U-Wei, begitulah orang memanggilnya. Nama panjangnya adalah U-Wei Hj Saari. Berbadan tegap, rambut memutih, dan tatapan optimis ada pada sinar matanya. Di kalangan perfileman Malaysia, namanya sudah tak asing lagi. Ia adalah sutradara kawakan untuk berbagai film bermutu yang telah dihasilkan melalui kreatifitasnya. Antara lain, Perempuan, Istri dan…, juga Kaki Bakar, Jogho, Buai Laju-Laju dan beberapa film televisi. U-Wei sempat dinobatkan sebagai sutradara terbaik dalam Festival Film Malaysia. Filmnya tak hanya beredar di negerinya, tetapi juga menyebar ke berbagai negara lain; Belgia, Thailand, Amerika, dan lain-lain.
Lelaki kelahiran Bentong yang dikelilingi sungai indah di mana-mana itu ternyata berdarah Minang. “Ya. ayah ibu saya dari Minang, Indonesia, tapi mereka sudah tinggal di Malaysia sejak dulu, ” ujarnya sembari senyum. Ditemui di sebuah ruangan sejuk di kawasan Kuningan Jakarta, U-Wei kelahiran 1954 itu berkata kedatangannya ke Jakarta memang khusus untuk pemutaran film Gunung Emas Almayer yang disutradarainya. Film ini akan diikutsertakan dalam festival film. Selain di Malaysia tentunya, dan di Indonesia, Gunung Emas Almayer akan beredar pula di Kanada dan Amerika.
Membaca novel karya Joseph Conrad pada tahun 1996 yang berjudul Almayer’s Folly, U-Wei memiliki obsesi untuk mengangkatnya pada layar lebar. Berbagai rencana matang bertahap dilaluinya. Menurutnya, untuk menuju sempurna, biaya film begitu mahal bila memang akan menciptakan suasana cerita abad ke 19 seperti yang dikisahkan sang novelis.
Impiannya terwujud pada tahun 2010. Film bermakna itu dibuat selama berbulan-bulan dengan kegairahan bakat U-Wei yang menggelora. Ia berhasil menggambarkan perpaduan antara Barat dan Timur, gejolak perdebatan antar berbagai ambisi dari dua kulit berlainan. Perdagangan senjata masa lalu yang unik dan berbelit-belit penuh misteri, serta suasana mencekam dalam segala keterbatasan kesanggupan manusia. Semula, film itu berjudul Hanyut — yang setelah beredar di Indonesia menjadi Gunung Emas Almayer. Baginya, perubahan nama itu tak menjadi masalah.
U-Wei pun memoles para pemain dengan watak dan karakter penokohan secara luar biasa. Suasana pedesaan di Malaka pada tahun 1830 an itu dikombinasikan dengan kekayaan dialek Melayu kuno para tokoh dengan sempurna. Peter O’Brien sebagai Almayer bermain total. Sofia Jane bintang film Malaysia berdarah Eropa yang cantik itu pun diarahkan U-Wei sangat nyata sebagai perempuan yang penuh gejolak depresi. Sebagai Mem, Sofia muncul amat baik. U-Wei pun tak luput mengasah Diana Danielle yang berperan sebagai Nina, anak Almayer. Dain Maroola si ganteng Adi Putra juga dibuat oleh U-Wei meletup-letup sebagai pedagang galak yang lumer oleh urusan jatuh hati. El Manik sebagai Raja Ibrahim mengeluarkan keahlian beraktingnya luar biasa. “Cakap” Melayu muncul dari El Manik dengan baik. Demikian pula Alex Komang yang menjadi Abdulah. Bagaimana dengan si penjaja kue, budak di desa yang selalu berada di berbagai situasi, gadis Taminah yang dimainkan oleh Rahayu Saraswati (Sara)? Untuk yang satu ini U-Wei berkata, “Urusan saya dengan Sara belum selesai!” Lho? “Ya, Sara sangat berbakat dan ia pemain watak yang baik. Saya ingin sekali pakai lagi untuk film lain ,” jawab U-Wei dengan lantang dan tertawa lebar.
Ternyata, U-Wei sangat puas dengan permainan Sara, yang ia temui melalui iklan. Pada proses pencarian bintang, U-Wei menebar iklan ke segala penjuru. Dan Sara yang diterimanya. “Saya tidak pernah tahu dia siapa, anak siapa. Yang saya tahu dia cocok untuk film saya!”, katanya tegas.
Itulah U-Wei. Bersahaja. Tegas. Pekerja keras. Ia tetap menjalankan obsesinya untuk berbagai film lain yang membawa Malaysia ke penjuru dunia. U-Wei mengalir bagai sungai di Bentong tanah kelahirannya. Ia memberikan pendalaman budi kepada para pemainnya. Ia adalah guru bagi para aktor dan aktrisnya. Dengan seksama, sebagaimana kejeliannya memilih orang-orang yang ia anggap layak dalam memerankan film-film hebatnya.
Ngobrol dengan U-Wei ….
Gunung Emas Almayer —- film U-Wei yang dahsyat !!