Saya Tetap Mendoakan Nunun…



Seorang ibu yang dicintai anak-anaknya, disayang suami, menjadi bulan-bulanan.  Tak ada yang pernah menyangka, Nunun yang sering berada pada lingkungan sosialita Jakarta, hampir tiap saat muncul di majalah mewah yang berisi segala acara direkam dengan foto-foto meriah, kini adalah buron. Oh, tidak. Dia sudah bukan buron lagi, karena setelah melanglang buana yang tak pernah kita tahu persisnya, Nunun kini sudah berada di negerinya lagi. Sekaligus, ditangani oleh pihak yang berwajib.

Nunun, adalah seorang istri polisi yang giat berbisnis sejak awal.  Ia juga membuat buku, rajin pengajian serta di bulan puasa tak pernah absen tadarusan di rumahnya. Di berbagai tempat, bila ia berjalan bersama Adang suaminya, tangannya tak lepas dari gandengan. Itu pernah saya saksikan pula saat Adang ‘belum jadi apa-apa’.  Saya bertemu di supermarket besar yang baru saja buka belasan tahun silam . Buru-buru ia menghampiri saya sambil menggamit suaminya. “Ini suamiku, Lin! Kenalkan. Polisi lho. Keren ya suamiku..? Dia baik sekali lho Lin…”   Kemudian kami bersalaman. Adang hanya senyum-senyum saja. Pancaran sinar kasih terasa muncul di rona wajah Nunun saat itu.

Nunun banyak ide banyak bicara. Ia memperhatikan batik Indonesia, ia punya keinginan untuk membuat buku tentang budaya Indonesia. Dia juga sering melontarkan opininya pada hal-hal tertentu bila ada sesuatu yang kurang berkenan di hatinya. Ketus, kadang-kadang.  Lalu tawanya muncul di mana-mana, sambil berjalan sigap dengan sepatu hak tingginya. Ketika itu, saya sering melihat tas Channel di lengannya. Ketika sang suami kalah dalam pemilihan Gubernur DKI, di tengah banyak orang ia bertutur lepas menyatakan bahwa tak jadi gubernur pun suami bisa ke tempat lain. Saya menangkap reaksi tak sedap dari Adang atas spontanitas istrinya.

Saya tidak pernah tahu seberapa lama ia berteman dengan Miranda Gultom.  Sejak remaja, sejak Miranda menjadi pejabat, atau bagaimana. Betul-betul saya tidak tahu. Urusan cek pelawat, saya lebih tidak tahu lagi seberapa jauh kebenarannya.  Siapa yang menyuruh, siapa yang disuruh, siapa yang melontarkan ide gila itu. Semua terasa samar bagi saya hingga kini.

Kok saya kenal Nunun? Lha, dulu dia adalah salah satu sumber saya, untuk urusan wawancara. Saat saya ditugaskan kantor tiap minggu ke Departemen Parpostel yang menterinya adalah Soesilo Soedarman, Nunun sering datang.  Ia memiliki bisnis di bidang pertelekomunikasian, bersama-sama Timmy Habibie, adik  BJ Habibie.  Nunun yang gesit,  menurut saya memang sudah memiliki ‘otak dagang’ sejak dulu. Pandai memang.  Setidaknya, itu yang saya tangkap  dari hasil obrolan wawancara.

Lalu Nunun dikejar-kejar, tak mau kembali ke negeri sendiri berlama-lama. Ia dinyatakan punya sakit lupa dan harus menjalankan perobatan ke mana-mana. Entah di Singapura, entah di Birma, di Thailand. Yang jelas, versi pengacaranya ia menyerahkan diri saat di Thailand. Menurut pihak KPK, ia ditangkap di apartemen itu.  Mana yang benar, saya pun kurang jelas hingga kini.

Wanita itu punya anak cucu menantu. Ia punya banyak teman. Ia berada dalam lingkungan aroma kepolisian sepanjang pernikahannya. Sang suami berkutat pada masalah keamanan negeri ini, menangkap yang jahat, melindungi yang tertindas. Begitu tentunya kan,  pekerjaan seorang polisi? Lalu, mengapa keadaan jadi berbalik semacam ini?  Istri seorang petinggi polisi (karena Adang bukanlah ‘bukan siapa-siapa lagi’) diudak-udak tiada henti, diperbincangkan sebagai topik hangat negeri ini.

Nunun dianggap Miranda hanya sekadarnya saja. Tidak terlalu kenal. Itu pernyataan Miranda sebelumnya. Tiba-tiba, setelah Nunun kembali ke Jakarta, sang suami memperlihatkan foto-foto Nunun dengan Miranda, dengan suasana akrab.  Maka, saya kembali bingung. Siapa lagi yang bisa dipercaya?

Tuhan punya hak atas segalanya.  Termasuk hak membuat skenario cerita manusia. Tinggal kita yang selalu berikhtiar, akan ke mana langkah kaki kita.  Terperosok tentu ada konsekwensinya. Repot, malu, dan menjadi cerita yang mendebarkan.  Di hati kecil saya terdalam, saya tetap kasihan kepada Nunun.  Kita belum tahu, andaikan cerita cek pelawat itu memang nyata adanya, apakah Nunun turut melahapnya? Benarkah ia hanya sekedar utusan yang disuruh oleh Miranda, yang semula tak mengakui pertemanan antar keduanya? Mengapa ia mau pasang badan sedemikian rupa? Apa azas manfaat yang diciduknya? Atau ia hanya apes korban persekongkolan? Selain itu, benarkah yang dilakukan Nunun sama sekali di luar pengetahuan Miranda?

Nunun harus bicara.  Karena, semua kelak akan menentukan jalan setapak  menuju seribu tapak yang akan dilaluinya. Salah maupun benar  si pesakitan ini, sebagai seorang wanita biasa, manusia biasa, saya tetap mendoakan Nunun. Apa pun juga. Mendoakan keberaniannya dalam  kejujuran dan keterbukaan lisan suaranya, sampai pula pada ketahanan fisik dan mentalnya.

5 comments

  1. Mbak Senang baca tulisannya…harusnya memang seperti ini bukan hanya negatifnya aja positifnya juga harus diungkap karena kita tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi………..

  2. Mbak Linda, saya senang tulisan2 Mbak yang melihat tokoh2 dari sisi lain. Terutama sisi positif dimana kita bisa banyak belajar. Thanks Mbak.

Comments are closed.