Hari Ini Saya Menangis Berkali-kali

Pagi saya ke tempat pemilihan Gubernur di dekat rumah.  Senang sekali melihat pak RT, ahli listrik, maupun orang-orang yang biasa berkeliaran di dekat-dekat rumah saya  duduk berjejer sebagai panitia di lokasi.  Baju saya merah kotak-kotak. Sepatu juga merah kotak-kotak. Lalu selendang kotak yang warnanya sama dengan kemeja  para pendukung Jokowi Ahok,  yang saya beli sepanjang satu meter di pasar Mayestik dua minggu lalu,  menjadi pengikat tali tas tangan saya.

Anak saya dipanggil, saya setelah itu. Saya kok gugup tadi. Saya tanya di sebelah kotak kepada anak saya, “Ibu harus nyoblos yang sebelah mana nih nak?”  Anak saya menjawab dengan nada setengah kesal. Bisa dimaklumi. Lha sudah diberitahu berkali-kali dari rumah, kok ya tanya lagi, tanya lagi.  Lalu saya pandangi kertas bertuliskan nomor 1 dan nomor 3.  Dua lelaki yang akhir-akhir ini bikin kesal banyak orang, terutama si mantan tentara yang bergurau secara sangat tidak lucu dan berakibat fatal menjadi bahan cemooh rakyat  karena berkata ‘hayaaaaaa’,  kini juga ada di depan mata.  Ya, Nara yang mengecewakan. Saya tidak sangka.   Lalu Foke.  Kumis tebalnya seakan menjulur minta dicoblos. Eit, nanti dulu.  Dulu memang saya nyoblos dia, tapi sekarang tentu tidak.  Semakin hari pernyataan-pernyataannya membuat saya geleng kepala seakan tak percaya.  Lalu saya pandangi mata sipit Ahok yang sudah saya kenal sejak  dua tahun lalu sebelum ada pencalonan ini.  Dan Jokowi,  yang baru-baru ini seorang wanita karir dengan sinis berbisik kepada saya ,”Ini orang kok nggak memper gubernur”…….,  sudah saya kenal pula sejak tahun lalu secara kebetulan.  Entah dari mana ujung pangkalnya, air mata saya menetes seketika. Terasa sekali hujatan yang sudah sempat ia terima bertubi-tubi, dan dihadapi dengan begitu sabar, betul-betul membuat saya haru. Bagaimana saya bisa belajar kesabaran seperti orang ini?   Saya baca surat Alfatihah kilat tercatat cepat segera. Lalu menusuk angka nomor 3. Tuhan… tolong kami…. bila berkenan, mohon doa kami Engkau jabah, agar orang ini yang nantinya duduk di gedung Balai Kota. Dan berikan kekuatan, agar amanah tetap dipegang, sehat lahir batin, bekerja keras dengan  kejujuran setinggi langit. Jauhi dari  mental korup…

Saya bagai orang ‘leng-leng ngan’  begitu keluar dari tempat kotak itu.  Entah mengapa kaki saya berat melangkah. Kaku.  di mobil, saya termangu.  Bingung, mengapa saya secengeng ini.  Menangisi si semut yang acapkali dihina oleh gajah-gajah yang tak tahu diri.  Pikiran saya menerawang jauh sekali. Bagai ada yang membisikkan, saya tersadar bahwa inilah kesempatan manusia Jakarta maupun negeri ini terbuka mata  hati dan rasa.  Pemilihan gubernur kali ini betul-betul Tuhan memperlihatkan, siapa sesungguhnya tokoh-tokoh terkenal  yang kita anggap semula hebat, mulia,  dan senantiasa melemparkan kata-kata bijak selama ini.   Bagaimana pula mereka berkata pagi tahu sore sudah tempe, malam berubah menjadi toge.  Tanpa malu-malu. Ya, tanpa malu-malu seakan-akan rakyat yang mendengar kecaman-kecaman mereka adalah orang-orang tuli…

Pulang ke rumah, saya menyiapkan makanan.  Oseng tempe, tumis kacang panjang dan ayam bakar.  Lalu kembali berlari ke pemakaman.  Seorang sahabat yang ibundanya wafat, membuat hati saya kembali perih.  Sang Ibu begitu baik hati selama saya remaja, selalu saja ingin membuat orang lain senang, makan enak di rumahnya, dan perhatian yang sungguh besar.  Taburan melati menutupi tanah coklat rapat-rapat. Inilah akhir perjalanan kehidupan manusia.  Saya menangis lagi. Apalagi melihat sahabat saya mengucurkan air mata. Pedih….

Lalu saya menuju kawasan Depok. Bertemu teman lama. Kami makan sembari mengobrol sana-sini, dan mata sesering mungkin melirik televisi.  Telefon genggam dan BB  berkali-kali bunyi…., semua optimis Jokowi  Ahok menang…, namun amat sangat was-was kalau-kalau penzoliman perhitungan suara dengan leluasa berkembang.  Saat perhitungan cepat menunjukkan angka yang seru, apalagi berita tentang Foke memberikan selamat kepada Jokowi,  saya betul-betul tercekat.  Di sela-sela mengunyah mie ayam siram,  pipi saya tersiram air mata kembali…….

Malam ini saya merenung. Betapa muzizat Tuhan sungguh luar biasa. Benar saja semut bisa lebih unggul, cerdas dan cerdik ketimbang gajah yang bertubuh gempal.  Benar saja Tuhan tak akan senang bila seseorang menghina ras suku kepercayaan apalagi urusan Ibunda atau  Ayahanda dikorek-korek penuh fitnah kejam.  Saya lari ke teras atas di belakang rumah. Hanya ada bintang beberapa. Angin semilir menghempas daun jeruk Bali.  Saya menangis lagi. Biar saja. Ini adalah pencetusan kebahagiaan.  Dan rasa yang murni.  Tentu setelah ini saya tidak bisa leluasa lagi berkirim berbalas  SMS atau BBM  dengan keduanya.  Saya dari kejauhan akan terus memantau mereka. Mendoakan, dan mengharapkan janji amanah kejujuran serta  membuang mental korup betul-betul tetap melekat pada diri keduanya.  Bekerjalah untuk rakyat !  Bukan rakyat yang bekerja untuk kalian! Tetaplah rendah hati, kawan !  Sudah kita buktikan bahwa kekasaran, lupa diri, merasa  selalu paling hebat dan sukses, arogansi kekuasaan,  berlindung di balik kekuatan besar yang ada kalanya tidak murni sebagai kekuatan yang jernih, belum tentu nantinya memperoleh ridho dari Nya……  , dan belum tentu pula otomatis dicintai rakyat…….

Kembali saya usap air mata ini.  Air mata  hamdallah dan pensyukuran nikmat ……..serta  bergunung-gunung  harapan yang serba baik. Ya Allah, campur tanganMu memang sungguh mencengangkan….

3 comments

Comments are closed.