Marta Hampir Selalu Membawaku ke Gereja Tiap Minggu

(tulisan ini sudah dimuat di buku CELOTEHAN LINDA , penerbit Kaki Langit Kencana – cetakan ke 3 , ada di toko buku Gramedia seluruh Indonesia)

 

Kemarin malam aku menangis sesunggukkan. Ada Marta dalam mimpiku. Dia memakai gaun putih bersih. Ada pita kecil di bagian dada. Sepatunya juga putih. Wanita Ambon berhidung mancung berambut ikal berombak keriting. Sesekali ia bertanya, “Mau dimasaki apa hari ini Lin?”.  Tangannya berputar menyalakan kompor. Gulai ayam sewajan besar siap dibumbui. “Linda pasti suka kan?” katanya lagi.

Aku memeluknya dari  balik punggungnya yang penuh lemak.  Marta kok masih bisa masak ya? Kan Marta sudah dikubur? Dan sudah lama pergi? Lalu ada lagi suara darinya, “Tapi masih bisa masak kok untuk Linda. Marta sudah lama nggak masak kan? Ikan asam padeh, atau rendang daging pakai kentang kecil-kecil ya Lin?” katanya lagi.

Lalu Marta menghilang. Aku mencarinya sampai kolong dapur dan di balik pintu kamar. Ia tidak ada. Lalu aku terbangun. Tentu dengan suasana terkejut dan amat kecewa. Duh, semua hanya mimpi. Butir air mataku tumpah ke mana-mana. Seketika aku kangen Marta. Kangen sekali.

Marta adalah perempuan Maluku yang sejak gadis sudah bekerja di rumah kedua orang tuaku. Saat itu usiaku baru beberapa bulan. Marta mengasuhku sampai aku balita, remaja, menjelang dewasa. Sepanjang tahun ia mengabdi kepada ayah ibuku. Kedua adikku juga di bawah pengasuhannya, sampai-sampai adikku yang bungsu memanggilnya dengan sebutan ‘mamie’  selain memanggil ‘ibu’ kepada ibu kandung kami.

Apa yang tak dilakukan oleh Marta untukku. Rasanya tak ada. Mulai dari memandikan, menyuapi nasi hangat dengan potongan ikan asin jambal diiiris  kecil-kecil dengan jemarinya yang legam itu masuk ke mulutku, sampai mengguyur kepalaku yang sering bau asam karena si berandal kecil ini dulu sering nyebur ke kali jalan Surabaya di kawasan Menteng Jakarta Pusat. Marta juga selalu tahu persis makanan kesukaanku. Rendang dengan kentang kecil, sup kacang merah yang lembut sekali, bahkan kue pancong yang biasa ia belikan dari pinggir jalan. Marta mendongeng dan menyanyikan lagu ‘Batu Badaun.. Batulah batangkai.. buka mulutmu.. telanlah beta..”  yang membuat air mataku meleleh-leleh ke permukaan bantal tempat tidur. Marta juga yang diberi kewenangan oleh ayah ibuku untuk mendaratkan telapak tangannya ke pantatku untuk nabok maupun mencubit kalau bandelku sudah kelewatan.

Marta membawaku hampir tiap hari Minggu ke gereja.  Aku menjadi penonton setianya manakala ia berdoa dengan kitab injilnya. Gereja Ayam kalau tak salah di kawasan Pasar Baru, sering dikunjunginya. Tapi aku selalu mengatakan, gereja ayam adalah yang di sebelah sekolahku di Taman Sunda Kelapa seberang Taman Surapati Jakarta Pusat. “Mar, kan di ujung genteng ada patung  ayamnya. Jadi itu yang namanya gereja ayam,” kataku selalu. Marta melotot. “Bukan, tauk!” – Nah, inilah Marta. Galaknya setengah mati memang. Besar kepalanya mungkin makin menjadi-jadi karena peran ayah ibu memang ada di si Ambon ini.

Aku selalu terkesima melihat ritual di gereja. Altar yang indah, pendeta yang begitu santun dan halus tutur katanya, suara musik yang merdu.  Beberapa lagu sempat aku hafal.  Antara lain ada yang kata-katanya, “Hai mari berhimpun.. dan bersuka ria…” .  Kadang Marta membaca injilnya di kamar sambil mengusap air mata. Kok nangis sih Mar? Aku sering bertanya begitu, dan ia kembali keluar taringnya. “Diam aja deh ah! Nggak usah tanya-tanya!”, begitu jawabnya ketus.

