Tak terbayang diajak ke makam menjelang pukul 24.00 malam. Hati saya ciut. Bagaimana rasanya? Ngeri tidak ya? Itu terjadi di kota Medan beberapa waktu lalu. Indri, anak bungsu dari almarhum TD Pardede dari sembilan bersaudara, beserta Arya suaminya mengajak saya ke tempat itu. “Ayo ke makam ayah dan ibu kami”, ujar Indri yang bertubuh langsing dan sangat serasi dandanannya itu.
Mobil meluncur ke halaman Rumah Sakit Herna di tengah kota. Berhenti di sisi kiri halaman, seorang satpam sigap berlari menuju ke arah mobil kami. Ada bangunan kecil di samping depan Rumah Sakit. Itulah makam yang dimaksud.
Rumah kecil yang sejuk dari dinginnya AC, harum bunga dari tebarannya di atas makam yang sudah berbentuk segi empat dari marmer, lampu kristal menyala di atas makam, foto-foto keluarga dan foto besar ‘penghuninya’, TD Pardede dan Hermina, membuat saya tercengang malam-malam. Seumur-umur belum pernah rasanya saya datang ke makam semacam ini. Bagai berada di ruang keluarga yang cantik. Suami istri itu seolah-olah tengah berada di dalam rumah, meski sesungguhnya mereka bersanding dalam kubur di dalam tanah dilindungi bangunan indah. Senyum di kulum sepasang kekasih ini menandakan mereka betul-betul bahagia masih bisa bersanding bersama, di alam yang lain.
TD Pardede, yang disebut dengan nama Pak Katua, memang bagai ada di mana-mana. Namanya yang harum di kalangan masyarakat Sumatra Utara, masih menjadi pembicaraan orang. Bahkan makamnya, mau tak mau pengunjung Rumah Sakit Herna akan selalu melaluinya. Itulah Pak Katua….
Saat sang istri mendahuluinya tahun 1982, ia begitu amat terpukul. Dengan segera berbagai asitek dikerahkan untuk membangun tempat pemakaman unik itu. Dalam waktu beberapa hari harus sudah jadi, dan semua terlaksana. Sang istri, yang menjadi penyemangat kreativitasnya dalam berbisnis sepanjang hidupnya, memang sungguh bermakna di mata Pak Katua.
Selain mengasuh kesembilan putra putrinya, Herminalah yang menjadi sumber inspirasi perbisnisan sang suami. “Bila ayah keras, Ibu menyambutnya dengan lembut hati. Begitu selalu,” ujar Indri mengenang.
Pernikahan mereka dulu, pada tahun 1937 berlangsung dalam usia muda. Gadis Hermina baru berusia 18 tahun dan sang kekasih 21 tahun. Pada saat itu, TD Pardede sudah memiliki penghasilan meski masih pas-pasan. Onak duri dalam perolehan rizki bukannya tak dialami mereka. Semua dilalui dengan ketabahan. Ia sempat membuka kedai tuak, berdagang kain dari kampung ke kampung, berjualan hasil bumi. Menurut Indri, pada zaman Jepang sang ayah menjadi pedagang gula Batak untuk daerah Tapanuli, yang tidak memiliki banyak saingan. “Pokoknya, jatuh bangun ayah selalu didampingi Ibu dengan kesabaran luar biasa,” ujar Indri lagi.
Wanginya bunga di ruangan pemakaman menandakan wanginya cinta mereka. Sepasang kekasih yang jatuh bangun bersama, kini berada di satu atap yang sama. Saya kembali menatap marmer mengkilap itu. Jasad yang menjadi kenangan indah bagi masyarakat sekitarnya, terlebih bagi anak-anaknya, dan kerabat dekat mereka……
” ….. I do my best and GOD will take the rest …………….”
Minggu minggu ini ( 4 Feb – 11 Feb 2012) topik yang mencuat utk tokoh MUNAFIK Angelina Sondakh dan Anas Urbanngrum…… jangan lupa ulas ya… aku sangat suka baca website ini yang keren, tajam dan enak dibaca… profesi menulis memang tidak pernah pensiun… Bravo.