di padang Arafah – panas 54 derajat Celcius.
Beberapa tahun sebelum tahun 1992, sholat saya seringkali dilakukan dengan cara duduk. Sakit punggung menahun membuat saya tidak begitu bisa berdiri usai dari ritual bersujud. Ini yang menjadi pikiran saya selama di perjalanan dari tanah air menuju tanah suci. Bagaimana bisa sholat di mesjid ramai-ramai bila saya harus selalu di atas kursi? Sedih memikirkan hal itu, saya lawan selalu dengan zikir. Permudah ya Tuhan… tolong permudah ibadah saya.
Saya ingat, mulai memasuki Masjidil Haram saat menjelang sholat ashar. Itulah kedua kali saya menginjak Mekkah setelah tahun 1978 saya melakukan ibadah umroh bersama ibunda. Siapa sangka, tahun 1992 saya melakukan ibadah haji bersama suami dan rombongan yang dipimpin oleh bapak haji Miftah Faridl. Penuhnya mesjid luar biasa. Berdesak-desak tiada tara. Saya pasrah Tuhan…., pasrah pada keadaan kesehatan saya.
Apa yang terjadi di luar dugaan. Saya bisa bersembahyang secara normal dalam keadaan berdiri, duduk, bersujud, berdiri lagi, layaknya orang sehat melakukan sholat. Tidak sedetikpun rasa nyeri punggung saya akibat gerakan-gerakan itu. Air mata saya menetes semakin deras. Apalagi saat bersujud, tak dapat diurai dengan kata perasaan bahagia dan bersyukurnya saya.
Selama berhari-hari saya betul-betul normal sholat tanpa harus duduk saja seperti yang saya lakukan di rumah. Enerji berlebih entah datangnya dari mana. Segala obat-obatan yang sudah disiapkan dokter dari Jakarta tidak pernah saya sentuh karena rasa nyeri memang musnah pada saat itu. Air zamzam berteguk-teguk saya hirup leluasa sembari mengucap segala doa kesembuhan.
Di rombongan kami yang tidak besar itu ada Hatta Rajasa beserta Oke istrinya, ada Hilal sahabat Hatta yang beberapa tahun lalu sempat menjadi menteri juga. Ia ditemani pula oleh istrinya, Endah. Hatta dan Hilal kami sebut Mister tawaf karena mereka rajin sekali melakukan tawah berulang-ulang tiada lelah. Saya mengikuti cara itu sesekali, dalam beberapa hari. Lagi-lagi punggung tidak terasa nyeri sedikitpun. Saya juga kagum sekali kepada ibunda Hatta yang kami panggil si emak. Sudah tua namun jalannya paling cepat dari yang lebih muda. Si emak menjadi motivasi saya untuk tidak merasa lelah.
Suatu ketika, sepulangnya sholat zhuhur yang sangat terik itu, seorang pengemis lusuh di pinggir jalan mengajukan tangannya, menunjuk botol termos kuning emas yang saya tenteng. Ketika saya menuangkan air ke kalengnya, ia menolak. Ia ingin minum dari gelas termos saya. Dengan segera saya berikan. “Lho, kok kamu kasih gelas kamu sih? Nggak jijik?”, ujar suami. Dengan enteng saya bilang, “Ah, biar saja. Sampai di losmen kan bisa saya cuci. Kasihan kan dia”, jawab saya ringan.
Ketika kembali lagi ke masjidil haram untuk sholat, tiba-tiba tenggorokan saya bagai tercekat. Perih sekali. Saya butuh minum segera, dan menuangkan air termos ke mulut, dan… ternyata kosong! Saya lupa mengisi air zamzam sebelumnya. Panik sekali karena nafas sudah tersengal-sengal sementara kran ari zamzam masih jauh. Tiba-tiba seorang wanita tua sudah berada di samping saya, memberikan airnya sebanyak mungkin untuk saya minum segera. Alhamdulillah ada yang menolong, dan, seketika itu pula orang itu lenyap! Saya cari ke kiri kanan tidak ada sama sekali. Saya diingatkan pak Miftah bahwa barangkali inilah ‘balasan’ tadi memberikan minum dengan sukarela kepada pengemis lusuh tadi. Engkau Maha Adil, ya Allah… Kau berikan hadiah keselamatan bagi saya.
Saat menuju mabit di Mina, jalanan super macet. Belasan jam di jalan, anehnya saya tidak merasakan lama. Biasanya dari rumah di Bintaro menuju Istana bila berangkat kerja, saya pasti mampir di rumah kenalan atau di hotel untuk buang air kecil. Penyakit ‘beser’ memang sudah menahun pula. Alhamdulillah selama di dalam bis tidak terasa sama sekali. Ini betul-betul keajaiban bagi saya.
Padang arafah yang saat itu bertemperatur 54 derajat Celcius membuat banyak jemaah pusing kepala. Handuk berisi es batu diletakkan di atas kepala. Dulu belum ada tenda ber AC. Lagi-lagi hadiah Tuhan luar biasa. Betul-betul saya tidak begitu merasakan hawa panas sehingga bisa berkonsentrasi berdoa dengan leluasa. Sesekali kami berderai tawa karena pak Miftah pun doyan bergurau agar suasana tidak tegang. Saya menikmatinya bagai sedang duduk di dalam tenda yang sejuk saja. Beberapa jemaah sempat bertanya, kenapa saya tenang-tenang saja tidak merasa kepanasan. “Ya panaslah… tapi masa’ mau dirasakan?”, ujar saya sekenanya.
Tuhan mungkin juga ‘menghadiahkan’ saya pelajaran kesombongan yang saya lakukan. Sejak awal saya memang anti sandal karet. “Uh, sandal karet nggak mutu, bisa bikin kaki keram! Ngapain bawa ke Arab?”, ujar saya kepada kakak ipar saat itu. Di kamar mandi, saya dipinjamkan sandal karet oleh Oke istri Hatta. Baru satu menit, langsung kaki keram dua-duanya! Bagaimana mungkin bisa kedua kaki? Padahal kan saya juga tidak dalam posisi jalan? Dalam guyuran pancuran air, saya menangis sejadi-jadinya dan ketakutan setengah mati. Sabun di seluruh tubuh, badan tidak bisa bergerak satu sentimeter pun! Tak ada kata lain, ucapan istiqfar berulangkali saya lontarkan, minta ampun telah ‘menghina’ sandal karet. Berangsur-angsur keram di kaki menghilang. Lega rasanya…., dan menerima dengan ikhlas hadiah Tuhan dengan caraNYA yang berbeda itu….
Subhanallah…pengalaman yg luar biasa mbak. Mohon doanya agar kami sekeluarga bisa pula berkunjung ke Baitullah, suatu ketika
kapan ya giliran saya bisa naik haji….
Pengen naik haji…kabulkanlah ya Allah…amien…
Amin..amin…. InsyaAllah keingingan dan niatan dijabah Tuhan ya my dear…