SBY Oh SBY

Bila saya memandang SBY di layar kaca atau dari media cetak, kadang terbesit rasa kasihan kepada orang ini. Dulu dia saya kenal sebagai tentara yang santun, dan dari bahasa tubuhnya ada rasa selalu ingin menolong orang lain. Tangkapan saya, orang ini berhati baik.

Kini SBY banyak dicela. Saya termasuk yang protes atas kesehariannya sebagai presiden. Dalam mengelola negara, bertutur kata, atau menetapkan kewibawaan kepada umum maupun keluarganya sendiri. Hingga muncullah cerita bunda putri, ataupun ada ‘anak emas’ di partainya yang kini mampu melawan dengan sindiran halus, tindakan samar maupun nyata.

Pada kampanye pertamanya, saya sempat bertemu di lobi Pondok Indah Mal. Istrinya sudah masuk mobil, SBY masih dikerumuni banyak orang di samping mobilnya. Lalu saya muncul nyelonong saja ke sampingnya. “Apa kabar mas?”, sapa saya. SBY terkejut, sembari segera menyalami saya, “Aduuuh, mbak, ke mana saja selama ini? Kok nggak pernah kelihatan lagi.”. Jawab saya, “Lha sudah nggak jadi wartawan lagi, nggak di istana lagi.. hahahaha! Sukses mas ! Halllo mbak, sukses ya !” . Ibu Ani senyum lebar dan tangannya melambai ke arah saya, dari kursinya.

SBY sempat menawarkan teh panas manis di ruangan Faisal Tanjung ketika saya bersiap mewawancara ‘boss’ nya belasan tahun lalu. Sebelumnya lagi, di Palembang saya nyaris tertinggal bis rombongan. Ia sekejap lari menghampiri saya di luar bis, menarik saya masuk dengan segera. Ya Allah.., kalau sudah ingat itu, rasanya saya menganggap orang itu memang orang baik, dan bisa menjadi teman yang baik.

Ketika Adjie Massaid wafat, ia datang bersama istrinya. Ia baru tahu saya menjadi bagian dari keluarga yang berduka setelah kami diatur duduk oleh protokol istana berdampingan dengan presiden dan istri. Ia menyalami saya, istrinya memeluk saya. Kami sempat mengobrol dengan uraian deras air mata saya yang mereka lihat. Hingga ke mobil pun, saya tetap berbisik kepada SBY, “Mas, titip Angie. Dia sekarang sendiri. Kasihan..” — Dan SBY menjawab, “Iya, iya mbak..”.

Kini waktu berlalu bagai mengalir ke sekujur tubuh seluruh manusia. Jalan menapak satu persatu dari langkah kaki yang mengukur jalan. SBY bagai hidup di awang-awang. Banyak hal yang rasanya tak berkenan di hati. Sebagaimana saya yang dulu ingin ‘menutup mata’ serta ‘menutup buku’ terhadap kelakuan Angelina Sondakh – tanpa saya tahu sebelumnya ia diduga keras melakukan korupsi, dan berdusta, serta melakukan kebohongan publik.

SBY, mengapa tidak hanya sekali saja dulu, dan tak menjabat lagi. Serahkan pada yang lain, maka usai menjadi Presiden saat itu mungkin akan lebih indah ketimbang ‘barangkali’ pada 2014 nanti. Saya sebagai pribadi juga menganggap ia selama ini tidak memperoleh bantuan maksimal dari para pembantunya. Ia tidak pandai memilih para pemikir senior yang sewajarnya mendampinginya dari hari ke hari. Saya sungguh ‘keringetan’ ketika melihat Andi Malarangeng mondar-mandir di Istana dengan gagahnya. Saya sudah punya pikiran yang tidak enak.., apakah Andi termasuk salah satu tim pemikir SBY saat itu? Soal usia sesungguhnya tidak soal, namun adakalanya kita berpikir para senior yang matang, yang lebih jauh berpengalaman, adalah orang-orang yang tepat berada di dekat-dekatnya selalu.

Saya ingat bang Buyung Nasution berkata bahwa banyak usulannya tidak digubris oleh SBY. Juga almarhum Ali Alatas sempat mengatakan pada saya saat mengobrol di sebuah pesta pernikahan, bahwa ia heran sekali berbagai opini, usulan lisan kepada SBY bagai hilang senyap tanpa dilaksanakan. Dan saya bertanya, “Lalu siapa yang ia dengar, sesungguhnya pak?” Ali Alatas hanya menggerakkan bahunya, sambil menggelengkan kepala.

Modal hati baik sebenarnya adalah aset terbesar. Saya mencoba selalu tidak percaya tentang kebohongan-kebohongan SBY yang acapkali dituturkan lewat media. Mulai dari awal ia masuk dalam pendidikan ketentaraan yang dianggap memalsukan data, hingga soal Century. Apakah ia memang sekonyol itu? Saya masih meyakini SBY memiliki rasa baik hati yang cukup besar.

SBY yang memberikan teh panas manis… SBY yang menegur santun saya bila bertemu di mana-mana, SBY yang mengejar saya khusus turun dari bis di Palembang…, duh…. , semua seakan-akan menari-nari di pelupuk mata saya. Semoga juga masih mendekam di hatinya, bahwa bila siapapun maupun saya mengkritiknya, bukankah itu pertanda sayang? Pertanda masih ingin melihat orang lain memperbaiki yang dianggap kurang proper? Paling tidak, itu yang ada pada alam pikiran saya. Bila berkenan menerima saran, usul, kritik pedas sekalipun, sebagai seorang pemimpin, adalah suatu kehebatan tersendiri karena ia tentu dianggap memiliki jiwa kesatria yang seluas samudra.

One comment

  1. Memang manusia sering lupa daratan,tidak sadar,karena jiwa sudah dikuasai nafsu jahat
    ,tidsk bisa lagi brrpikir jernih,semua jang bsik disalahtafdirkan,semua saran2 orang2 yang
    sahabat atsu yang baik dianggap sesuatu malah salah dan malah ingin menjerumuskan,
    karena sudah termakan dan dikuasai oleh jiwa yang sesat.
    ini benar2 ujian seseorang apakah dia benar2 seseorang pemimpin atau hanya boneka
    yang dipimpin ,oleh penjilat2 ysng mengelilinginya !
    kesimpulanya : SBY BUKAN SEORANG PEMIMPIN DAN BUKAN SEORANG NEGARAWAN !

Comments are closed.