Tiga Pernyataan Angelina Sondakh yang Mengundang Tanya

Suatu hari dari layar kaca saya melihat Angelina Sondakh (Angie) masuk ke gedung KPK. Didampingi  pria bernama Muji, adik Adjie Masaaid yang berbusana  gaya santai ke acara resmi orang yang didampinginya, dengan blus kaos ketat jeans ketat dan kacamata hitam meski di dalam ruangan sekalipun, ia didorong-dorong oleh kerubungan wartawan.

Saya teringat beberapa pernyataan Angie yang mengundang banyak tanya, terhitung dari awal ia dihubungi  wartawan. Ketika Angelina Sondakh yang sedang berada di luar negeri diwawancarai jarak jauh oleh wartawan majalah berita mingguan TEMPO tentang keterlibatannya dalam kasus Wisma Atlet,  dengan segera ia menyangkal. Pernyataannya yang berupa sumpah pocong dan mengatasnamakan anaknya, dilontarkan secara tegas. Setelah ia sampai di Indonesia kembali, ada pernyataannya yang menyebut “Saya merasa dikhianati”.  Selebihnya, ia juga menyatakan  “Saya dikorbankan”.

Tiga pernyataan yang sudah dipublikasikan di bermacam-macam media  itu mengundang ’selera’  khalayak untuk membahasnya hampir tiap hari di berbagai pertemuan.  Saya pun mempunyai pemikiran yang serupa dengan orang-orang yang menyayangkan pernyataan-pernyataan itu. Pertama, sebagai seorang mualaf barangkali ia kurang paham bahwa di dalam agama Islam tak berlaku sumpah pocong.  Lagipula, andai memang ia ingin menyangkal, sebagai seorang politikus handal yang sudah dua periode menjangkau posisi wakil rakyat,  secara elegan ia bisa berkata kepada sang wartawan, ” Itu adalah fitnah keji, dan tuduhan  yang tidak berdasar”.  Selesai.  Urusan sumpah pocong, saya ingat mbok Abi, tukang cuci setrika saya bermukim di salah satu gang Ibukota yang pulang sore.  Bila ia ribut dengan partner kerjanya, yang suatu kali pernah dituduh mengambil jatah kopinya, dengan segera ia berkata, “Berani sumpah pocong, gue kagak ngambil kopi elu!”.

Lalu, Angie berkata ada yang berkhianat terhadapnya. Sadarkah dia, bahwa konteks kalimat itu bisa menjalar ke mana-mana?  Bila saya menjadi wartawan yang mewawancarai dia, tentu pernyataan itu akan saya kejar lagi. Maksudnya, siapa yang berkhianat?  Bukankah bila ada cetusan kalimat semacam itu relevansinya adalah seseorang melakukan sesuatu berdasarkan kesepakatan bersama, lalu tiba- tiba ada yang ‘nyelonong’   alias ‘mbalelo’  berpaling, berkhianat dan menyebarkan ke mana-mana?

Lalu lagi, bila Angie berkata “Saya dikorbankan” , bisa pula khalayak bertanya-tanya, dikorbankan oleh siapa?  Adakah kelompoknya yang ingin mencari selamat kemudian ‘jeburin’  dia sendirian dan yang lain cuci tangan? Artinya, semula sekelompok orang ini akur-akur saja bukan?

Seorang politikus memang harus selalu belajar, belajar  dan belajar.  Selain wawasan yang dipertambah terus menerus,  juga urusan tutur kata.  Selip kata dari seorang tokoh biasanya segera dicermati oleh masyarakat luas. Dan dibahas.  Tidak cukup politikus hanya pandai buku saja, bacaan banyak, sekolah tinggi bergelar sederet, namun kurang mampu menguasai berbagai pernyataan yang kelak bisa menjebloskannya sendiri.  Urusan pencitraan sah-sah saja asal pandai mengemasnya dan…. masuk di akal.  Selebihnya, bila ketahuan segala tipu daya,  akan menjadi bahan tertawaan massa.

Es soll ein verfahren erstellt werden, welches versucht die bedfnisse und besonderheiten der schlerinnen mit deutsch https://ghostwriter-hilfe.com als zweitsprache in der sek 1 zu bercksichtigen.

3 comments

  1. Wakil rakyat katanya, tapi tidak menggambarkan sbagai wakil rakyata. pinter banget mengurai kata2, Angy….. Angy…. Kasihan jiwamu..

Comments are closed.