Katakanlah Terima Kasih !

Aku berhadapan dengan seorang perempuan renta. Ia kini terbaring di tempat tidur tiada daya. Hanya berdiam diri, tidak rewel, serta tetap cantik. Seorang Ibu dengan tiga anak, super kaya raya dan memiliki usaha besar sejak tahun ’50 an hingga kini. Tanpa henti, tanpa mengalami kebangkrutan.

Tentu saja kini bukanlah dia lagi yang menjalankan perusahaan. Suami sudah lama wafat, dan tampik kekuasaan perusahaan berada pada anak-anaknya. Dan dalam kepikunannya, ia masih sering mengingat waktunya rapat, menandatangani surat-surat, dan penjualan produk yang dihasilkan di pabriknya.

Ibu tua ini masih dicat rambutnya, hingga warna hitam legam menghiasi kerutan wajahnya. Cincin emas, gelang emas serta kalung mutiara tetap terpajang di tubuhnya. Bahkan pemerah kuku masih teratur melekat cantik.

Waktunya makan ia dipapah atau didorong dengan kursi roda oleh beberapa pembantunya yang setia. Menghadap ke kolam renang yang indah, ia menikmati hidangan dari piring porselen Cina dan sendok perak mewah. Menuju meja makan, ia bergumam kepada para pembantunya, “Terima kasih” …. hingga sampai di meja. Setelah dilayani, disuapi, diberi minuman, ia kembali berucap, “Terima kasih ya”.

Saya terkenang cerita puluhan tahun silam. Sejak balita saya lebih sering hidup di rumahnya yang megah. Ia adalah kakak ayah saya tertua. Rumahnya besar sekali dengan halaman yang juga luas. Saya beserta putranya leluasa main sepeda dari ujung ke ujung halaman. Sore baru saya dijemput ayah ibu untuk pulang. Mandi sore tak lupa di rumahnya dulu. Berpamitan tanpa mengucapkan terima kasih? Ia akan mendelikkan matanya. Perempuan pengusaha sukses itu sangat terukur. Sangat berdisiplin dan cermat, hingga kadang para pegawai maupun kerabat menganggapnya ‘angker’, galak, dan bagai tentara yang penuh dengan segala aturan.

Suatu ketika ia pergi keliling Eropa bersama suaminya. Ketiga anaknya tidak ikut, karena ini adalah kunjungan kerja. Sebelum berangkat, saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar dimintai tolong untuk menggantungkan mantel winternya. Saya ikat agar tak lepas di gantungan yang tersedia di pesawat udara. “Terima kasih Linda…, mantelnya rapi deh”, katanya. Rasanya saat itu saya bangga sekali karena hasil kerja saya dihargai olehnya. Selalu saja ucapan ‘terima kasih’ menjadi menu utama sehari-hari dalam kehidupannya, yang akhirnya menjadi hal yang utama dalam kehidupan keluarga besar kami.

Sepulangnya dari luar negeri, kami duduk mengelilingi kopernya. Oleh-oleh dibagikan. Mata kami terbelalak karena selain aroma ‘luar negeri’ yang harum muncul dari dalam koper, juga isinya sungguh menggiurkan. Namun saya sempat kecewa oleh-oleh bagian saya tidak ada, karena rupanya koper yang lain belum datang dari bandara. Entah bagaimana sistem zaman bandara Kemayoran saat itu.

Beberapa hari kemudian datang kiriman sekeranjang ke rumah. Ayah ibu dapat oleh-oleh, adik-adik juga. Saya dapat bola karet yang bagus sekali buatan Jerman, kaos kaki warna-warni, rok lebar serta sepatu kulit. Tentu saja saya gembira sekali.

Tak lama setelah itu, saya kembali berada di rumah megahnya lagi. Untuk bermain sekaligus biasanya membuat pekerjaan rumah tugas dari sekolah. Baju dipakai, sepatu dipakai, bola dipakai untuk dimainkan di halamannya yang super besar itu. Ia mengamati saya dari jauh, dan menatap tajam. Saya dengan santai berlari-lari di dekatnya. Lalu katanya, “Linda punya semua ini, baru ya?” Saya mengangguk. “Linda tahu ini dari mana?” “Dari Ibu, oleh-oleh dari Jerman,” jawab saya santai. Saya memang memanggilnya ‘ibu’ sejak kecil, karena sudah seperti ibu sendiri.

Lalu katanya lagi panjang lebar, “Begini ya Linda, meskipun kamu masih anak kecil, tapi kamu harus belajar kesopanan. Tidak boleh sedikitpun lupa untuk bilang terima kasih kalau dikasih apapun sama siapapun. Kenapa Linda tidak bilang terima kasih ke ibu atau ayah, setelah menerima semua ini? Mau suka atau tidak suka pada pemberian orang, harus tetap bilang terima kasih. Itu namanya orang yang tahu adat! Jangan sampai tidak tahu adat sampai kamu tua nanti lho…!”

Saya terkejut. Takut. Malu. Menyesal. “Iya bu… terima kasih yaaa.. saya lupa bu….”, kata saya gemetaran. Duh si Ibu ini galak amat siiiih! Saya betul-betul malu dan terpukul sekali. Saya juga menyesal karena takut dikiranya ayah dan ibu saya di rumah tidak pernah mengajari saya kesopanan, sehingga orang menganggap saya tidak tahu diri dan tidak tahu adat…. duh !!

Saya kembali mengingat perempuan uzur itu. Kekayaannya tak pernah hilang dari tubuhnya. Benda-benda mewah, juga kecermatannya. Pembantu mengambilkan handuk ke tempat tidurnya, ia berkata. “Terima kasih bik..”. Diambilkan gelas, didorong kursi rodanya, dimandikan, maupun bila anaknya memainkan piano untuknya, ia otomatis berdesis, “Terima kasih….”

Peristiwa masa kecil saya ditegur serupa dulu itu olehnya, sungguh membekas sampai usia saya melebihi separuh abad ini. Saya pun seringkali menasihati anak, maupun orang-orang terdekat saya apabila lupa berucap kata yang sangat sederhana dan singkat itu. Saya pun sering berupaya untuk mencubit diri sendiri, jangan sampai lupa berterimakasih kepada orang-orang yang sudah berbaik hati kepada saya dalam bentuk apapun. Hingga akhirnya, saya baca malam ini soal seorang ketua partai mengeluhkan adab seorang pejabat yang telah diandalkan posisinya tahun silam olehnya, dan tidak sepotong kalimatpun ia berucap ‘terima kasih’ manakala sudah berhasil duduk dalam singgasana hebatnya.

Saya paham betul walau kita telah memberi, tak perlu berharap balasan. Kalau perlu, tak usah menanti orang mengucapkan kata ‘terima kasih’. Tapi kalau situasi di balik, kita yang diberi sesuatu, barang atau kemudahan, kesempatan atau kepercayaan, sebaiknya memang kitalah yang berinisiatif serta menyentil diri sendiri untuk tahu diri, tahu adat, hingga kata ‘terima kasih’ bisa dengan sendirinya meluncur dari tuturan kata kita….., sebelum kita dicemooh orang. Dan, lagi-lagi, jangan sampai dianggap sebagai orang yang tidak tahu adat. Apalagi kalau sudah makin berumur. Malu ‘kan??!

3 comments

Comments are closed.