hari yang indah bagi anak-anak siapapun juga, karena kami dengan takjub bisa memandang betapa pohon natal yang indah bisa berkelap-kelip menyorongkan sinar lampu berwarna-warni. Kadang ada suara lagu di tengah dedaunan cemara itu, dan kado-kado terbungkus rapi bertebaran di lantai mengelilingi pohon natal seru itu. Rumah pendeta Marantika, yang ada penyanyi Broery Marantika di rumah yang sama, selalu seru dengan penganan lezat di hari Natal. Juga tentu saja pohon yang bikin anak-anak ( terutama yang muslim ) bengong itu…
Kembali ke soal suasana Paskah…. telur warna-warni… bagai melambangkan warna warninya keyakinan manusia ciptaan Tuhan dengan cara beriman yang dipilihnya. Siapa yang memperoleh lebih banyak telur yang bersembunyi, akan dianggap anak paling hebat dan ada hadiahnya lagi tersendiri. Bagi saya, semua adalah perlambangan kecintaan sesama warga dalam menciptakan kerukunan beragama…., tak ada hak kita untuk berkata ini yang buruk itu yang baik…sebab segala sesuatu yang menilai hanya Allah semata-mata…
Berbahagialah teman, yang merayakan Paskah dengan segala khusyuk dan khidmad yang diyakininya….Dan saya hanya tersenyum dari kejauhan, mensyukuri pernah mengalami masa kecil yang sungguh indah di setiap hari Paskah dari tahun ke tahun…..meski… ya meski hanya sebatas bersemangat pada umpet-umpetan telur bergambar dan mencarinya dengan gigih itu….