Ketika menjelang usia 19 tahun saya sudah diharuskan mengejar para sumber yang kebanyakan orang-orang terkenal untuk kepentingan Majalah Berita Mingguan Tempo, kakak ayah saya pernah mengingatkan – bahwa usia muda tentu belum benar-benar siap mental hidup di tengah masyarakat. Banyak penggede, orang-orang terkenal, pejabat. “Si Linda jangan sampai jadi gede kepala dan sok!”, begitu katanya. Lalu ayah saya menjawab, “Ya, akan saya kawal terus. Saya amati perkembangannya”.
Maka hampir setiap hari saya ‘didonder’ ayah. Harus selalu lapor dan bercerita lengkap, hari itu sudah mewawancara siapa saja. Dirut Bank, Adam Malik, Ali Sadikin, Sri Sultan, atau tukang gunting rambut di bawah jembatan, sampai Walikota Jakarta Utara yang doyan korupsi. Ayah dan Ibu selalu mengingatkan, di usia muda saya betul-betul memperoleh kesempatan emas bisa dekat dengan orang-orang hebat, namun harus selalu santun cara menghadapi mereka, tak perlu bangga-bangga amat. Anggap bertemu dengan mereka hanyalah karena ditugaskan kantor. Dan yang terpenting : harus ada unggah-ungguh kepada orang yang usianya lebih tua!
Dari bekal itu, saya sangat berhati-hati sekali menghadapi orang-orang, maupun dunia keren populer pada saat itu. Saya memang lain dari yang lain saat itu. Teman-teman pulang kuliah masih bisa nongkrong di Taman Sastra UI Rawamangun sembari bergurau sesama teman dan berkutat dengan diktat, saya sudah harus lari terburu-buru masuk kantor sekaligus mengejar berbagai tokoh terkenal. Lagi-lagi ayah tak bosan selalu mengingatkan, “Jangan gede kepala! Jangan seperti petruk jadi ratu! Jangan keriting kaget! Jangan abaikan nasihat para senior di kantor maupun di luar kantormu!” – dan semua nasihat saya camkan. Saya tahu persis, di pundak saya selain terpatri nama Majalah TEMPO , tentu sekaligus nama kedua orang tua saya. Jangan sampai memalukan mereka.
Orang muda sah-sah saja berprestasi jauh lebih awal dari usianya. Seorang Dicky Iskandar Di Nata, sudah menjadi bankir hebat di Arab Saudi saat usianya belum mencapai 25 tahun. Paman saya di usianya yang masih belia sudah menduduki posisi konsul di Jerman, atas kiriman instansinya, Departemen Luar Negeri. Semua memang mutlak dibarengi dengan ketahanan mental, gigih, dan sikap yang selalu merendah dan tidak meremehkan orang lain.
Sekarang, kita lihat si Briptu Norman, yang tak menyandang lagi nama ‘Briptu’ di depannya. Alangkah ironisnya hidupnya selama setahun belakangan ini. Dipuja, disambut bagai pahlawan, dimanja banyak orang. Dunia bagai sorga yang cantik, berisi manusia yang ingin meraih memeluknya. Barakuda pun dikerahkan untuk dikendarainya. Kini? Surat pemecatan terasa begitu perih! Salah satu alasan pemecatan karena ia bersikap arogan dan tidak mengikuti disiplin yang sebagaimana biasanya. Nah lho! Mengapa Norman sebelumnya mengabaikan peringatan instansinya? Karena mendadak sombongkah? Merasa dirinya berada di menara gadingkah?
Susah memang, bila merasakan empuknya kursi, emas di depan mata, jabatan keren, populer di kalangan tertentu, namun masih mentah ke mana-mana dari urusan mental, tentu hasilnya sudah bisa dirasakan oleh orang-orang sekitarnya. Lagi-lagi, kesiapan mental seseorang memang sangat tidak boleh diabaikan. Mentah, blagu, takabur, tentu akan dipenuhi dengan kecongkakan yang luar biasa. Benarkah dia seperti itu?
Dan jangan lupa, masih banyak Norman-Norman yang lain, di manapun juga, yang mudah tergiur, sikap berubah menjadi arogan, yang semua karena tidak siap mental. Mungkin juga karena tidak sering-sering memperoleh nasihat sepanjang hari dari kedua orang tuanya….? Hhhhhmmm……! Jabatan itu apa’an sih? Titipan Tuhan bukan? Perlukah semua menjadikan kita gede kepala, sok, namun di balik semua itu, bila harus berhadapan dengan kenyataan dan membicarakan persoalan secara kesatria, tetap menghindar karena telah tersembunyi sebongkah kepengecutan yang sedemikian besar? Semua itu memang tergantung dari kematangan jiwa…..
