Siapa yang tak kenal Nazwa Shihab, penyiar televisi yang cerdas, canggih, dan cantik itu. Bertahun-tahun ia tampil di layar kaca lewat studio Metro TV, setelah sebelumnya ia meniti karirnya di RCTI pada tahun 2001. Pertanyaannya yang tajam, kritis, dan terasa ia memang mempersiapkan materi sebelum tampil, membuat Nazwa (saya memanggilnya Nana) memperoleh beberapa penghargaan, salah satunya penghargaan Asian Television Awards.
Bulan lalu, setelah Bapak dan Ibu Quraish Shihab usai naik haji, kesibukan mereka adalah mondar-mandir ke Rumah Sakit Pondok Indah. Nazwa terbaring dalam perawatan serius dari dokter kandungan untuk mempertahankan bayinya yang sudah berusia enam bulan. “Saya menemani Nana terus, bayi di kandungannya bermasalah. Mohon doa ya,” begitu pesan singkat dari telefon genggam Ibu Quraish bulan lalu kepada saya. Beberapa kali kami berkomunikasi, saya ingin mengetahui perkembangan kesehatan Nazwa. Saya tahu, berkunjung beramai-ramai ke orang sakit yang membutuhkan istirahat total, tentu akan membuat pasien kurang nyaman. Oleh sebab itu perkembangan Nana/ Nazwa saya ikuti lewat sang Ibundanya saja.
Sang bayi akhirnya kemarin terlahir secara prematur. Dua dokter ahli berupaya keras membantu persalinan Nazwa dengan cara operasi. Menurut Ibu Quraish, sempat selama 3,5 jam sang putri mungil hidup secara prematur. Di usianya yang tujuh bulan itu, dengan berat yang hanya satu kilogram, membuat cucu Pak Quraish mantan Menteri Agama, mantan Duta Besar di Mesir, dan Guru Besar di IAIN (sekarang UIN ) itu tak mampu bertahan lagi. Ia pun meninggal subuh hari tadi. Duka saya untuk Nana berserta suami serta keluarga besarnya… semua berasal dariNYA dan kembali pula kepadaNYA….
Beberapa kerabat, tetangga dekat, tadi sempat datang mengunjungi rumah ustad lembut hati ini di kawasan Jeruk Purut Jakarta Selatan. Banyak orang melihat pak Quraish mengalirkan air matanya. Sang istri, tadi berbicara dengan saya di telefon juga dengan suara yang masih lemah. “Semua yang terbaik bagi Allah, Linda…! Kami ikhlas meski sangat sedih juga kan,” katanya.
Sekali saya melihat air mata Nana, si Nazwa yang cantik bersahaja itu, saat ia mereportasekan bencana tsunami Aceh Desember 2004 silam. Sebagai seorang wartawan yang sesungguhnya harus bisa bersikap seperti seorang dokter yang harus bisa menekan perasaan ‘di hadapan pasien’, Nazwa tak sanggup menghadapinya. Ia bercucuran air mata sambil menyiarkan berita dari lokasi yang penuh derita. Ya, Nana si Nazwa sarjana hukum lulusan UI itu tetaplah manusia biasa, yang penuh dengan kelembutan dan rasa.
Tentu air mata Nana seharian ini juga mengembang di pelupuk mata. Anaknya yang berusia tujuh tahun, seorang putra, sesungguhnya sudah memiliki adik, si putri cantik. Namun Tuhan berkehendak lain. Sebagaimana yang Ibu Quraish tadi katakan, “Semua yang terbaik saja dari Allah, bagi Nana dan anaknya….