Ketika Ibu Menyentuhku

Ketika Ibu menyentuhku, dan menempelkan hidungnya yang mancung ke pipiku, saat itu getaran dahsyat mengalir ke sekujur darahku. Bayi mungil yang diberinya nama Linda saat itu menatap wajahnya lekat-lekat. Betapa cantiknya dia. Wanita Aceh campuran Sumatra Utara berkulit kuning langsat bagai perempuan Indo dengan tatapan penuh cinta. Dialah Ibuku, yang akan aku bertumpu sepanjang saat kepada seluruh kasih sayangnya.

Empat puluh hari setelah aku menjadi penghuni rumah di lantai atas kawasan Jatinegara itu, Ibu tak lupa menyentuhku berlama-lama saat ia akan turun ke lantai bawah untuk bekerja. Aroma obat memang menjadi suasana akrabku sehari-hari sejak bayi merah. Apotik SEKATA di kawasan Jatinegara sebagai pusat penghidupan Ibu dan Ayah sehari-hari….

Ketika usia balita merambat pelahan, pundaknya menjadi sasaran kedua paha mungilku untuk minta dijadikan kuda-kudaan, juga selendang batik Pekalongan hasil buah tangan nenekku diikatkan ke perutku, dengan boneka kecil yang kutenteng ke mana-mana… Ibu tersenyum sembari mengatakan suatu saat kamu menjadi seorang Ibu yang menggunakan selendang ini untuk anak-anaknya…

Ibu seringkali menyentuh pundakku dengan lembut manakala aku si balita ini berbincang-bincang asyik dengan tokoh imajinerku, yang sesungguhnya aku lihat ujudnya memang ada. Seorang nenek di pinggir tangga dekat kamar mandi selalu menemani bercakap-cakap. Wajahnya cantik dan kerutannya tajam, berkebaya encim dengan senyuman tak lepas. “Kamu berbicara dengan siapa nak?” Maka aku menjawab kepada Ibu, “Nenek… nenek…” – yang entah siapa aku tak pernah tahu. Lalu Ibu memelukku tanpa protes. Hangat rasanya. Apalagi merasakan betapa ia memakluminya meski tanpa tanya.

Peluhnya mengalir saat pulang bekerja. Pernah Ibu pingsan di apotik karena menghirup aroma obat yang mengandung obat keras. Tubuhnya lunglai tapi hidung mancungnya yang bangir itu tetap mempertontonkan kejelitaannya. Kadang Ibu menyentuhku pula, mengangkat sampai tempat duduk delman atau pun becak. Kami berputar keliling kawasan Jatinegara sambil menikmati angin sore. Ada suara deru trem di tengah jalan. Juga dentingan delman di mana-mana.

Ketika kami pindah ke kawasan Menteng Jakarta Pusat, tetangga kiri kanan sering mengatakan kepadaku, “Linda.. Linda.. salam untuk mamanya yang cantik sekali itu yaaaa..” Aku begitu sewot kalau yang berbicara adalah para pemuda yang berkumpul di tukang rokok pojokan jalan. Julukan kepada mereka saat itu adalah kumpulan crossboy. Setibanya di rumah kuceritakan kepada ayah peristiwa tadi, dan disambut derai tawa olehnya, sementara Ibu kembali menyentuhku, memeluk dengan tawa tertawah pula, “Tidak apa-apa Linda… bilang saja sama mereka, nanti salamnya disampaikan ke Ibu …”

Ketika Ibu hampir tiap hari menyentuh dengkulku yang selalu luka, bibirnya tetap tersenyum sambil mengganti plester, verban , kapas dan obat merah untuk luka. Anaknya memang telah menjadi perempuan kecil bagai lelaki yang sehari-hari memanjat pohon, main di dalam kali, jatuh tiap saat, dan dengkul kiri luka, besok sembuh gantian yang kanan sobek. Begitu sepanjang hari. Ibu dengan gesit menjadi dokter kecilku. Bahkan ia masih bisa menyentuh hatiku dengan senyum saat jidatku juga bocor gawat, dijahit di Rumah Sakit Umum yang jorok dan bau anyir itu.

Saat perutnya makin membesar menanti kelahiran anak kedua, Ibu tetap tegar menghadapi musibah keluarga. Harta yang terkumpul menjadi minim karena ayah tertipu teman sendiri. Betapa aku menangis tersedu-sedu sambil memeluk kakinya memohon maaf, saat ia menyuruh aku membeli tiga butir telur ayam karena tak mampu membeli sekaligus satu kilogram telur, tanpa kutahu kantong plastiknya bolong dan telur berhamburan ke lantai. Ibu sedih sekali.. tapi akulah yang merasa bersalah dan yang paling tersayat-sayat.. , apalagi saat Ibu membelai rambutku dan berkata, “Nggak apa-apa Linda.., besok kita beli lagi, tapi sekarang jadi nggak makan telur ceplok dulu ya?”

Kadang aku tertidur di becak dengan hiburan angin semilir siang-siang, menemani Ibu berbelanja kain di Pasar Baru untuk dia jual lagi. Pipiku kembali disentuh, siraman terik matahari dilindungi oleh telapan tangannya. Kadang aku mengikutinya berbelanja di Pasar Cikini, ikut membawa tentengan belanjaan, sambil pula menahan air liur melihat keju buatan luar negeri, bakmie ayam di restoran Fajar, yang belum bisa kami beli saat itu… dan lagi-lagi Ibu berkata, “Jangan takut, besok-besok kita beli ya?”. Satu hal yang juga aku terpana melihat Ibu, ia tak pernah sekalipun merasa rendah diri di samping berbagai temannya yang hidup berkecukupan. Malah kecantikannya yang tulus bersinar tak menunjukkan kesengsaraan hidupnya.

