Pada saat hari ketiga tahlilan di kediaman Moerdiono di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan, sebelum acara di mulai saya duduk di ruang keluarga. Sakum, pembantu setianya selama puluhan tahun berkata, “Ya di situlah bu Lin, Bapak selalu duduk. Tangannya menyender seperti itu, persis. Bantalan kursinya tetap di punggung,” ujarnya dengan sendu. Hati saya kelu. Seorang pria yang baru saja pergi, meninggalkan sejuta kisah dan setumpuk kenangan bagi banyak orang. Suka tidak suka, Moerdiono adalah seorang negarawan memang. Itu saya akui. Biarlah sisi lain kehidupannya banyak dibicarakan orang, itu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ia yang galak, disiplin, keras, gampang marah, tetapi juga mudah sekali menangis mengeluarkan air mata berlama-lama. Menurut salah satu staf terdekatnya, hanya segelintir orang saja yang pernah melihat dia menangis tanpa malu-malu. Ooops, apabila benar, saya mungkin termasuk dari yang segelintir itu.
Saya mencoba untuk mengingat kembali peristiwa apa yang membuatnya menangis di depan saya. Saat itu ada acara besar di Indonesia. Jakarta menjadi tempat untuk KTT GNB ( Gerakan Non Blok) pada tahun 1992. Nyaris seluruh kepala negara di dunia berkumpul. Pemerintah mempersiapkan acara sejak tahun sebelumnya dengan seksama. Moerdiono hampir selalu memimpin rapat. Jelang hari yang ditentukan, masih banyak hal-hal yang tidak beres. Moerdiono tak pernah tersenyum. Wajahnya tegang. Ia merasa, koordinasi terlalu buruk hasilnya, terutama dari kinerja orang-orang Departemen Luar Negeri. “Saya bingung, orang-orang Pejambon itu (deplu) kenapa tidak efisien sih kerjanya? Kesal saya,” ujarnya kepada saya, saat saya mengikutinya mondar-mandir di Balai Sidang Senayan.
Saya, sebagai wartawan yang ditugaskan meliput segala hal yang berkaitan dengan persiapan acara KTT GNB, harus tahu persis berapa kapasitas gedung, siapa saja yang akan datang, apa pokok masalah yang akan diungkap Presiden Suharto sebagai ketua GNB di depan berbagai kepala negara lain, sampai-sampai saya harus pula menulis soal daya listrik yang tersedia dan hidangan apa yang nantinya disuguhkan. Untuk urusan teknis, saya berhubungan dengan orang-orang Deplu dan Pemda DKI. Untuk urusan substansi acara, pidato dan lain-lain yang menjadi kebijakan pemerintah, tentu Moerdiono lah yang saya kejar setiap hari.
Berhubung saya sedikit banyak akhirnya tahu keadaan di lapangan, maka ada beberapa yang saya sampaikan ke Mensesneg yang satu ini. Suatu saat saya duduk berdua dengannya di meja kopi di Balai Sidang. Kata saya, “Pak, bendera di jalanan menuju bandara, dan ke luar bandara, belum lengkap lho. Masih ada negara lain yang benderanya belum terpasang”. Seketika Pak Moer naik darah. “Apa??Apaaaaa..? Ini gila! Hal kecil yang sangat rawan dan penting saja masih juga blo’on mereka lakukan!” Ketika ia masih mengomel panjang pendek, saya segera menghubungi staf gubernur, untuk segera memberitahu staf lapangan pemda DKI soal hal ini. Begitu saya memandang wajah Pak Moer lagi, dia sudah berurai air mata. Lha? Kaget saya setengah mati ! “Linda, saya kesal…. saya kesal sekali. Bagaimana mereka bisa kerja serampangan! Seperti tidak punya tanggungjawab. Sebetulnya mereka cinta nggak sih sama negeri ini, bangsa ini? Ini kan kehormatan kita di mata dunia. Kenapa mereka nggak bisa kerja sungguh-sungguh?” Sambil terisak-isak pak Moer berkata terbata-bata. Mukanya memerah menahan amarah yang amat sangat. Yang saya ingat betul, taplak meja dijadikan penghapus air matanya setelah itu. Saya menghubungi segera Pontjo Sutowo, yang mengelola Hotel Hilton dan pembangunan Balai Sidang JHCC itu. Kebetulan Pontjo berada di ruangan lain. Saya bingung harus menghadapi seorang menteri yang menangis serupa itu, sesunggukan, saya harus bagaimana? Lalu sambil meredakan tangisnya, pak Moer berkata, “Maaf ya Linda, saya kok jadi begini, nggak malu lagi nangis di depan wartawan seperti kamu ini. Maafkan saya sekali lagi!” . “Tidak apa-apa pak Moer. Ini manusiawi. Siapapun bisa mengalami hal ini. Saya malah berterimakasih bapak mempercayakan saya untuk selalu grecoki pekerjaan bapak, dan menangis di depan saya”. Ketika Pontjo tiba, sang menteri masih sibuk menghapus air matanya. Kami berdua terdiam menyaksikan semua itu.
