Orang tua saya pernah mengalami masa sulit, saat bisnis ayah ditipu oleh temannya sendiri. Tahun ’60 an kami hidup sungguh sederhana meski tinggal di kawasan Menteng Jakarta Pusat. Ayah, dengan segala kegesitannya mulai bangkit dengan gagahnya sampai akhirnya kami bisa pindah rumah ke kawasan perumahan keren pertama di Indonesia/ Jakarta, di Taman Solo Cempaka Putih Jakarta.
Yang ingin saya kisahkan adalah cerita bagaimana saya mengalami masa sulit itu. Begitu banyak penganan lezat buatan impor yang bikin ngiler, tapi tak terbeli. Salah satunya adalah keju Belanda dari Gouda. Saya sungguh tercengang melihat ada keju sebesar kepala berbungkus kertas merah menyala, di meja makan tetangga saya. Rumah kami di jalan Pasuruan no 30, dan si tetangga, keluarga dokter Cina Oei Kok Ping di nomor 32. Hampir tiap hari saya bertandang ke sana, bermain bersama kedua anaknya yang sebetulnya usianya lebih tua dari saya beberapa tahun saat itu. Lanny dan Hawtje adalah anak dokter kaya yang hidup berkecukupan. Punya banyak mainan, punya makanan impor berlemari, punya mobil dua, dan punya grand piano yang bikin saya ngiler setengah mati.
Kembali ke soal keju. Saya minta sekerat, minta lagi sepotong, coba lagi menyicipi… begitulah hampir setiap hari. Tante Oei Kok Ping begitu telaten meladeni saya. Tampaknya mereka tahu anak kecil ini memang betul-betul doyan keju yang harganya sangat mahal sekali di tahun ’60 an itu.
Dokter Oei Kok Ping praktek di daerah Priok. Pagi-pagi mobil Moris nya sudah menyala. Biasanya ia kembali pulang pukul 9 malam. Suara mobilnya sudah saya hafal, dengan klakson di depan pintu pagar berbunyi tiga kali , “Din..din..din!” Sebelumnya, pagi-pagi mobil Fiat keluar garasi mengantar Lanny dan Hawtje sekolah. Sopirnya bernama pak Tenis. Terbungkuk-bungkuk, tapi bapak tua itu paling hobi memakai sepatu tenis sembari menyetir mobil maupun berkebun menyiangi kembang ‘tai kotok’ berwarna kuning di halaman rumah pak dokter. Pulang sekolah, Lanny dan Hawtje mulai duduk di meja belajar mereka di sudut ruangan panjang yang kursi dan mejanya persis sama seperti yang terdapat di sekolah-sekolah. Lalu sore-sore Linda kecil sudah menikmati keju Belanda lagi di dapur orang keturunan Cokin eh Cina itu.
Hampir setiap malam minggu sang dokter memutar film. Suatu kemewahan pada zaman itu. Para tetangga kiri kanan dipanggil untuk ikut menonton gratis di garasi rumahnya. Dulu kami bertetangga dengan Broery Marantika, juga keluarga Omar Abdalla bankir yang terkenal sampai akhir hayatnya. Keluarga polisi, keluarga Batak inang-inang pedagang dari Tanjung Pinang, sering saling menyapa. Anak-anak menunggu selalu malam minggu untuk kemurahan hati pak dokter memutar film membahagiakan tetangga. Sesekali cerita cowboy, seringkali film drakula. Kami jejeritan ketakutan, menutup mata dengan jari-jari tapi toh mengintip lagi dari sela-sela jari. Hahahaa…!
Kebaikan hati keluarga dokter Oei Kok Ping sungguh melekat sampai sekian puluh tahun kemudian bagi diri saya. Sampai kini saya jadi ‘gila keju’. Di tas saya hampir selalu ada sekerat keju. Gila kan? Sebenarnya, keju adalah media memori saya untuk ‘mencubit diri sendiri’ bagaimana dulu zaman hidup sulit, ingin makan makanan enak tapi orang tua tidak mampu. Keju Belanda mau tidak mau memperingatkan saya untuk mengenang kebaikan hati orang lain manakala kita sedang hidup susah…., terutama kepada orang Cina kaya tetangga yang sungguh baik hati itu.
Maka, bila kini ada seseorang yang demi kursi kekuasaan sampai hati menghina orang-orang Indonesia keturunan Cina (apalagi yang tidak beragama Islam), hati saya terasa teriris-iris. Bagai irisan keju tipis-tipis…. bila dimakan kelewat sering, pastilah muncul migren alias sakit kepala. Saya kini sering sakit kepala bukan karena terlalu banyak ngemil keju, melainkan puyeng melihat arogansi orang yang mengaku cendekiawan, ahli agama, maupun bahkan pernah paham arti Sapta Marga dan sumpah prajurit. Apalah artinya semua itu? Sebegitu mudahnyakah tertutup demi kekuasaan dan ambisi duniawi yang melambung tinggi tanpa nurani jernih? Saya sungguh belum bisa menemukan jawabannya.
