Ternyata Ibu Sari Shudiono Pemilik “Rumah Cantik Menteng” Pernah Mendapat Penghargaan dari Surjadi Soedirdja Gubernur DKI.

Tampilan di sebuah sudut Rumah Cantik Menteng (foto:detik.com)

Senyum mengembang saat ibu Sari Shudiono, pemilik Rumah Cantik Menteng memperoleh penghargaan dari seorang Gubernur DKI kala itu ( 1993 ) Surjadi Soedirdja. Rumahnya yang indah sekali di pojokan jalan Cik Ditiro dan Mangkunsarkoro kawasan Menteng itu dianggap sebagai rumah pelestarian budaya. Si pemilik, dianggap pula telah berhasil melestarikan rumah bagi sejarah Jakarta.  Penghargaan muncul lewat Dinas Kebudayan dan Permuseuman DKI pada saat itu – dengan istilah,  “Merawat Rumah Tua dengan Bagus”. Sempat saya ingat dulu, saat bertugas di Balai Kota jalan Merdeka Selatan,  di teras depan kantornya dekat ruang kerja, sang Gubernur berkomentar kepada para wartawan tentang rasa  hormat dan bangganya kepada si pemilik rumah itu.

Di balik haru dan bangga memperoleh penghargaan serupa itu, ternyata rasa was-was menyelimuti ibu dengan lima anak ini.  Bayaran PBB (Pajak Bumi Bangunan) terlalu mahal untuk koceknya yang seorang janda sejak tahun 1973 itu –  sebesar Rp 14 juta setahun.  Kepada media beberapa tahun lalu ibu Sari pernah mengeluh begitu sulit untuk menjual rumah ini, karena persoalan tidak boleh diubahbongkar sesuai ketentuan yang berlaku.

Ia mulai menempati rumah pojok itu sejak tahun 1958. Bangunan bergaya art deco itu sempat didiami oleh orang Belanda yang kemudian pulang ke negerinya, lalu ditempati lagi oleh orang Swiss.  Suami ibu Sari adalah seorang pengusaha yang mulai memperoleh rumah itu sejak mereka belum menikah, tahun 1955.  Zaman itu rumah-rumah orang Belanda yang mudik kembali ke negeri asalnya, bisa diperoleh oleh bangsa kita, dengan status VB (Vestigingsbewijs)  surat izin tinggal. NV Versluis adalah perusahaan yang biasa mengurus khusus rumh-rumah eks warga Belanda itu.

Tahun ‘80 an  saat pemerintah memberikan peraturan tentang SHM ( Sertifikan Hak Milik) dan HGB ( Hak Guna Bangunn), ibu Sari sudah mengantongi HGB  sejak 1973 tanpa bisa mencapai Sertifikat Hak Milik. Biayanya mahal,  menurutnya saat itu sekitar Rp 60 juta, membuat ia mengurungkan niatnya.

Rumah asri dengan kebun yang indah dan jendela lebar terbuka itu hari ini menjadi pembicaraan di mana-mana. Ibu-ibu yang bekerja di kantor dan di majalah wanita tampak gemas menyesali penghancuran rumah itu. Mereka juga adalah orang-orang yang sempat menikmati pemandangan indah sehari-hari bila melewati jalan di depan rumah itu.  Teman-teman di pemda DKI juga sedari tadi membincangkannya.  Semua prihatin.

Terbesit di hati, untuk ingin tahu lebih lanjut, di mana ibu Sari kini berada?  Konon ia sudah berkursi roda karena menderita sakit tulang. Dan di mana pula anak-anaknya sekarang?  Semoga mereka dalam keadaan baik-baik saja. Rumah itu beralih kepada siapa  ya –  yang begitu sampai hati menjadikan rumah indah itu kini tinggal kerangka? Saya bermimpi rumah itu dibangun seperti sediakala…., dan sama indahnya.

(dari berbagai sumber).

5 comments

  1. Semalam saya ada terdengar sembang2 pasal hal nie kat kedai kopi…
    hampir2 saya salah faham… tapi artikel awak dah jelaskan hal nie…
    tq atas maklumat …

  2. Rumah ini adalah rumah tinggal orangtua teman saya semasa kami bekerja di perusahaan jepang. Salahsatu anaknya sudah pindah ke Bintaro sektor 9 (per3an McD). Dan teman saya sempat menikah diruma tersebut. Memang waktu itu teman saya bil;ang kalau rumah itu akan dijual oleh ibu nya karena pajak yang sangat tinggi…
    sayang sekali sekarang rumah itu menjadi rusak….

    1. Terima kasih mbak Ninik….
      Sayang sekali kalau si pembeli tidak menghargai barang antik dan cantik itu, kan? Semoga rumah itu kembali seperti semula.
      Salam,

Comments are closed.