Itulah janji Maroef Sjamsoeddin, sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia yang baru. “Tak ada militerisme di Freeport!,” katanya. Kalimat meluncur dengan tegas dari lelaki yang masa terakhir jabatannya adalah Marsekal Muda TNI Angkatan Udara Republik Indonesia, sebagai Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) periode 2011-2014.
Sang purnawirawan ini cukup paham setelah namanya dimunculkan oleh para pemegang saham Freeport,maka seketika banyak pegawai, buruh maupun kepala suku meributkannya. Masalahnya, belum pernah selama ini seorang Presiden Direktur Freeport dari kalangan tentara. Selebihnya, penembakan beberapa kali terhadap buruh dalam tahun-tahun terakhir ini juga meresahkan. Bahkan anggota Brimob Detasemen B Polda Papua, Briptu Ronald Sopamena pun menjadi korban tembak dengan kelompok bersenjata yang tak di kenal, di kawasan hutan Kali Kopi, Timika. Dalam kurun waktu 2009 hingga tiga tahun sebelum tahun 2015 ini saja tercatat 15 orang tewas, plus 50 an orang terluka karena penembakan di kawasan PT Freeport Indonesia di Mimika, Papua. Ditambah lagi, pembunuhan di Banti bulan lalu,yang menyebabkan dua orang Brimob tewas, dianggap sangat meresahkan.
Kekerasan yang dialami kaum pekerja di Freeport menimbulkan ketidaknyamanan bila seorang tentara, maupun pensiunan tentara menjadi pemimpin perusahaan besar dan bernilai itu. Banyak yang meragukan latar belakang Maroef dan kemiliterannya yang mungkin saja dikembangkan di tambang emas dan tembaga itu.
Belum lagi mereka tak akan lupa adanya kekerasan pada tahun 2011 silam, yang membuat perusahaan berhenti berproduksi selama tiga minggu. Bisa dibayangkan kerugian yang diterima saat itu. Tanpa produksi, sebesar tujuh juta dolar tiap hari lenyap. Lalu, siapa yang menengahinya pada waktu itu? Ternyata Maroef Sjamsoeddin.
Setelah berkoordinasi dan rapat terpadu dengan Menkopolhukam, Panglima TNI, dan Kapolri, Maroef yang saat itu menjadi Wakil Kepala BIN ditugaskan untuk menghampiri keributan dan berdialog secara baik-baik. Berita tak pernah keluar di media manapun dan masyarakat di luar Papua tak pernah tahu bahwa saat itu seorang Wakabin yang membereskannya. Caranya? “Komunikasi,” ujar Maroef, ayah dua anak itu dengan tegas. Saat kejadian 2011 Maroef menuju lokasi, ia berhari-hari tidak ingin makan di kantor. Ditemuinya para penduduk, pegawai, buruh lain yang mogok, di warung-warung pinggir jalan. Ia melakukan komunikasi yang jitu dengan pendekatan yang sangat jauh dari cara-cara militer. Padahal, Maroef saat itu adalah jenderal bintang dua,serta masih menjadi militer aktif. Urusan pekerjaan hingga katering, kesehatan, dan fasilitas lain menjadi bahan pokok pembicaraan yang hangat antar Maroef dan para pegawai.
Sebelum Maroef memperoleh kursi (meski sudah ditetapkan menjadi Presdir Freeport) pada 2015 ini, ia mengundang beberapa puluh orang pegawai, buruh, kaum adat ke Jakarta, hari Kamis dan Jumat minggu lalu. Kamis siang, Kamis malam, dan Jumat sore adalah pertemuan yang dilakukan oleh Maroef dengan orang-orang yang berbeda. Tamu golongan pertama sebanyak kurang lebih 35 orang adalah ‘garis keras’.
Semula Maroef yang bergelar Master of Business Administration dari Jakarta Institue Management Studies ini menerangkan bahwa kehadirannya kelak di tempat yang sangat jauh dan berjaya itu untuk mengoptimalkan hubungan baik. “Operasional Freeport harus memiliki manfaat. Sumber daya alam dieksplorasi kepada masyarakat setempat. Pembangunan Papua secara utuh, dari sisi kesejahteraan pendidikan, kesehatan. Nanti akan dikembangkan pengolahan operasional tambang, underground mining, yang terbesar di dunia. Dan semua harus menjadi nilai tambah bagi bangsa dan negara kita”.
Selebihnya, orang-orang yang mempertanyakan soal militerisme yang akan diterapkan Maroef,ia malah balik bertanya. “Bukankah dari bapak-bapak ini dulu tahun 2011 ada juga yang sudah pernah berkomunikasi dengan saya? Kita duduk bersama di warung-warung, Dan tahu bagaimana cara saya menangani kerusuhan pemogokan itu? Adakah cara militer yang saya lakukan? “. Mereka pun terdiam serta membuka memorinya kembali. Seorang Ibu sebagai Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua, asli Timika, termasuk yang sebelumnya cukup keras mempertanyakan sikap Maroef ke depan. Urusannya sama , meragukan kapasitas. Ada lagi yang menuntut janji. “Saya tidak berjanji yang lain sebab saya belum duduk di sana. Tetapi asal diingat, saya tidak pernah melamar ke Freeport tapi saya ditunjuk. Kepercayaan itulah yang akan saya manfaatkan betul untuk memberi nilai yang bermanfaat kepada pertambangan dan rakyat”, katanya lagi.
Tamu Maroef juga mempersoalkan soal kesehatan, pendidikan dan rasa aman. Mereka menyalahkan manajemen , soal cuti dan pesawat udara yang seharusnya bisa dipakai pula untuk mengangkut mereka. Maroef, tentu saja mencatat semua sebagai bahan kerja dia kelak. “Tidak mungkin pemerintah Indonesia menggelar kekuatannya, kalau tidak ada suatu potensi ancaman dan gangguan,” jawabnya kepada para tamu.
Ia juga mengingatkan bahwa masih banyak orang-orang yang memakai senjata secara liar dan ilegal. Maroef membujuk, “Cobalah kita ajak mereka, untuk apalagi bawa senjata? Mari kita bangun bersama, meski masih ada OPM secara politik dan militer di situ. Saya yakin bapak-bapak tokoh agama, pendeta, tokoh adat, kenal dengan saudara-saudara kita yang masih punya pemikiran seperti itu. Mari kita siap bertemu, dan saya akan senang kalau bapak-bapak nanti bisa antar saya kepada mereka”.
Tamu-tamu di antaranya adalah pimpinan Serikat Pekerja Kabupaten Mimika. Maroef menjawab pertanyaan yang sama dari tamu-tamu yang terdiri dari para tetua dan tokoh adat suku Amome dan Komoro.
Entah karena dibicarakan secara terbuka dan baik-baik di Jakarta, maka ketiga pertemuan berakhir dengan baik. Mereka memahami dan berjanji akan bekerjasama secara baik di Freeport. Maroef pun kembali mengingatkan, “Saya optimis sepanjang kita mau bersama-sama. Apa artinya seorang Presdir tanpa kalian, tapi apa artinya juga kalian tanpa saya. Maka itu kita harus sama-sama. Dan ingat, tidak ada pengelompokan, pengkotakan lagi. Tidak ada yang eksklusif. Yang namanya Presdir hingga karyawan terbawah, semua namanya adalah karyawan PT Freeport Indonesia,” ujar Maroef, yang tidak begitu dikenal kiprah dan sepak terjangnya selama ini, sebab dunia intelijen yang menghabiskan waktu 2/3 dari karirnya, sesungguhnya memang tak membutuhkan publikasi terbuka.