Aaaah…. ngemil keju lagi yuuuuuuuk….. !! Tante Oei Kok Ping, Lanny, Hawtje…, lihat nih sekarang saya bisa beli keju semau-maunya, harga semahal apapun…….sambil mengingat kebaikan hati kalian…. tetangga yang bermata sipit tapi berhati lebar penuh kasih…….! Hayaaaaaaaaaaaaa…….!!!!
Waktu saya masih SD, se-hari2 saya juga mainnya di rumah tetangga saya yg keturunan Cina. Mereka kakak beradik yg baik. Ayah mereka jg seorang dokter dan ibunya guru privat piano. Di rumah mereka juga banyak kue & makanan lain tapi walaupun kami masih anak2, mereka sudah tahu untuk hanya menawarkan yg halal saja ke saya. Mereka mengajari saya banyak hal, termasuk matematika dan main piano dg piano Ibunya yg berukir & berbentuk seperti buffet. Sayangnya setelah ayahnya wafat mendadak, mereka pindah ke rumah kakeknya di Taman Solo-Cemput (daerahnya rumahnya Bu Linda) yg berjarak sktr 4 km dari rumah saya. Setelah itu mereka melanjutkan sekolah ke AS sehingga hubungan kami terputus (saat itu fasilitas komunikasi agak sulit & belum ada internet). Buat saya, persahabatan dengan teman2 saya yg keturunan Cina tsb banyak meninggalkan kesan positif walaupun kami memiliki berbagai macam perbedaan. Semoga suatu saat kami bisa bertemu lagi.
bagus sekali meine liebe Linda, bahasanya sangat lugas dan sangat menyentuh……. ich mag alles was du so schreibst……..miss u….
Hai Kiki di Hamburg ! Ich danke dir sehr……. !!!
so kita semua jangan suka hina dan memandang dengan sebelah mata warga keturunan.
@Wanto Wijaya : Betul sekali !! Setuju !
Selalu saja tulisan mbak Linda membuat saya tambah “I Love You, Mbak Linda”….
@Ninik : hehe….. ! lv u tooooooooooo…..
@ima : adonan yang menyakitkan, pedih, bangga dan bersyukur tiada henti…..
hati saya juga teriris, bu, tapi anda sungguh jeli dapat mengambil sari yg indah,
terharu aku, akan pandangan hidup anda.
Nug
@Nugraha : Saya menuliskannya pun dengan air mata mengalir…..
Terima kasih ya !
Dear Linda,,,
Salam kenal,,,Kisah yang sangat menyentuh,,,,,,jika pernah tinggal di jalan Pasuruan tentu juga kenal sama Bang Zul Aceh di no 12,sebelah rumahnya Olla Lumanouw dan Berty.Bang Zul baru meninggal minggu lalu.
Saya kebetulan masih keluarga dgn bang Zul dan kalau datang dari Medan selalu menginap di no 12,dan akhirnya menikah dengan anaknya H Hasboellah Siregar yang tinggal di pojok jln Surabaya dan jln Pasuruan.
@Mimie : Saya sempat tahu beliau…. di sebelah rumah Olla dan Berty adalah rumah Broery Marantika. Mungkin di sebelah kiri rumah Olla yaaaa… (anak-anak di rumah paviiun belakang ada yang namanya Amie, Ina ). . Apakah Olla dan Berty masih ada ? Kalau tidak salah Olla adalah putri Jakarta pertama… cantik sekali dia.
Salam dan terima kasih ya sudah mampir ke blog saya…. ~ Linda ~
@Linda,,,,Yes,,,betuul disebelah kiri rumah Olla,dan Olla itu putri Jakarta yang pertama kami masih sempat bersama waktu pemilihan putri Jakarta selanjutnya tahun 1970 dimana Endang Tri Wahyuni terpilih sebagai putri dan aku sbg putri kepribadian(miss personality).Makanya sampai sekarang sama Irma Hardisurya tetap berteman.Dan Linda masih ada turunan Aceh yaa?Dengan de Thayebs tentu kenal semua dong,They are my cousins from my mom’s side.Glad to know you!!!
Sangat menyentuh dan penuh inspirasi… di akar rumput memang ngak ada perbedaan, elite politik yg haus kekuasaanlah yg membikin perbedaan…
@Dyan : Banyak terima kasih, teman !
As simple as that. A deep reflection…. Kekuasaan memang menggilakan.
kekuasaan membuat buta mata buta hati buta nurani….
semoga tidak terjadi pada kita dan seluruh keluarga kita.
prosa jurnalistik yang jeli, inspiratif dan aktual…adonan yang pas tentang kisah masa lalu, dan drama di layar tv semalam, hayaaaaa…!