Hampir Saja Sita Tidak Berkurban…

Suara azan maghrib,  lalu azan isya, berkumandang beberapa jam berturut-turut.  Dari dapur terdengar jelas. Sita di depan kompor.  Tempe mendoan di atas wajan, dan tumis kangkung campur terasi.  Usai sholat ia ke dapur lagi memang. Menyelesaikan urusan dapur.  Hatinya teriris. Air mata menggenang mengaburkan pandangan gorengan tempe yang terendam minyak.  Jemarinya menghapus pelan-pelan.

Sita bingung. Rasanya baru kali ini terasa berat sekali berqurban. Uang bersisa tinggal menipis. Rekening listrik, telepon, membeli beras, belum lagi membayar si Dul tukang sampah yang masih belum dilunasi.  Adakah pengertian dari Tuhan, bahwa aku kali ini tak mampu mengeluarkan uang untuk membeli seekor kambing? – begitu kata hatinya.

Ia membayangkan pula kain-kain di atas kursi.  Beberapa temannya memberikan kain untuk dijahit seragam pengantinan putra putri mereka.  Bahan yang tidak begitu menyenangkan karena membayang tipis, belum lagi kain batik yang tampilannya kasar sekali. Semua harus dijahit, dengan ongkos sendiri. Duh, berarti mesti ada pengeluaran ekstra untuk merogoh kocek. Sita kembali pusing. Sesungguhnya ia geram melihat adab orang-orang zaman kini. Memeriahkan pesta pernikahan bisa ratusan juta rupiah bahkan sampai milyar-milyar ongkosnya. Namun tetap saja membebankan panitia yang harus menjadi pagar ayu, pagar bagus dan lain sebagainya. Kain diberikan untuk seragam, biaya jahitan ditanggung sendiri.  Untuk yang berkelebihan uang tentu hal ini tidak menjadi soal. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang hidup pas-pasan hanya untuk makan, kebutuhan primer dan urusan anak sekolah?  Mau menolak, tidak enak hati. Mau menjahitkan, tentu keluar uang ekstra lagi, untuk kebaya seragaman yang hanya dipakai sekali.

Sita mengusap kepalanya. Kembali ia mendengar gema di mesjid seberang.  Begitu meriahnya. Indah. Dan seakan-akan semua itu adalah suara Tuhan. Besok lebaran haji. Besok kaum duafa menikmati daging dengan lezatnya. Kambing-kambing dari Jawa siap dipotong.  Hatinya kecut. Paling murah, menurut tukang ojek kemarin, harga kambing Rp 1 juta rupiah. Ya Allah…, darimana Sita, seorang janda beranak tiga ini bisa berqurban.  Uang itu ada, yang disiapkan untuk membayar asuransi  sepeda motor putranya, yang masih kuliah. Bagaimana bila uang itu dipakai dulu?  Mungkinkah?

Qurban adalah berkorban. Mengalah. Ikhlas. Pasrah.  Begitu bisikan hatinya menjalar. Sita perlahan menuju kamar tidurnya. Laci lemari dibuka. Lembaran uang ratusan ribu ada sepuluh. Satu juta rupiah untuk membeli kambing. Urusan asuransi sepeda motor, membayar tukang sampah, akan ia pasrahkan saja bagaimana nanti. Urusan menjahit baju seragam pengantinan, itu urusan kemewahan yang harus diabaikan. Buat apa sok kaya bila memang belum mampu ke arah sana?

Air matanya menetes. Uang digenggam. Malam-malam ia panggil tukang ojek di ujung jalan.  Kambing dibeli di dekat mesjid,  dengan hati berbunga-bunga. Tak perlu menawar lagi karena keikhlasan jauh lebih penting. Sita menarik nafas panjang, sepanjang harapannya untuk selalu bergantung rizkinya kepada Ilahi. Bagaimana nanti…., Tuhan pasti mengurus segala sesuatunya.  Selamat menikmati makanan lezat hai kaum duafa….. selamat tinggal baju seragaman pengantinan yang terlalu mengada-ada dan berbau jor-joran itu.  Hampir saja Sita tidak berqurban……. hampir saja……!

Fortunately for teachers, baseball is i was reading this a great way to get students excited about learning, and as with any sport with tons of statistics, baseball is a wonderful subject to work into math lessons.

10 comments

  1. Salam kenal ibu, semasa kecil dulu saya sering ‘melihat’ nama ibu di majalah Tempo milik ortu yang rutin saya buka-buka. Baru ngeh sekarang kalo Linda Djalil yang di Tempo itu ternyata orang yang sama dengan Linda Djalil yang sering disebut berkaitan dengan Angie… Wah…senang sekali sekarang saya bisa menikmati tulisan2 ibu di sini…baru sekarang berkesempatan untuk blog walking.. Tetap semangat menulis ya bu… Menulis dengan hati juga akan ‘sampai’ ke hati… Semoga rahmat Allah selalu tercurah untuk ibu..

  2. Assalamualaikum.
    Salam kenal Bu Linda, sungguh saya merasa senang membaca tulisan-tulisan Bu Linda, Tanpa sengaja, pagi tadi sebelum kerja saya menemukan blog ini, awalnya hanya tentang ulasan AS, tapi karena penasaran, selesai sholat magrib saya lanjutkan membaca sampai hampir jam 10 malam. Saya merasa beruntung bisa membaca tulisan-tulisan Bu Linda…ijin menceritakan ulang kisah-kisah inspiratif untuk anak-anak didik saya ya Bu. Terima kasih

  3. Asslm ww, slm kenal mbak Linda, sama spt ibu Reviana, tdnya sy penasaran pingin baca sentilan mbak buat si “Mrs Apel”…krn spt juga para pemirsa Dan pembaca, aku jg kyknya dah eneg disuguhi drama Dan novel ttg dia…tp akhirnya tertarik baca semua tulisan mbak..Dan wow…!!! Sgt menyenangkan, ..ngga Ada yg lwt lho,…

  4. Hampir saja kejadian dengan saya bu Linda. Insya Allah di ganti oleh Allah lebih. Bisa besok, tahun depan, atau ketika masa tua kita nanti.

  5. Ass…awalnya buka blog mbak linda cuma buat baca ‘sentilan’ mbak linda buat AS. Tapi koq akhirnya malah tertarik baca tulisan2 mbak yang lain. Senang bisa mampir dan membaca tulisan2 mbak yang ringan dan mudah dimengerti,khususnya buat ibu rumah tangga seperti saya ini =)

Comments are closed.