Kuselonjorkan kedua kakiku di sofa panjang
menghadap meja tulis di pojok kamar
yang dilengkapi foto besar ayahanda di dinding putih
seorang pahlawan sejati yang dikenang banyak orang
setelah nyawanya sia-sia tewas di tangan pengacau bangsa
—————–
Kutatap pohon natal di sudut sana…
tanpa dedaunan lengkap dan begitu nestapa
kering, gundul..
segundul kocekku
duh.. memang hanya begitulah yang kusanggupi
uang tak cukup untuk mengangkut pohon natal rimbun
maka seada-adanya yang kubeli semampuku…
—————–
Sebentar lagi kamu datang..
ragaku yang berjiwa cinta sehebat gelombang
untuk melepas rindu yang berkepanjangan
ke tempat dingin yang kini tengah dilumuri salju putih terang
jauh sekali perjalanan menyeberangi lautan
untuk sebentuk cinta yang tanpa masa depan…
——————
Betapa kita selalu membalut luka menjadi cinta
karena jurang menganga di mana-mana
Juwik…., kamu harus kurenggut untuk menjadi ibu dari kedua anakku
yang kelak bernama Gibran bila lelaki
dan Berna kalau perempuan
———————
Juwik.., kamu selalu menangis bila kita sudah berbicara masa depan
karena kita takut sekali akan sebuah perpisahan
keyakinan akan menjalankan keimanan yang disatukan
rasanya bagai mimpi yang tetap di awang-awang
———————
Kerapkali aku berdoa dengan caraku
dan kamu bersujud dengan caramu…
hatiku kecut
manakala kamu berkata
dapatkah kita bayangkan
saat sudah sama-sama tua
renta dan mati
makam kita tempatnya berbeda..
sesuai dengan aturan pembagian lokasi sesuai agama.
duh….
—————–
Juwik menemaniku bersimpuh di gereja
menyimak segala nyanyian doa
kadangkala kutangkap derai air tergenang di sudut mata
seakan aku tahu semua apa sesungguhnya yang berbicara
dalam heningnya suara..
——————-
Bagai sinterklas kau sembunyikan sesuatu
di depan pintu asramaku
ada sepasang sepatu
atas hasil jerih payah gajimu
demi kado natalku
————————
Juwik kini pergi jauh…
karena kamu lebih mencintai Tuhanmu ketimbang mencintaiku
karena kamu tahu persis segalanya akan menjadi rumit tak menentu
karena sampai kapanpun tak akan mungkin ada Gibran maupun Berna..
—————-
Selalu saja jurang menganga
cinta terlarang
dan natal yang puluhan tahun setelah itu kini selalu tanpamu..
terasa pedih dan limbung sepanjang detik…
yaaaaah…. karena natal memang bukan untukmu, Juwik…
bukan untuk seorang muslimah tegar sepertimu
betapa air mata perpisahan tetap berlama-lama muncul
yang sulit sekali kita hentikan
sampai kita sama-sama menjadi tua
seperti sekarang ……
speechless.