Sentuhan Ibu tak selalu dengan tangan dan tubuhnya.., tapi juga dengan tatapan tajam saat aku kena sasaran sabetan sapu lidi oleh ayah. Tak sekalipun Ibu membela dan melindungiku. Ia memang selalu sepakat dengan ayah dalam mendidik anak-anaknya. Hanya saja sorotan mata ibanya menjadi kekuatanku untuk tak merasakan kelewat sakit sabetan hukuman ayah itu.

Dan semakin hari Ibuku yang cantik mulai berbintang terang lagi. Pekerjaannya menanti sepanjang hari. Gesit, disayang si pemilik pabrik obat, dan selalu dibutuhkan. Ibu bekerja. Rumah sepi kembali. Ibu maih golf bersama ayah di hari Minggu. Rumah pun sepi dan hari libur hanya ada sentuhan Ibu di kala sore dan malam hari. Namun aku dan adik-adik selalu berebut meminta Ibu yang selalu mengambilkan rapor ke sekolah. Kami dandani dia, dan kami bangga menggiringnya di tengah guru dan para orang tua murid lain…… hhhmmmm… si cantik perempuan Aceh ini boleh menjadi tinggi hati ketika ketiga anak gadisnya mendorong-dorongnya sembari memamerkannya di sekolah SD Kepodang Taman Sunda Kelapa yang asri penuh rerumputan luas dan bunga-bungaan zaman dulu itu.

Ibu bekerja .. bekerja dan bekerja. Sentuhan tangannya mulai jarang tapi enerjinya yang tak putus-putus menjadi sentuhan magnit bagi anak-anaknya untuk mencontoh kegesitannya. Kami seakan malu bila tak bisa sehebat dia. Kadang aku heran mengapa jarang ada air mata meleleh ke pipinya. Wanita besi ini memang jarang sekali menangis, marah dan emosi. Inilah yang tampaknya sulit menurun kepada kami. Ketika anak-anaknya berselisih paham, Ibu bahkan mengadu dan mempersilakan kami untuk berkelahi di halaman belakang. Biar puas, katanya. Nanti kalau sudah bermaaf-maafan, baru disuruhnya kami datang lagi kepadanya menghadap.

Lalu tenaganya beralih kepada sebuah penerbitan majalah wanita yang akan berdiri. Ibu mengelola Femina di bagian masak memasak dan mode. Halaman warna menjadi daerah kekuasaannya. Ibu yang cantik dan apik berbusana ternyata menjadi panutan hampir seluruh pegawai perempuan yang bekerja di sana. Dan menjadi bahan pula untuk dikedepankan dalam majalah itu. Betapa tak kulupa mata ayah berbinar-binar saat ibu terpilih menjadi salah satu dari sepuluh wanita Indonesia berbusana terbaik. Ia kala itu berdampingan dengan pemenang lain,di antaranya adalah ibu Nani Ali Sadikin, Ibu Siska Sudomo, Ibu Natalegawa yang anaknya, Martie Natalegawa kini menjadi Menteri Luar Negeri. Gunting yang terbuat dari emas menjadi hadiahnya. Dan tetap saja tidak menjadikan Ibu pongah. Ia tetap bersahaja, disayang banyak teman, dan selalu memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya. Sentuhan sifat semacam ini membutuhkan waktu lama bagiku dan anak-anaknya yang lain, untuk ditiru secara instan.

Cinta kasih yang digelontorkan kepadaku kadang tersembunyi, kadang nyata. Begitu kehidupanku jauh darinya di ujung negeri Eropa, tiap beberapa bulan sekali Ibu menyempatkan menengok. Asramaku menjadi sumringah oleh berbagai masakannya. Kamarku bersih dan pulang sekolah senang sekali kami menikmati taman kota atau danau yang indah. Dan sebagaimana biasa seperti saat aku masih remaja, berbagai teman selalu berdecak mengagumi kehalusan dan kecantikan Ibuku. Maka berebut pulalah mahasiswa Indonesia di negeri orang yang ingin mengantar Ibuku ke mana-mana…

Sentuhannya memang tiada tara. Tak dipungkiri, kadang kami ribut besar tapi terasa separuh nyawaku hilang. Larilah lagi aku ke sana, belahan jiwa. Usia di bulan Desember tahun ini mencapai 78 tahun, dan Alhamdulillah masih menyisakan kecantikannya hingga kini. Gesitnya bekerja di kantor belum berkurang, dan mengarang buku masak Primarasa tiada henti tanpa mengingat usia. Bahkan kini usai dari kantor ia ‘lari’ ke sekolah bahasa Inggris yang super canggih. Waaah.. !!

Ibu memang menyentuhku dalam segala cara. Keapikan berbusana, rapi mengurus rumah, pandai di dapur, bijak, banyak kawan, gesit, selalu senyum menghadapi susah senang, bersahaja, aaaaah….. sayang sekali hanya beberapa mungkin yang sanggup kutiru.. selebihnya menjadi bagian dari dirinya yang mendekati sempurna…dan semoga Tuhan masih memberikan kesempatan kami bersama berlama-lama dengan penuh cinta, sehingga aku pun masih bisa dengan segala pensyukuran nikmat merasakan sentuhannya ….

Selamat Hari Ibu untuk para perempuan Indonesia……

One comment

  1. Kisah kasih dengan makna RUARRR BIASA dahsyat, Mbak Lin. Thanks. Aku masih punya kenangan Puisi Mbak Lin, KETIKA REMBULAN DI DESA, buat Ibuku yang kemarin menyeberang dengan speed-boat, melakukan panggilan HP dan, aku telpon balik, sambil ngobrol…

Comments are closed.