Manusia hidup berproses. Dari zero hingga hero. Dari titik nol hingga besar. Ada pula yang ambruk seketika maupun pelahan. Semua bergantung dari nasib, ikhtiar, kerja keras, dan niat baik. Banyak pengusaha mengalami hal seperti ini, di mana-mana.
Begitu pula dengan jamu Sido Muncul. Ibu Rakhmat Sulistyo pemilik pertama merk dagang Sido Muncul memunculkan usaha jamu ini di tahun 1951. Usaha yang pas-pasan puluhan tahun lalu sempat menanggung utang besar ketika Irwan Hidayat (kelahiran Jogjakarta tahun 1947) sang cucu ibu Rakhmat bersama empat orang adiknya sebagai generasi ketiga Sido Muncul memperoleh warisan perusahaan itu. Sebelumnya, Irwan memang menjadi cucu tercinta neneknya. Saat clash ke II tahun 1949, dekapan kasih sayang ibu Rakhmat tak lepas pada Irwan. Mereka hijrah dari Jogjakarta menuju Semarang. Maka dua tahun setelah itulah, foto sang cucu bersama neneknya menjadi logo perusahaan Sido Muncul.
Upaya memajukan perusahaan, setelah berganti generasi itu begitu keras. Irwan, pada tahun 1997 berhasil membuat Sido Muncul menciptakan pabrik jamu modern yang memiliki standar dengan laboratorium farmasi. Di atas tanah seluas 32 hektar ia membangun pabrik jamu sebesar tujuh hektar khusus memenuhi standar itu. “Saya hanya selalu berpikir dan memiliki tekad, industri jamu harus maju, harus membuat bangsa ini hebat karena jamu memberikan banyak manfaat,” ujarnya.
Dari zero menjadi hero dilalui Irwan dengan gigih.Ia memperoleh sertifikat yang biasa diterima oleh industri farmasi, yaitu CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) , yang biasanya untuk industri jamu hanya sebatas CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik).
Tantangan untuk maju berlanjut. Penghargaan diperoleh dan pabrik semakin giat memproduksi lebih dari 150 jenis produk yang bermerek dan generik seperti Tolak Angin yang laris sekali, Kuku Bima, Kunyit Asem, jamu instan dan yang terakhir akan diproduksi jamu khusus untuk sakit mag, ternyata tetap memiliki sandungan tersendiri. Kali ini dari urusan pembuangan limbah. Dan membuat Irwan, sebagai Direktur Utama plus pemilik PT Sido Muncul, bingung.
Masalahnya, minggu lalu datanglah Komisi C dari DPRD Kabupaten Semarang untuk meninjau pabrik. Bersama orang LSM, plus wartawan. Atas pengecekan, disimpulkan bahwa PT Sido Muncul tidak bagus dalam pengolahan limbahnya. Air limbah dibuang ke sungai Klampok serampangan sehingga tentu saja menimbulkan pencemaran. Juga kutipan dari Direktur Eksekutif WALHI (Wahana Lingungan Hidup Indonesia) Jawa Tengah Indrianingrum Fitri yang menyatakan bahwa jangan setelah menerima CSR (Corporate Social Responsibility) lalu menjadi diam. Lalu berita yang berkaitan ditulislah di berbagai media.
“Saya hampir tiap tahun adalan nominasi Kalpataru untuk urusan lingkungan. Kok malah dituduh serupa itu?,” ujar Irwan Hidayat, yang tengah berkumpul dengan beberapa anggota keluarganya di suatu tempat, hari Sabtu 17 Januari 2015 di Jakarta. Oleh sebab itu, atas dasar hasil pemeriksaan, ia mempersilakan limbah pabriknya diaudit lengkap oleh pihak berwenang. “Saya bersedia dicek oleh BLH (Badan Lingkungan Hidup) atau KLH (Kementrian Lingkungan Hidup),” katanya lagi. Lagipula, menurutnya, ada delapan perusahaan di seputar kawasan pabriknya. “Apakah mereka sudah dicek juga pengelolaan air limbahnya?”. Selebihnya, ia juga menyayangkan soal tuduhan CSR. “Hukum positif dan opini adalah persepsi yang harus diciptakan. Maka saya termasuk yang melakukan CSR, tapi sama sekali tidak ada niatan dari CSR saya untuk menutup mulut orang. CSR tidak ada hubungannya dengan aturan yang harus ditegakkan”.
