Keputusan Saat Sahur

Bagas tampak kuyu.  Kerja tiada henti di media  terkenal Indonesia membuat tenaganya terkuras. Bulan puasa membuatnya harus bertahan pada haus lapar dan kesabaran. Kesabaran ?

Waktu sahur telah tiba. Bagas duduk termenung di meja makan. Ibunda sibuk menyendok nasi ke piringnya. Vitamin  dan madu di sebelah piring disediakan. Ayahnya, sembari menyeruput teh hangat, diam-diam mengamati wajah anaknya.

“Bapak lihat kamu capek sekali Bagas..”, ujarnya.  “Iya pak. Capek banget. Tapi yang bikin lebih capek adalah capek hati, dan capek menahan sabar”, jawabnya lirih.  Sang ayah terkesiap. Inilah yang ia takuti selama ini. Anaknya tak lagi bisa bekerja dengan hati ringan.  Keterpaksaan adalah hal yang mengerikan dalam menjalankan pekerjaan apapun. “Ayo ceritakan saja kepada kami, tidak usah malu nak,” kata sang ibu.

“Aku kerja lapangan, melihat semua kenyataan. Aku tahu hasilnya merah,  tapi sampai di kantor , laporan kerjaku diacak-acak oleh boss.  Merah harus diubah jadi kuning, hitam, hijau, pokoknya semau-maunya deh. Asal orang yang satu itu, yang jadi pusat berita,  namanya harus  jelek.  Kesan di masyarakat  pokoknya dia harus jelek. Di meja rapat, Bagas pernah migren berat karena mendengar instruksi atasan yang sangat kejam dan penuh rekayasa. Bagaimana bisa kerja terus-terusan di kantor itu kalau aku harus ikuti perintah jahat begitu pak?  Ibu juga pasti tidak bangga kan kalau anak ibu digaji bulanan dari hasil bohong?”

Sang ayah kembali terkesiap. Teh hangat terasa membara di mulut. Nasi berlauk sup kacang merah terasa hambar.  Hatinya berbicara, kasihan anakku. Tekanan batinnya sudah melampaui batas…

“Lalu kamu mau bagaimana?”, tanyanya. “Bagas minta izin ke bapak dan ibu,  untuk keluar saja dari dunia itu. Mending Bagas jualan syomai di pasar dekat rumah kita itu. Atau menjadi sopir mobil sewaan sementara ini sambil cari kerja yang lain,”  jawabnya.

Ibunda menahan butiran air matanya sekeras mungkin.  Duh anakku sarjana komunikasi. Pandai menulis, pintar berpidato, wawasannya cukup luas, bahasa asingnya lancar, ingin berjualan syomai atau menjadi sopir  mobil sewaan ?   Sahur malam itu terasa hening  kecuali darah di tubuh yang kencang berdesir.

“Lakukanlah nak. Bapak juga was-was, jangan sampai anakku lama-lama malah terbawa pada kegiatan tipu muslihat seperti itu. Sebetulnya Bapak sudah ingin bicara sejak lama soal ini, tapi kan rasanya kasihan melihat kamu begitu cemerlang melangkah karir di perusahaan hebat itu”.   Dan si Ibu pun nyeletuk , “Ibu tidak ada bangganya kalau anak ibu jadi makhluk penipu di kantor hebat itu.  Jualan syomai lah. Menyopir mobil orang lah sementara waktu. Tuhan tentu InsyaAllah akan kasih rejeki di lain waktu dan dalam waktu yang tidak lama…. kami rela ..sumpah .. kami rela.. meski tadi ibu cukup kaget dan sedih , kok anak ibu mau jualan syomai.  Tapi ketimbang mulut tangan kakimu penuh mudharat.  Harus ngibul tiap hari, harus menyerahkan pekerjaan palsu untuk kepentingan perusahaan, apalagi dengan tujuan untuk mencelakakan orang,  alangkah hinanya….”

Mita, adik Bagas segera  mengambil garpu. Langsung menusuk daging empal di meja. “Nih, gue tusuk boss elo , kak !  Gue tusuk juga kebohongan ! Itu bukan keluarga kita, lageeee… !  Lebaran nanti kita seada-adanya saja. Tapi bahagia. Kakak jualan syomai, nggak masalaaaaaaaah.. !”

Dan berempat tertawa lebar… berderai-derai. Hati lapang  menebar di meja makan. Riang menyerbu sahur mereka. Tentu malaikat pun tersenyum mengiringi kebahagiaan keluarga indah itu …….

One comment

  1. Klu kita bekerja dgn terpaKsa mengerjakan yg tdk kita suka pasti sangat tertekan dan capai, mending mengerjakan kerjaan sesuai hati nurani, yg penting jujur….

Comments are closed.