Di atas langit, masih ada langit. Sebagai manusia, harus menyadari bhw segala jabatan, pangkat, kekayaan ataupun kekuasaan hanyalah titipan; bukanlah hal yg hakiki. Sbb akhlak yg baik, kerendahan hati yg membuat manusia bermartabat tanpa kehilangan jati dirinya.
betul sekali… terima kasih sudah mampir yaaaaa….
subhanalloh, …. alhamdulillah, …. kembali di ingatkan untuk tidak berbuat, berlaku, merasa apalagi menjadi SOMBONG / TAKABUR !!! .. terlalu mahal harga yang harus di bayar akibat kesombongan / takabur / besar kepala, sekecil apapun itu bentuknya. terima kasih atas artikelnya mbak 🙂
Tapi saya bersyukur tampaknya Norman sudah mulai stabil dan memang meniti jenjang karirnya di tempat yang dia inginkan. Sesuatu yang bermula pahit, semoga nantinya enak dinikmati. Tentu kita juga akan senang bila akhirnya Norman sukses.
Salam dan terima kasih sudah mampir ke blog saya, teman !
Subhanallah..
Semoga saya selalu diingatkan untuk tidak pernah besar kepala dan terlena dengan segala sesuatu yang membuat mata tak melihat…
Terima kasih sudah menulis ini, mbak..
Kesantunan dan egoisme saat ini melekat pada anak muda yang tengah populer serta berprestasi, kurang apresiasi terhadap senior menganggap keberhasilan yang diraihnya hanya usahanya sendiri sejatinya keberhasilan dan kegemilangan ada campur tangan orang lain, khususnya lembaga. Kepongahan tidak akan berarti apa pun …
Sangat benar. Hal ini baru saja saya alami setahun belakangan ini, sampai beberapa hari lalu. Orang muda yang tidak sudi dinasihati, dibenarkan caranya mengatur kerjanya yang agak serampangan. Semua dianggap ancaman, gangguan, suatu kecerewetan, bahkan dicap perusuh dan peneror.
Begitulah bila merasa di awang-awang dan pandai melebihi yang lain. Kadang orang lebih mengandalkan pintar buku ketimbang pintar elok laku.
Terima kasih yaaa…!!
Bagus bgt, uni… Jd mengingatkan siapapun utk tdk trlalu brbangga hati. Toh, pangkat, jabatan serta sgala prbuatan kita hrs dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya, Sang Khalik.
semua memang titipan Tuhan. kadang kita lupa….
Saya jadi inget kata2 guru musik saya. Segala sesuatu harus punya atitut,sejagonya orang klo atitut buruk lama2 kelamaan hancur
Betul sekali, teman!! Kadang kita lupa karena manusia memang gudangnya khilaf. Tapi kalau kita sengaja ‘lupa’ tidak perduli akan kesantunan dan tidak sudi mengoreksi diri, lingkungan kelak juga akan mencibir…
betul, teman!
Yeeeh kereeen Uni…
saya masih capek nih, baru lihat-lihat, blogging walking dululah
sepertinya masih jetlag hihi…
waaaah…hebaaaat… mbak Pipiet ‘panjang kaki’ melala teruuuss…! selamat ya! jangan lupa jaga kesehatan.
Bener Mbak. Saya kira itu sisi pandang yg lain, pelajaran dari Norman: jangan takabur. terima teguran dan masukan, sebagai pengkayaan diri.
Orang bicara karena menghendaki perkembangan dan pematangan. Di situlah, pujian dan diam dapat berarti penjerumusan, pun ketika memuji orang yang keliru atau lalai.
Sukses Mbak Lin
Terima kasih temanku bung Berthy. Saya setuju sekali, pujian kadang menjerumuskan karena tidak asli dan kadang bukan dalam irama ketulusan. Di balik tembok, yang memuji sering mengejek juga, bukan? Sebaliknya, teguran dan pelontaran saran yang intens dan blak-blakan adalah murni untuk sebuah kebaikan. Bahwa ada orang-orang bebal dan hati sudah dilumuri lumpur untuk tidak menerima saran, itu menjadi urusannya kelak sebagai akibat yang harus ditanggungnya.
Salam selalu !!