Aku Monas, Izinkan Aku Berkata…

Sedihku alang kepalang kini.  Aku dipandang dari segala sudut kota. Aku menjulang cemerlang. Daya tarik tubuhku  yang berlapis emas, semakin sumringah di kala malam.  Gema  kekuningan  memancar setiap helaian rumput di bawah sana.

Aku muncul dengan derajat mulia. Lambangku  ada di lidah api, sebagai lambang perjuangan menyala-nyala jiwa merdeka bangsa Indonesia.  Merdeka dari urusan pencitraan tapi kosong semu tiada bernyali. Jiwa kebebasan yang  terukur, bukan ngawur.  Penjelmaan martabat bangsa yang sempat berdarah-darah memperebutkan haknya atas upaya pihak lain untuk merampok, menindas maupun menjajah sepanjang waktu. Oleh sebab itu, aku didirikan  sebagai lokasi suci dari penghinaan korupsi sekalipun.

Lalu, mengapa seseorang begitu seenaknya menawarkan diri, untuk menggantung diri di tempatku yang indah ini?  Aku bukan tempat pembantaian. Aku  bukan tiang menjulang tanpa makna estetika. Aku juga bukan tempat untuk tersedianya tontonan menjijikkan dari para penjahat manapun.   Ketinggianku sepanjang 132 meter di atas permukaan 433 kaki adalah simbol untuk aroma perlawanan dari perjuangan rakyat Indonesia yang sungguh gagah perkasa terhadap penindasan berlama-lama yang maha dahsyat dan mengerikan.   Bukan untuk kehebatan seorang koruptor numpang pamer  yang dengan  lancang mulut berbicara mengumbar janji  untuk memakai tempatku —  seolah-olah itulah semangat patriot yang diinspirasikan.  Sungguh keterlaluan !

Aku tidak sudi, tubuhku yang kekar dengan pasak beton utama sebanyak 284 buah dan 360 pasak bumi sebagai pondasi museum sejarah di bawah tubuhku menjadi tercemar dan beraroma anyir karena kelak ada darah muncrat dari hidung telinga dan mata, dan kemudian rakyat bersorak dari  kejauhan, di bawah kakiku.  Lalu muncul juru kamera beribu-ribu dan berita sampai ke ujung  kutub manapun.  Betapa memalukannya.  Dan menjijikkan. Aku tak sudi tercermar setitik abu sekalipun.

Ada lambang Lingga dan Yoni di sekujurku. Itulah lambang kesuburan,  dengan merebaknya kesatuan harmonis yang harusnya meluas sampai sudut sanubari manapun dari bangsa Indonesia. Bagai pasangan alu dan lesung yang senantiasa kompak dalam  perolehan rizkinya.  Tentu rizki yang barokah, yang dicermati Tuhan sebagai  kekayaan lahir dan batin yang membahana sampai ditelan anak cucu dan semua keturunan.   Bukan dari hasil pencopetan, melacur tubuh maupun melacurkan kepandaian dengan segala tutur kata bijak, santun, tenang dan istimewa dipandang dari luar padahal busuk sebusuk-busuknya di dalam.

Itukah yang akan menempel di tubuhku  kelak?  Aku sangat  berkeberatan.  Aku tak sudi sama sekali.  Aku menjadi tempat hiburan dan pemandangan nyaman bagi rakyat, terutama yang tak mampu  berjalan ke tempat-tempat mahal yang harus mengeluarkan kocek dengan berat hati karena ketidakmampuan finansial. Tempatku menjadi hiburan murah dan terjangkau. Bukan kelak menjadi tempat pembantaian tubuh seorang pria lancang mulut yang bergelantungan dengan tali, atas segala tantangan yang ia buat sendiri di depan ratusan juta rakyat Indonesia.

Aku sudah tua. Usiaku muncul sejak dasar kaki, jemari tangan mulai tumbuh pada 17 Agustus 1961.  Aku dianggap bisa menyaingi menara Eiffel Perancis yang tersohor di mana-mana.  Presiden Sukarnolah yang berinisiatif untuk kemunculanku, dengan biaya yang sungguh terengah-engah.  Lahir dari tangan-tangan aristek jagoan yang canggih, aku akhirnya lengkap sudah dinikmati  oleh presiden yang lain lagi. Suharto meresmikanku 12 Juli 1975. Lalu berbagai manusia berbahagia bisa menikmati keindahan kota dari awang-awang.

Aku menjadi sumringah.  Malam terang benderang, siang diterpa angin hujan panas matahari dengan segala ketegaran.   Di bawah kakiku sempat sepasang kekasih berpegangan jemari dan memadu janji pada sebuah pernikahan. Yang satu seorang menteri, yang satu lagi seorang penyanyi.  Belum lagi bayi-bayi dengan mata berbinar menatapku dari bawah, tatkala dalam pelukan cinta kasih Ibundanya.  Ya, di seputarku muncul berbagai cinta kasih… , bertebaran di lapangan yang berganti-ganti nama, lapangan Gambir, lapangan Ikada, dan lapangan Merdeka.

Aku Monas, izinkan aku berkata, bahwa aku benar-benar merasa jijik bila tubuhku disentuh tali gantungan,  atas dasar janji seorang pecundang  yang lancang mulut, yang  belum tentu terbukti sebagai pecundang– yang sesungguhnya amat sangat mudah dibuktikan, tanpa urusan bertele-tele buang waktu buang tenaga buang pikiran,  dalam upaya  pembuktian terbalik tentang harta kekayaan yang seketika  tiba-tiba melimpah ruah mencengangkan, waaaaaah….dari mana semua itu diperolehnya?  Bila jelas-jelas dari hasil colongan,  silakan ikuti janjinya, todong, tuding, dan tuntut penggantungan.  Tetapi tidak di tempatku. Jangan… jangan… janganlah tubuhku dilumuri kotoran demi janji dari  sebuah tontonan yang memilukan………

One comment

Comments are closed.