Kadang aku dibawanya pula ke rumah tante-tantenya di kawasan Kramat Sentiong  dekat proyek Senen maupun di daerah Berlaand dekat Matraman Raya. Mereka sering pula bernyanyi bersama seperti di gereja. Lagu-lagu yang bersifat agamis terasa merdu sekali masuk di telinga.  Suasana di rumah mereka menurutku tak jauh beda dengan suasana gereja. Yang paling menyenangkan adalah di luar gereja biasanya ada penjual es krim dan kue bergaya Belanda. Marta sering jajan dan memberikannya juga untukku. Bajuku selalu yang terbaik kalau diajak ke gereja.  Banyak anak yang juga memakai pakaian warna-warni dengan rambut berpita.  Kadang saat Marta berbincang-bincang dengan beberapa suster berkerudung dan pendeta, aku diam-diam menjamah pakaian mereka. Untukku yang masih kecil itu,  pakaian itu gombrong banget, bersih dan apik sekali. Kadang pula aku penasaran ingin tahu apa yang berada di balik kerudung si suster. Panjangkah rambutnya yang tertutup itu?

Di antara para tetangga di kawasan Menteng, kami hampir tiap minggu pergi les mengaji.  Pergi berbondong-bondong menyeberangi jalan Diponegoro yang belum begitu ramai, kami menuju guru ngaji dekat Pasar Rumput.  Marta selalu menyiapkan mukenah dan sejadahku. Juga kantong yang isinya khusus untuk  Al Quran.  Marta juga selalu berpesan untuk aku terus menyimak apa yang diajarkan oleh guru mengaji. “Lihat kan kalau pendeta ngomong di gereja, dari orang tua sampai anak-anak bisa tenang dan nyimak. Linda juga harus begitu ya sama guru ngaji”, katanya.

Marta kemudian menikah dan meninggalkan kami sekeluarga yang sudah belasan tahun diikutinya.  Anaknya berderet-deret, gemuk seperti ibunya, keriting, hitam, dan memang ‘Ambon’ buanget.  Senyum mereka selalu manis seperti senyum Marta. Salah satu saudara terdekatnya menikah dengan adik Indro Warkop. Sampai kini aku masih bersahabat dengannya, yang menjadi konduktor Paduan Suara Alumni UI. Bila aku mengobrol dengannya,  rinduku kepada Marta selalu otomatis merebak. Saat aku tinggal di Jerman dan tinggal di asrama yang jendela dapurku langsung menghadap gereja, tak pernah sekejappun aku tak ingat Marta. Suasana gereja adalah sosok Marta. Bentuk gereja adalah kenangan bersama Marta. Lagu-lagu gereja adalah gaung cinta kasih Marta.

Dan tadi malam Marta tiba-tiba menghampiriku dalam mimpi. Aku  jadi betul-betul kangen Marta. Rendang dengan kentang kecil, gulai ayam dan sup kacang merah yang khas sekali,  gaun khusus Marta yang selalu dikenakan untuk ke gereja, kitab injilnya yang tebal….., sorot matanya yang kadang teduh kadang galak luar biasa…., senandung ‘Batu Badaun’ nya…..semua terasa di pelupuk  mata.

Marta sudah lama pergi. Ia meninggal di rumahnya saat  masih menyelesaikan  niatnya  di depan kompor, memasak makanan kesukaanku,  untuk aku berbuka puasa di bulan Ramadhan pada saat itu….

One comment

  1. Saya suka sekali tulisan mbak Linda yang ini. Sosok Marta seakan begitu hidup dan seolah saya bisa betul-betul mendengar beliau sedang menyanyi. Sosok Marta juga mengingatkan saya pada Ibu Mertua saya ( yang bukan dari Ambon, tapi dari Timor-timur yang sudah melepaskan diri dari Republik tercinta ini) yang juga tidak pernah alpa ke gereja, suka menyanyi dan jago masak kacang merah.

Comments are closed.