Moerdiono, Bicaranya yang Terbata-bata Hanya Pura-pura…, yang Tahu Hanya Wartawan Istana…

Dering telefon genggam bertubi-tubi sedari tadi.  Lelaki perempuan, teman-teman dekat saya, terisak menangis membicarakan wafatnya Moerdiono,  mantan Menteri Sekretaris Negara era Suharto.  Air mata saya bergulir deras. Ya Allah, harapan saya, ia wafat dengan husnul khotimah, dengan nyaman, dengan pemaafan yang besar darinya dan pemaafan dari orang kepadanya. Dan dipeluk Tuhan dengan segala cinta

Baru kemarin  saya bercerita dalam tulisan  tentang dia, berkaitan dengan bocornya nama-nama calon menteri yang juga pernah terjadi saat Presiden Suharto berkuasa.  Pak Moer tidak sekalipun panik, karena Pak Harto juga tenang-tenang saja.  Sambil menulis cerita kemarin, entah mengapa, terbayang tiada henti wajah mantan menteri yang satu ini.  Sudah lama rasanya saya tidak berjumpa dengannya. Kalau tidak salah dua tahun lalu di ruang perpustakaan Fadli Zon, bersama-sama dengan Idris Sardi.

Menjadi wartawan yang ngepos di Istana, selain juga saya harus berkeliling ke Balai Kota DKI, Departemen Pertambangan dan Enerji serta Parpostel, tentu banyak kenangan yang masih lengket hingga kini. Saya masuk ke Istana/ Sekneg/ Bina Graha tahun 1989. Di situlah saya mulai berkenalan dengan menteri yang berkuasa di wilayah itu. Moerdiono baru setahun menjadi Mensesneg, dalam deretan Menteri Kabinet Pembangunan V. Saya juga masih menyaksikan selesainya tugas lelaki yang hobi main tenis ini pada tahun 1998 sebagai Menteri Kabinet Pembangunan VI. Artinya, nyaris 10 tahun saya hampir bertemu setiap hari dengannya.  Saya dan seorang sahabat saya yang juga wartawan di lingkungan Istana, Iin Retno, memanggil dia Mr M.  Juga salah satu staf Moerdiono yang selalu setia menemaninya main tenis sampai pukul satu malam, Rildo Ananda Anwar. Dialah yang juga membahasakan Moerdiono sebagai Mr M. Sebaliknya, ia juga memanggil saya ‘Lince’  dan memanggil Iin Retno ‘Ince’.  Kami memang sangat akrab tanpa mengurangi rasa hormat dan tetap saja tidak pernah ‘diplintir’  olehnya dalam pemberitaan. Pak Moer tahu persis saya tidak bisa diatur-atur dalam menulis berita. Dekat boleh, mengatur tidak bisa! Itulah yang selalu saya katakan kepadanya, dan disepakati.

Ia sangat hati-hati dalam menyampaikan pernyataan dan menjawab pertanyaan wartawan. Sehingga, cara berbicaranya yang terbata-bata itu hanyalah untuk konsumsi publik. Begitu kamera menyorotinya, alat perekam diletakkan di depan meja, langsung ‘aaaa…eeeee…..eeee…aaaaa….hhhhhhmmm..eeee..’ muncul dari bibirnya.  Sering kami hampir tergelak menghadapi situasi itu setiap saat. Begitu kamera dimatikan, bicaranya lancar bagai kereta api ekspress tanpa rem sedikitpun. Kadang kami protes kepadanya, mengapa selalu berbicara gagap begitu. “Nanti Bapak dikira orang memang begok lho!”, ujar saya.  Pak Moer tergelak, “Hahahaaa… masa bodoh, biar saja…!! Daripada ngomong kilat tapi isinya gebleg dan ngaco!”

Saya tidak mampu bercerita lebih banyak lagi saat ini.  Begitu banyak cerita, kenangan, pahit manisnya bekerjasama dengan Mr M alias Pak Moer alias ‘Bapak Raja’ ( begitulah biasanya  para petenis di lapangan Sekneg menyebutnya), membuat duka saya detik ini belum bisa pupus. Lagipula, sejak tadi sampai sekarang HP saya berbunyi terus.

Besok, menurut mantan Mensesneg Bambang Kesowo yang saya hubungi barusan, dan ia dulu pernah menjadi Kepala Biro Hukum di zaman Mr M eh pak Moer, jenazah akan dijemput besok ke KBRI Singapura, diperkirakan tiba di Jakarta pukul 13.00 siang.  Langsung akan menuju pemakaman Taman Makam Pahlawan Kalibata. Artinya, tidak akan disemayamkan di rumahnya yang ditempati istrinya ibu Maryati, ataupun disemayamkan terlebih dahulu di kantor Sekneg.

Tak terbayang besok betapa ramainya yang akan datang melayat.  Teman-teman wartawan yang selalu berhubungan dengannya sehari-hari selama bertugas di Sekneg Istana BinaGraha, tentu tak akan lupa betapa seorang Moerdiono selalu dekat kepada wartawan, terbuka dalam informasi meski kadang hanya sebatas ‘background information’ namun kami dibuat terang benderang, cerdas, dan diajari cara menganalisis berita secara baik. Dan satu hal yang saya ketahui pasti,  dan saya respek sekali terhadap perlakuannya ini, ia tidak pernah mencoba memberikan amplop kepada wartawan!! Selamat jalan Pak Moer…, Mr M, apapun urusan pekerjaan saya banyak dibantu olehmu selama saya bertugas di Istana.

One comment

  1. satu sisi dari mr.M.
    satu sisi lain dari sudut Machica mochtar bagaim,ana ya?

    kasihan suara machicha nyaris tak terdengar
    bahkan suara yang mewkilinya juga tidak

    wallaohu a’lam

Comments are closed.