Hati saya saat itu berkecamuk segala rupa. Betapa saya menyadari, di mata Tuhan semua manusia punya hak yang sama. Hak menangis, salah satunya. Yang berada di depan saya adalah seorang laki-laki bernama Moerdiono, yang sedang membuka jubah menterinya, melempar baju jabatannya. Ia adalah manusia biasa yang terdiri dari kecamuk rasa, mulai dari riang, kecewa, marah, sedih, duka, dan tanpa malu
Air mata seorang Moerdiono yang lain, sempat saya lihat ketika ia memanggil Rita, istri Dicky Iskandar Di Nata. Dicky saat itu sudah mendekam bertahun-tahun di penjara akibat kasus Bank Duta yang heboh itu, dan yang seharusnya keluar bebas tapi belum juga dibebaskan. Rita menghadap pak Moer di ruang kerja lebih kurang satu jam lamanya. Saya berada di luar ruangan. Begitu Rita keluar ruangan, bel di ruang ajudan berbunyi. “Ada Linda Djalil di situ? Kalau ada, tolong panggil ke dalam!”, begitu suara telefon yang diterima oleh staf. Saya pun masuk. Ya ampun, sang menteri sedang mengusap air matanya berkali-kali. “Pak Moer kenapa?”, tanya saya sambil duduk di seberang meja kerjanya. “Gila, Lin! Ada istri yang setia seperti itu. Terdiri dari apa ibu Rita itu hatinya? Mulia sekali dia. Saya betul-betul tidak tahan mendengar ceritanya”, ujar pak Moer sambil berkali-kali mencabut lembaran tisu dari meja kerjanya. Saya hanya beberapa menit di ruang kerjanya, sambil ‘tidak mau rugi’ untuk minta keterangan sebagai bahan tulisan saya kelak, bila Dicky dibebaskan. “Sudah, kamu boleh keluar. Saya lega sudah nangis begini di depan kamu saya tidak malu..!”, katanya lagi. Beberapa bulan setelah itu, berita di media pun muncul, Dicky keluar dari penjara.
Ketika Ibu Soebandrio, Ibu Latif dan Ibu Omar Dhani beserta anak-anaknya menghadap ke ruang kerja mensesneg dalam rangka pembebasan tahanan politik yang sudah berpuluh tahun di penjara ini, suasana sangat haru dan hening. Pak Moer berkata runtun dan menahan emosi luapan hatinya saat itu. Para ibu menangis bahagia. Saya sempat memotret suasana pertemuan itu di ruang kerja Pak Moer. Setelah mereka keluar, sang menteri meledaklah tangisnya. Ya Allah, orang yang doyan dangdutan dan kerapkali ditakuti , disegani bawahannya bahkan semua menteri Kabinet Pembangunan ini memang lemah hatinya, rontok air matanya di depan saya !
Sekali lagi, saya sedang mewawancarainya di ruang kerja. Dari balik mejanya, dia duduk dengan wajah murung. Tampaknya ia sudah merasa tidak akan dipilih lagi menjadi menteri. “Ada hal-hal yang pak Harto saya usulkan ini itu, dan Beliau tidak suka mendengarkannya. Ya sudahlah, saya pasrah saja”, ujarnya. Dengan usil, saya pancing emosinya, “Benar bapak bisa pasrah? Ikhlas? Lalu, bisa dibayangkan yang duduk di meja ini orang seperti apa?”. Tak sampai semenit, tangisnya meledak ! “Itulah yang saya pikirkan! Bayangkan, di kursi ini segala kebijakan negara, rahasia, semua ada! Sekali melenceng, tidak jujur, tidak pakai nurani, habislah negeri ini! Saya takut, bagaimana orang yang menggantikan saya nanti bisa bekerja. Bukan berarti saya paling baik, Bukan! Tapi saya memang seram sekali!” . Suaranya terisak-isak. Air mata tumpah tiada henti. Seperti yang sudah-sudah, saya hanya terpaku. Diam dan diam, duduk di seberang meja kerja. Inilah lelaki yang lagi-lagi menanggalkan rasa malunya, menyerah di depan seorang wartawan yang ia percayai, untuk ditumpahkan rasa duka, jengkel dan was-wasnya.