Irwan, yang amat rajin berupaya tiap tahun menyediakan transportasi gratis bagi ribuan pembantu rumah tangga Ibukota mudik, mulai menceritakan secara runtun upaya pembersihan lingungan itu. “Saya adalah orang yang sangat mencintai lingkungan. Upaya apapun akan saya kerjakan demi hal itu,” katanya tegas. Ceritanya, tahun 2011 ada usulan bahwa PT Sido Muncul akan dinilai. Tentu saja Irwan senang. Tetapi ternyata penilaian yang dikenakan adalah hitam, sebagai tanda pencemaran lingkungan pada suatu pabrik tertentu. Usut punya usut, ternyata kesalahan memang terletak pada dapurnya sendiri. Ada beberapa manajer lingkungan perusahaan yang tidak bekerja sebagaimana mestinya tanpa sepengetahuannya. “Hal-hal yang seharusnya dikerjakan, tidak dikerjakan,” ujar Irwan.
Lalu, dengan segera Irwan pada tahun 2011 membuat IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang cukup besar. Tahun 2012 selesai, dengan biaya sebesar Rp 35 Milyar yang dikerjakan sepanjang hari. Kapasitas terbangun adalah tiga kali dari produksi, yang menurut Irwan memang disengaja agar bila produksi makin berkembang, IPAL masih bisa menampung secara baik. Akibatnya, tahun 2012 itulah perusahaan memperoleh penilaian biru. “Itu adalah prestasi besar, karena biasanya dari hitam harus merah dulu baru menjadi warna biru,” katanya.
Dengan kejadian berulang soal tuduhan pencemaran lingkungan, Irwan tampaknya sudah tak sabar lagi. IPAL baru sesungguhnya tak membuat pencemaran, sebab Irwan setelah mengalami sabotase pipanya dipecah tahun 2013 oleh orang-orang tertentu, maka ia mulai memasang kamera tersembunyi di segala sisi. Pipa limbah diekspos, dibuat khusus di atas agar mudah terlihat, dan dicat warna coklat. “Dengan demikian bisa terlihat bila ada yang melakukan sabotase,” kata Irwan. Biasanya, untuk jamu tolak angin saja misalnya, pembersihan limbah mulai setelah tujuh jam kerja , setiap hari. Sekarang, ia mengaturnya seminggu sekalidibersihkan agar IPAL bekerja lebih enteng. “Ingat ya, saya belum pernah buang limbah padat ke luar pabrik,” katanya tegas.
Dengan kesimpulan komisi C DPRD, BLH (Badan Lingkungan Hidup), orang LSM serta wartawan dengan pemberitaannya, Irwan nampaknya sungguh kecewa. “Mana mungkin sih pemeriksaan limbah di pabrik saya sehari bisa selesai, dan langsung beropini? Lagipula, dilakukan pemeriksaan truk tangki dan dicurigai kotor. Lha itu memang untuk pembuangan kok, tangki disiapkan kalau pompa tidak memadai, dengan tangki dituang ke IPAL.”
Ada pula dugaan bahwa karena pabrik adanya di tengah sungai dan yang melewati jalan ditutup dengan berbagai gorong-gorong agar jembatan tidak terganggu, air limbah pun dicurigai dibuang ke tempat itu. “Bagaimana mungkin saya lakukan itu? Saya pecinta lingkungan, dan menghargai konsumen saya dan empat ribu karyawan saya sendiri,” katanyaa. Ia juga menyangkal tegas ada keinginan berkongkalikong dengan karyawannya. “Bangun IPAL Rp 35 Milyar kok kongkalikong dengan karyawan? Mereka malah prihatin dengan kejadian yang saya alami ini. Mereka rata-rata sudah bekerja 20 tahun, dan saya bilang, kita harus lolos dari ujian ini”.
Irwan ingin sekali perusahaannya diaudit tiap bulan oleh BLH atau pun KLH dengan biaya dari perusahaan. “Tapi itu kan tidak mungkin karena tidak ada aturan itu. Setor uang harus ke bendahara negara kan?,” katanya. Dan idenya adalah, pemerintah menunjuk pengawas atau konsultan yang bisa mengaudit perusahaan dan melapor kepada pemerintah tiap dua atau tiga bulan sekali. Apapun, ia berharap kerjasama dengan pemerintah tidak hilang begitu saja. Kalau ada kesalahan terjadi di tempatnya, bisa langsung diketahui. “Kami ingin diperiksa baik-baik, lalu penjelasan kami juga didengar secara baik-baik.”
Irwan, yang produksinya sudah tembus ke luar negeri, dan selalu turun ke lapangan di pabriknya maupun terjun langsung ke pasar, ke agen serta pemilik kios dan mbok bakul jamu gendong itu menganggap yang terpenting urusannya kini pada pemerintah. Lagi-lagi, berkali-kali ia berkata agar bisa diaudit tiap dua atau tiga bulan sekali dilakukan oleh konsultan ahli. “Agar tidak terjadi kesalahpahaman. Dan agar saya tidak dibuat bingung..,” ujar Irwan Hidayat, yang mengaku meproduksi jamu untuk kesehatan bukan sama sekali untuk membuat orang menjadi tak sehat dari pencemaran lingkungan hasil produksinya.