Tukang bangunanku namanya si Sabar. Sudah hampir tiga minggu ia berada di rumahku. Membetulkan kamar yang bocor amburadul, memoles teras belakang yang sudah seperti monster butut, hingga lemari piring yang pintu-pintunya sudah mulai ngadat.
Sabar bekerja bersama anaknya. Dia boss, anaknya jadi kenek. Selama bulan puasa berjalan, Sabar dan anaknya tetap berpuasa. Mengerok tembok berjam-jam, memakai topi agar tak kepanasan ketika mulai bekerja di halaman belakang, dan keringat peluhnya ke mana-mana. “Kamu tetap puasa Bar?’, tanyaku. “Iya bu… sayang dong kalau nggak puasa. Berat sih berat nih sembari kerja begini, tapi kok ya bisa aja bu.., tau-tau sudah hampir bedug maghrib,” jawabnya sembari nyengar-nyengir. Aku bertambah kagum padanya. Rakyat kecil yang tabah, gigih, dan memang sesuai dengan namanya : Sabar.
Lalu aku mengulang-ulang kata itu, sabar…sabar.. sabar…
Duh, betapa kita sering tidak sabar menghadapi sesuatu. Jalanan super macet dan kita terjebak di mobil berAC masih juga mengomel panjang pendek. Tak ada kesabaran untuk menunggu barang sejenak. Padahal, di kiri-kanan kita juga mengalami hal yang sama, terutama orang-orang yang duduk di kopaja, di bis dengan berdiri bergelantungan. Sabar pula mereka yang menanti tak kunjung datang bis-bis yang datang ke halte di pinggir jalan. Kita sering tak sabar melihat pembantu rumah tangga kita bekerja lamban ataupun melihat presiden kita yang sering juga lamban dalam mengambil keputusan. Kita tak sabar menunggu bedug maghrib untuk berbuka puasa berbunyi. Kita tak sabar melihat anak kita yang bandel, ataupun untuk antre masuk pintu lift sekalipun — yang di dalam belum keluar, kita sudah ingin nyondol masuk ke dalam lift. Kita juga gregetan menunggu antrian salaman di pesta kawin dan rasanya ingin nyerobot saja ke depan sebagaimana yang selalu dilakukan secara istimewa terhadap tamu-tamu terhormat lainnya.
Banyak sekali ketidaksabaran yang kita lakukan tanpa kita mencubit diri sendiri. Tanpa malu dan tanpa kesadaran bahwa hidup kita masih jauh lebih beruntung ketimbang orang lain. Kita ingin yang serba instan, tanpa proses, menduduki posisi jabatan sesegera mungkin menjulang tinggi.
Diam-diam kuamati tangan si Sabar, si tukang cat. Dengan busana kaos belepotan cat, ia memoles tembok dengan rapi dan cermat sekali. Ia pun menjalankan pekerjaanya melalui sebuah proses panjang. Tak mungkin tembok langsung ditimpa cat baru. Harus ada pengerokan lebih dahulu, dibersihkan satu persatu, dan pemilihan bidang tembok yang tidak rata dibetulkan pula lebih dahulu. Semua dengan proses. Duh, andaikan pak Gubernur kita menyadari penuh tanggungjawab janjinya serta menikmati posisi tingginya sebagai gubernur, menjadi orang yang sabar untuk menunggu saatnya tiba untuk meraih kedudukan yang jauh lebih tinggi lagi dengan gemilang…, suasana di negeri ini tak akan gemuruh seperti sekarang ini. Ramadhan kali ini sungguh penuh dengan embun gelap sejak dini hari hingga bulan yang bersinar redup mengawali malam. Kalau cerita awal dimulai berbeda dan penuh cinta kasih, tentu tak ada pertikaian antara suami istri, ibu dan anak, tetangga, persahabatan kiri kanan, hingga hubungan kekeluargaan yang indah, hanya gara-gara cinta buta dalam menentukan jagoannya. Betapa sabar itu memang indah, sesungguhnya……