perempuan separuh baya
menaburkan air mata
di halaman koran
yang tengah dibacanya
——-
begitu banyak perempuan
berkarya
tertawa
mencari nafkah dengan mudahnya
kerja secara terhormat
menginjak tanah di atas telapak kakinya
tanpa nestapa
muncul dalam berita
di segala media
———
bagaimana dengan aku, pikirnya..
aku yang jalan di tempat
bahkan mundur ke belakang
menelusuri penyiksaan
dari sang pasangan
belasan tahun
puluhan tahun…
tanpa bersisa
———
sejak tahun-tahun lampau
perempuan itu ingin hilang
dari kehidupan
dari kewajiban
dari legitemasi perkawinan
yang buram
semu
menyakitkan
———
suami pulang dengan harta
berlimpah
meruah sekenanya
suami pulang bawa penyakit
yang menjijikkan
karena doyan jajan
membeli sana sini dengan harta berkelebihan
duduk di sudut bangku
berbisik di telefon genggam
pulang lewat tengah malam
pemerah bibir sampai ke baju dalam..
———
perempuan itu ..
adalah istri yang tertindas
penyesalan muncul bertubi-tubi
mengapa ia tak segera lari
karena tangan kakinya lumpuh
otaknya apalagi
tak punya segala yang ahli
tiada tahu mencari nafkah sendiri
bukan saja sekolah tak tinggi
karir apa pun bagai hanya mimpi..
——-
perempuan itu meraba koran
ada lagi di halaman dua
ada lagi di halaman empat
ada lagi di halaman duabelas
perempuan Indonesia sumringah
mata berbinar merebut prestasi
yang ia kenal satu persatu
banyak di antaranya sudah hidup sendiri..
mengapa mereka berani..
mengapa tak takut tanpa suami…
jawabannya hanya satu..
karena mereka bisa mencari uang sendiri….
lalu, perempuan itu..
istri yang tertindas berlama-lama itu..
memelihara duka..
sampai kapan…??
Sudah tidak ada lagi arti dan makna kesetiaan pada saat ini, tetapi yang ditakutkan para perempuan hanyalah “financial” problem.
Inilah kenyataan, dan mbak sudah menelanjanginya. 
ya, memprihatinkan, memang….!