Kakek Saya Dosen IAIN Beristrikan Non Muslim

Hari ini di televisi banyak disiarkan suasana Natal di mana-mana hingga pelosok Indonesia. Sekedar berbagi cerita sedikit ; Kakek saya dari pihak Ibu, Haji Arifin Temyang adalah pejabat di Departemen Agama masa lalu. Pak Mukti Ali eks Menteri Agama dulu adalah anak buahnya. Juga si cantik Ibu Zakiah Darajat, pejabat Departemen Agama dan seorang psikolog yang hebat dan manis hati. Eks Dirjen Haji Qadir Basalamah dari remaja diasuh kakek saya, disekolahkan hingga jadi orang. Dia adalah kakak dari pak Fuad Hasan eks Menteri P&K masa lalu. Kakek saya Arifin Temyang juga salah satu pendiri Yayasan Idayu cikal bakal Gunung Agung, dan ia salah satu pendiri IAIN Ciputat yang kini berganti nama menjadi UIN.

Beliau hidup dengan sembilan anak ( 7 putri 2 putra ) dalam kesendirian bertahun-tahun. Istrinya, nenek saya yang bernama Ramlah dan parasnya sangat cantik sekali wafat dalam usia muda. Kala itu amat sulit mengobati penyakit paru-paru. Zaman susah, obat-obatan juga belum canggih seperti sekarang. Sakitnya yang menahun merenggut nyawanya ketika mereka sebagai orang Aceh dan Sumatra Utara itu pindah ke Bogor.

Akhirnya kakek saya menikah lagi dengan seorang janda, ibu Tin, yang kami panggil ’embah’. Ia berputra satu, Oom Pur, yang saat remajanya di sekolah Perguruan Cikini termasuk yang tersambar bom saat Presiden Sukarno diserang yang dikenal sebagai “Peristiwa Bom Tjikini”. Tangannya dan beberapa bagian tubuhnya hingga kini masih membekas. Embah saya adalah seorang Protestan yang taat. Jadi, kakek Arifin Temyang yang di Departemen Agama dan mengajar di IAIN beristrikan seorang non muslim.

Tiap hari Minggu dengan mobil Austin berwarna biru, kakek saya mengantar embah Tin dan anak tirinya ke gereja. Ia menunggu di seputar gereja hingga peribadahan usai. Begitulah menahun yang dilakukannya. Saat sahur di bulan puasa, tidak seharipun embah saya tidak bangun menyiapkan makanan untuk suaminya. Juga sibuk memasak untuk santapan berbuka.

Saat lebaran adalah hal yang paling seru. Di rumah kakek saya di jalan Merapi kawasan Guntur Jakarta, embah Tin sudah menyiapkan kacang kulit dan uang logam. Keduanya dicampur di dalam ember besar. Lalu anak-anak tirinya yg ‘sudah jadi orang’ menyiapkan lembaran uang rupiah, bahkan yang hidupnya paling mentereng menyumbang lembaran-lembaran dolar. Waaaah..! Kami punya kebiasaan setelah bermaaf-maafan dan makan ketupat dengan lezat, adalah acara saweran. Anak cucu menantu semua berbaur di ruang keluarga yang cukup besar. Meja bangku kursi disingkirkan. Maka ‘pertarungan dan perebutan rizki’ siap dimulai. Hahahaaa…! Embah memanjat kursi, kami semua berhadapan di depannya. Lalu ia menyebar genggaman kacang kulit serta uang logam dan uang kertas yang membungkus uang logam. Kami jejeritan seru, bertarung berebutan bersikutan sembari teriak-teriak riang. Semakin sengit suara kami, semakin seru embah melempar isi ember yang menggiurkan itu. Kacang tak dipedulikan. yang penting uang logam dan uang kertas serta… dolaaaaaar…. !!

Suasana itu sudah tak kami alami lagi. Dan tak ada di antara kami yang mewariskan. Seolah-olah acara itu adalah hak mutlak embah dan kakek Arifin, yang kami panggil selalu ‘Atuk’ itu. Kami sering rindu suasana itu. Suasana ‘madatan duit’, suasana keakraban antar sesama anak cucu menantu sepupu, suasana toleransi beragama di keluarga besar kami.

Atuk sudah tiada. Ia meninggalkan ilmu yang luar biasa bagi keturunannya, serta ribuan buku di perpustakaan pribadinya. Ia meninggalkan nama harum, karena begitu saya menyebut sebagai cucu dari Bapak Arifin Temyang, banyak tokoh terkenal yang langsung bercerita segala kebaikan hatinya dan kehebatannya bekerja. Termasuk Ibu Zakiah Darajat yang selalu memuji kakek saya sebagai guru yang handal, jujur, anti korupsi, dan cerdas sekali. Suatu hari Jimly Asidiq yang hampir semua orang tahu siapa dia pernah berkata kepada saya, “Kenapa kamu tidak membuat biografi tentang kakekmu? Dia sungguh berarti. Kamu nulis biografi orang lain melulu…, kakekmu sendiri dong yang kamu tulis !!”

Mereka telah mengukir kenangan indah bagi saya. Pasangan berlainan agama yang sangat rukun…. hingga akhir hayat mereka. Berilah mereka kebahagiaan abadi di sampingMu ya Tuhan….

4 comments

  1. Lin, co ba di research lagi kehidupan mbahmu n di bukukan,say rasa itu sangat menarik di tengah kehidupan sara agama yang ada di INA ini.

  2. Kita percaya, relijiusitas sebagai RAHMATAN LIL ALAMIN lah yang akan menghantar kita untuk senantiasa berada bersama, hingga bersatu di hidup seberang, mbak Lin.

  3. Saya terharu dengan cerita anda, kok mirip yah keluarga besar kami juga seperti itu yang terpenting silahturahmi walau berbeda-beda SARA, tetapi setelah salah satu orang tua kita meninggal suasana itu tidak terjadi lagi, semua sibuk dengan urusan masing-masing…

    Alangkah indahnya keharmonisan walau kita berbeda tetapi serasa satu hati.

    #terkenang.

Comments are closed.