Sebelum rombongan VVIP berangkat mengikuti perjalanan Presiden Suharto ke luar negeri, lazimnya kami diberi pengarahan beberapa hari sebelumnya. Kepala protokol Istana, Kepala Rumah Tangga Istana, Sekretaris Militer Presiden, dan jajarannya biasanya berhadapan dengan para wartawan, kru pesawat termasuk pilot, pramugari pramugara, dokter dan sebagainya. Tak lupa pula jajaran Paspampres ( Pasukan Pengamanan Presiden ) turut dalam hari pengarahan yang biasa ditetapkan.
Buku kecil perjalanan bila sudah dibagikan, kami bisa membaca banyak aturan serta siapa saja yang ikut di dalamnya dengan nama dan jabatan/ profesi yang jelas. Buku panduan itu, menurut Sesmil Presiden ketika itu Syaukat Banjaransari, sudah diteliti seksama oleh Mensesneg Moerdiono. Sebelumnya, Presiden pun mengoreksi saat tim pendahulu kembali ke Indonesia setelah survey.
Jelas sekali selama saya mengikuti perjalanan Presiden Suharto berkali-kali ke luar negeri, Pak Moer sangat menekankan terus menerus bahwa tugas kami yang paling utama adalah bekerja. Bukan piknik, bukan bergurau sana sini, bukan pula asyik syoping berburu toko alias berbelanja barang-barang luar negeri. Meskipun leluasa dengan pesawat Garuda tanpa aturan ketat beratnya koper, rombongan sangat tidak diperkenankan membawa koper lebih dari satu, kecuali tambahan tentengan di dalam kabin pesawat. Pergi satu koper, pulang harus dalam jumlah koper yang sama saat pergi. Yang lebih ‘nelangsa’ bagi kami para wartawan, bila pesawat transit di suatu tempat, Moerdiono melarang satu orang pun tanpa berkepentingan untuk ke luar pesawat, apalagi menuju bandara. Jangan salah, aturan ini juga berlaku bagi para pejabat yang ikut dalam pesawat yang sama. Ibu Menlu Ali Alatas misalnya, meski ingin turun transit, tetap tidak berani melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Mensesneg yang satu ini sangat tahu di bandara tentu banyak toko suvenir dan penjualan barang yang sering membuat hati tergiur untuk menyambarnya. “Kita ini masih utang sama asing. Bagaimana pikiran mereka kalau lihat rombongan kita justru hobi berbelanja ini itu di negeri mereka?” begitu ujarnya berkali-kali.
Suatu saat, pulang dari New York, di pesawat saya dipanggil ajudan pak Moer, untuk duduk di depan bersebelahan dengannya. Ketika saya duduk, raut wajahnya tidak seperti biasa. Dalam hati saya, ini ada apa. Urusan wawancara rasanya tak ada hasil yang salah. Lalu katanya, “Linda, saya dengar kamu syoping sepatu sampai lima pasang ya? Untuk apa?”. Saya terhenyak. Lintasan pikiran saya tertumbu pada seseorang, yang pasti sudah mengadukan hal ini kepadanya. Teman sejawat yang memang agak ‘reseh’ dan tidak simpatik pula di mata rekan-rekan wartawan yang lain. “Begini pak Moer, anak saya yang masih balita itu punya kelainan telapak kaki sejak lahir. Dokter ortopedi memberikan merk sepatu khusus untuk penyembuhannya. Kebetulan di tempat kita bekerja ada toko sepatu itu. Saya memang beli empat pasang sepatu untuknya, dua nomor yang bisa dia pakai langsung, dua lagi untuk usianya mendatang. Mumpung bisa didapat di sini, tidak ada salahnya kan pak saya beli? Satu pasang lagi saya beli untuk diri saya sendiri, yang juga punya kelainan punggung sehingga harus memakai sepatu yang hak penunjangnya tebal. Di New York saya temukan kemarin, sambil berjalan kaki pulang dari gedung PBB ke hotel”. Pak Moer mengangguk-angguk. “Saya paham sekarang Lin. Maaf ya, kan kamu tahu sikap saya. Saya keras kepada kalian dan yang lain, semua untuk kebaikan. Jangan sampai orang asing menertawakan kita yang hanya bisa hobi syoping melulu. Lagipula ini kan rombongan kepresidenan. Kita harus jaga nama baik-baik. Ya sudah, maafkan sekali lagi saya sudah tanya hal ini ke Linda…”
Saya hanya mengangguk sambil senyum. Tentu karena sepenuhnya saya mengerti apa yang ada pada konsep dan sikap pemikirannya. Itulah Moerdiono. Yang disegani karena punya prinsip yang tegas, galak, keras, sangat berwibawa, dan sering diejek diam-diam oleh rekan kerjanya yang lain, namun setelah ia tidak lagi menjadi menteri, banyak orang di kantor Sekneg merasakan dan menyadari, betapa segala aturannya yang seringkali tegas, dan ‘bawel’ itu memang berguna bagi banyak orang. Dan tidak selalu muncul lagi di era yang sekarang.
Hm…sungguh mulia Pak Moer hatinya,
Thx Mbak Lin. Ternyata, Pak Moer sama HUT dengan Mas Bill Clinton, begitu juga saya. Sama2in krn emang sama. Moer dan Bill suka seni, keindahan dan Wanita. Saya tidak mengecualikan saya untuk hal-hal yang mereka berdua sukai… Karena kami berzodiak LEO, Jaim dan terhormat, betapa besar pun cerita orang (skandalum), tetap rasional.
Sekarang Pak Moer di Alam Abadi (AA), Mas Bill di Alam Amerika (AA), saya di alam nyata… apa yang terjadi, buah semangka, berdaun siri(h)…. Alam Maya (AM). Thx Mbak Lin…
hahahaaaa terima kasih bung Berthy — selamat ulang tahun ya pada tanggal 19
Agustus ini !
Wah,baru tau nih saya Mbak,ternyata Beliau sangat perhatian terhadap bangsa ini 🙂