Akhirnya, pengumuman pun tiba. Moerdiono tidak dipilih lagi menjadi menteri pada tahun 1998. Sebagian wartawan Istana dipanggil ke ruang kerjanya. Kami berfoto bersama di meja kerjanya. Ia duduk di kursi, kami berdiri mengitarinya. Suasana lengang, tanpa gelak tawa sebagaimana suasana kami bersamanya sehari-hari. Air matanya mengalir, tapi tak lama. Itu disaksikan oleh banyak teman. Sorenya, saya tetap ditugaskan oleh kantor saya untuk tetap mengikuti Pak Moer di sisa-sisa kekuasaannya di kantor Sekretariat Negara. Tentu untuk menjadi sebuah cerita. Lalu, saya pergi ke lapangan tenis di kawasan Sekneg. Ia bermain dengan para pegawai Sekneg yang lain. Saya merepotasikan sembari memotret sana-sini dari pinggir lapangan. Setelah usai main tenis, ia duduk di samping saya. Peluh keringat diusap sendiri dari seluruh badan. Handuk digantungkan kembali ke lehernya. Saya mewawancarainya kembali. Lalu ia menangis sejadi-jadinya. Betul-betul kali ini lebih dahsyat dari yang sebelumnya saya lihat. Teman-teman staf Sekneg mulai menyadari dan diam-diam menjauh dari tempat duduk kami di pinggir lapangan. Pak Moer hanya menangis dan menangis. Kali ini saya ikutan sedih luar biasa. Tentu saya tidak bisa lagi merasakan seorang pejabat tinggi di lingkungan Istana yang dengan ikhlas dan selalu santun membantu saya memberikan banyak informasi. Pak Moer begitu berjasa bagi Majalah TEMPO dan GATRA tempat saya bekerja sebagai wartawan. Ia tidak pernah mengusir saya meski kadang wajahnya cemberut kalau saya desak dengan berondongan pertanyaan pada saat sedang sibuk-sibuknya. Handuk kecil yang tergantung di lehernya bekas mengusap keringat setelah main tenis, ditempelkan ke wajahnya berkali-kali. Ia mengusap air matanya yang tetap mengalir deras. .. deras dan deras….!!
Kini, giliran air mata saya mengalir untuk Pak Moer, 13 tahun kemudian setelah tangisan terakhirnya di depan saya. Sekali lagi, selamat jalan, Pak Moer. Terima kasih sudah selalu membantu saya mempermudah pekerjaan saya. Terima kasih pula Pak Moer tidak pernah sekalipun berusaha mengatur saya, menyetir saya dalam pemberitaan apapun. Kesantunan Pak Moer terhadap saya sebagai wanita yang menjadi wartawan, ibu dari seorang putra ini, sungguh luar biasa. Biarlah orang menilainya dari segala sudut pandang macam-macam. Pak Moer tetap seorang pria yang sangat menghormati saya, sangat sopan dan sangat tahu persis cara menghadapi saya yang acapkali berusaha bekerja penuh nurani tanpa embel-embel kepentingan lainnya.
Catatan yang tetap dapat dikenang dari Mbak Linda Djalil, tentang seorang Negarawan Jendral (Purn) Moerdiono…
Hanya orang beriman yang mampu menangis dengan hati nuraninya
Tidak sedikit orang menjadi “diri mereka” dalam masa ordebaru. Pak Harto bukan satu-satunya penyebab. GOLKAR, yang juga telah bermimikri, menjadi salah satu mesin kekuasaan tak terkendali. ABRI ketika itu, pak Moer jadi bagian itu, menjadi tidak profesional. Tetapi untuk sebagian, kepribadian mereka tetap menonjol.
Pak Moer adalah salah satu Mensesneg yg sangat hati-hati menjelaskan bahasa Pak Harto ke media. Di dunia memang tak ada yang sempurna. Saling mengingatkan adalah bagian dari hidup, hingga ajal menjemput.